Permintaan International Monetary Fund (IMF) terkait dibukanya kembali ekspor bijih nikel kepada pemerintah Indonesia direspons dengan penolakan keras. IMF bahkan diminta untuk tidak mencampuri urusan Indonesia. Lantas, kenapa pemerintah Jokowi berani dengan tegas menolak IMF? Mungkinkah terdapat dukungan Tiongkok di baliknya?
Kontroversi tentang kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel sudah bergulir sejak tahun 2019 sampai saat ini.
Terbaru, International Monetary Fund (IMF) telah meminta pemerintah Indonesia untuk melonggarkan kebijakan terkait larangan ekspor bijih nikel.
Permintaan itu mereka sampaikan dalam IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia pada 22 Mei 2023.
Menurut IMF, sejatinya mereka menyambut baik kebijakan Indonesia tersebut demi meningkatkan nilai tambah mineral melalui larangan ekspor. Namun, IMF menilai kebijakan itu perlu analisis lebih mendalam agar berjalan dengan baik.
Permintaan IMF itu kemudian mendapatkan respon penolakan yang keras dari para menteri pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Bahkan, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia sampai menggelar jumpa pers untuk menanggapi permintaan IMF tersebut. Menurutnya, IMF telah mengganggu kedaulatan Indonesia.
Tegas Bahlil, larangan ekspor bijih nikel merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk mendorong hilirisasi mineral dalam negeri yang juga diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Bahlil juga menambahkan bahwa pemerintah Indonesia tidak mau lagi dijerumuskan oleh IMF seperti pada saat krisis moneter 1997-1998 lalu. Apalagi Indonesia kini sudah tidak mempunyai tanggungan utang kepada IMF.
Senada dengan Bahlil, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan Indonesia punya pendirian dan pandangan sendiri tentang larangan ekspor bijih nikel. Meskipun begitu, dirinya tetap menghargai pandangan IMF.
Menurutnya, program hilirisasi tambang yang menjadi andalan Presiden Jokowi telah membuat neraca keuangan Indonesia semakin kuat.
Atas dasar itu, Sri Mulyani dengan percaya diri menyebut bahwa program itu sudah berjalan dengan baik dan tidak ada masalah.
Lalu, melihat respons yang ditunjukkan pemerintah Indonesia terhadap permintaan IMF menimbulkan pertanyaan menarik. Mengapa pemerintah Indonesia dengan berani menolak permintaan IMF yang meminta kelonggaran kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel?
Bukankah terdapat Uni Eropa juga di belakangnya? Presiden Jokowi juga secara terbuka mengatakan akan melawan gugatan terhadap pelarangan ekspor bijih nikel.
IMF “Biang Kerok”?
Dalam era globalisasi saat ini, peran NGOs seperti IMF hampir sama dengan peran negara dalam politik internasional.
Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye dalam buku yang berjudul Power and Interdependence memperkenalkan konsep complex interdependence.
Dalam konsep complex interdependence ada dua asumsi utama yang menjadi ciri dari konsep tersebut. Pertama, negara bukan lagi aktor eksklusif dalam politik internasional.
Kedua, kerja sama internasional tidak lagi semata-mata ditentukan oleh kepentingan masing-masing negara yang terlibat di dalamnya, melainkan juga oleh institusi internasional.
Institusi internasional sering kali bukan hanya bisa mengelola berbagai kepentingan dari negara anggotanya, tapi juga memiliki dan bisa memaksakan kepentingannya sendiri.
Berkaca pada penjelasan tersebut, asumsi kedua rasanya cocok untuk menggambarkan adanya complex interdependence dalam permintaan IMF ke pemerintah Indonesia terkait pelonggaran larangan ekspor bijih nikel.
Pemaksaan kepentingan yang dimaksud dalam asumsi complex interdependence juga bisa dikatakan sebagai intervensi dalam konteks permintaan IMF ke Indonesia.
Ana I. Eiras dalam