HomeNalar PolitikPilkada 2018, Harapan untuk 2024?

Pilkada 2018, Harapan untuk 2024?

Kemenangan sejumlah kandidat di Pilkada 2018 membuat orang berandai-andai tentang Pilpres 2024.


PinterPolitik.com

[dropcap]G[/dropcap]empita Pilkada 2018 beberapa waktu lalu masih terasa hingga saat ini. Meski masa pemungutan suara telah lewat, perhatian masyarakat masih belum sepenuhnya beranjak dari pesta demokrasi tersebut. Beberapa orang amat antusias menanti pemimpin seperti apa yang dihasilkan oleh gelaran tersebut.

Dalam sebuah artikel yang dimuat oleh South China Morning Post, disebutkan bagaimana Pilkada 2018 berpotensi menghasilkan pemimpin-pemimpin reformis. Indikasi ini ditunjukkan melalui beberapa kondisi seperti potensi kemenangan kandidat dengan rekam jejak baik, tumbangnya beberapa “aristokrat” politik lokal, dan tidak mempannya serangan politik berbau SARA.

Berdasarkan hasil hitung cepat, beberapa nama tampak disambut baik oleh masyarakat, terutama di media sosial. Calon Gubernur Jabar Ridwan Kamil dan Calon Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah tampak begitu diharapkan oleh masyarakat. Mereka menjadi simbol bagi kepemimpinan baru di negeri ini.

Orang seperti Ridwan Kamil tidak hanya dianggap sebagai tokoh reformis saja, tetapi juga dianggap bisa menjadi penantang bagi kepemimpinan nasional di 2024. Lalu, seperti apa peluang tokoh reformis ini menuju kursi kekuasaan nasional di 2024?

Harapan Generasi Baru

Hasil Pilkada 2018 memang tergolong menyenangkan bagi sebagian pihak. Hal ini terutama bagi mereka yang berharap banyak akan ada perubahan dari gelaran tersebut. Pilkada 2018 dianggap bisa menjadi titik awal bagi masa depan politik tanah air.

Bagi pecinta status quo dan kemapanan, Pilkada 2018 sepertinya tidak memberikan hasil yang menggembirakan. Beberapa nama petahana terpaksa harus gigit jari karena gagal melanjutkan kepemimpinan atau naik derajat dari wakil gubernur menjadi gubernur. Selain itu, para pemilik “darah biru politik” juga tidak semuanya sukses meraup kursi orang penting di daerah.

Pilkada 2018, Harapan untuk 2024?

Nurdin Abdullah di Sulsel misalnya berhasil mematahkan dinasti politik yang telah lama bercokol di provinsi tersebut. Kemenangannya seperti menjadi napas baru bagi masyarakat Sulsel yang politiknya hanya dikuasai oleh satu klan saja.

Harapan dari tokoh-tokoh itu seperti menggeser kebiasaan lama dalam politik tanah air. Sebelum hari pencoblosan, banyak orang mengkhawatirkan isu SARA akan lebih kentara ketimbang hal-hal yang berbau kompetensi dan kinerja. Nyatanya, unggulnya kandidat seperti Ridwan Kamil dan Nurdin Abdullah berhasil mematahkan kekhawatiran tersebut.

Di mata Direktur Eksekutif CSIS, Philips J. Vermonte, kemenangan kandidat-kandidat tersebut menunjukkan bahwa ada generasi baru pemimpin yang tengah menanjak. Vermonte menyoroti bahwa masyarakat kini mulai melihat kandidat-kandidat yang bisa memberikan pelayanan lebih baik alih-alih identitas semata. Jika diperhatikan, generasi baru yang disebut Vermonte ini bisa saja memberikan harapan baru di negeri ini.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Tokoh-tokoh Reformis

Pasca hasil hitung cepat bermunculan, masyarakat mulai menebak-nebak arah politik negeri ini di masa depan. Beberapa ada yang meramalkan politik dalam negeri di 2019, tetapi ada pula yang meramalkan jauh hingga 2024.

South China Morning Post menyoroti tokoh-tokoh yang dianggap reformis. Nama-nama yang disebut di artikel tersebut di antaranya adalah Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, dan Nurdin Abdullah. Artikel tersebut memang tidak menyebut secara spesifik tentang peluang mereka di 2024. Akan tetapi, ketiga nama tersebut digolongkan sebagai generasi baru dalam kepemimpinan.

Nama Ridwan Kamil termasuk salah satu nama yang banyak dibicarakan warganet pasca penghitungan cepat. Banyak orang yang antusias dengan prospek pria yang dikenal dengan nama pendek Emil ini di 2024 nanti. Selama ini, ia dikenal sebagai tokoh yang kreatif dan inovatif dalam membangun Kota Bandung. Jika terpilih menjadi Gubenur Jabar, maka ia memiliki modal lebih dari cukup untuk mengejar kursi RI-1.

Di Sulsel, nama Nurdin Abdullah juga disambut baik oleh masyarakat. Semasa menjabat Bupati Bantaeng, ia berhasil mengangkat salah satu kabupaten paling tertinggal di Sulsel menjadi lebih baik. Investasi juga ia hadirkan di sana sehingga pembangunan terus menanjak. Ia juga menjadi salah satu tokoh Indonesia Timur yang diperhitungkan di tingkat nasional.

Sementara Khofifah juga dikategorikan reformis oleh artikel tersebut. Meski demikian, kiprah pimpinan Muslimat NU ini di pemerintahan tidak sementereng Emil dan Nurdin. Jika hitungannya prestasi, kiprahnya sebagai Menteri Sosial (Mensos) juga tidak terlampau cemerlang jika dibandingkan Emil dan Nurdin.

Di luar nama-nama itu, masyarakat di media sosial juga menyoroti tokoh-tokoh lain seperti Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan yang sudah terlebih dahulu terpilih. Mereka dianggap bisa menjadi alternatif kepemimpinan presiden di tahun 2024.

Meski demikian, harapan kepada keduanya sepertinya tidak sekencang pada tokoh seperti Emil dan Nurdin. Ganjar misalnya mulai memudar pasca dikaitkan dengan mega skandal E-KTP. Sementara itu, “perkawinan” Anies dengan Gerindra dan PKS membuat citra moderat dan pembaharu yang ia bangun sirna berganti citra konservatif dan intoleran. Oleh karenanya, citra reformis sulit dicap kepada kedua tokoh ini.

Terlepas dari apapun, sepertinya negeri ini tidak perlu khawatir kehilangan calon pemimpin di 2024. Gubernur-gubernur tersebut bisa menjadi alternatif bagi elite-elite lama yang terlampau uzur berlaga di Pilpres 2024.

Jenjang Menuju 2024

Memang pantas banyak orang menggantungkan harapan pada tokoh-tokoh yang terpilih di Pilkada 2018 untuk menjadi capres di tahun 2024. Jika diperhatikan, ada pola berjenjang dari gubernur ke kursi presiden di berbagai negara.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Amerika Serikat (AS) adalah contoh bagaimana kursi gubernur kerap menjadi pijakan awal seorang politisi menuju kursi presiden. Dari total 44 orang yang menjadi penguasa Gedung Putih, 18 di antaranya pernah mencicipi kursi di tingkat gubernur. Jika dipersentasekan, 42 persen Presiden AS adalah para bekas gubernur.

Di tanah air, fenomena tersebut terjadi pada kasus Joko Widodo (Jokowi). Sebelum menduduki kursi RI-1, Jokowi terlebih dahulu memimpin di tingkat provinsi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Jika ditarik jauh, ia bahkan memulai karir politiknya di tingkat kota dengan menjadi Wali Kota Solo.

Fenomena jenjang politik seperti ini disoroti misalnya oleh Larry J. Sabato dari University of Virginia. Dalam riwayat kepemimpinan AS, terutama di era modern, kursi presiden kerap diisi oleh orang yang berpengalaman sebagai gubernur. Secara umum, gubernur dianggap teruji dalam hal kemampuannya mengelola pemerintahan.

Selain itu, dalam pandangan Saladin M. Ambar dari University of Pennsylvannia, gubernur memberikan perubahan tersendiri saat memerintah sebagai presiden. Secara spesifik, Ambar menggarisbawahi perbedaan yang dihasilkan oleh para mantan gubernur tersebut dalam modernisasi praktik kepresidenan.

Jika merujuk pada pandangan Ambar tersebut, pandangan reformis kepada gubernur-gubernur yang terpilih pada Pilkada 2018 bisa jadi tidak berlebihan. Ada harapan modernisasi yang dihasilkan pemimpin-pemimpin tersebut jika benar-benar maju di 2024 nanti. Di antara nama-nama tersebut, Ridwan Kamil boleh jadi salah satu yang terdepan.

Di atas kertas, di antara tokoh-tokoh reformis versi South China Morning Post, Ridwan Kamil cenderung lebih populer. Namanya tidak hanya muncul di survei tingkat gubernur saja, tetapi juga berseliweran di sejumlah survei capres.

Secara demografi, Jabar memiliki jumlah penduduk terbanyak di negeri ini.Sebagai pemimpin provinsi terpadat, Emil bisa memiliki modal yang cukup untuk meraup suara lebih banyak ketimbang kompetitornya nanti.

Terlepas dari apapun, belum bisa diketahui secara pasti yang akan terjadi di 2024. Untuk saat ini, kehadiran tokoh-tokoh reformis di kursi gubernur cukup memberi harapan. Apakah harapan tersebut akan berbuah manis di 2024? Kita lihat nanti. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...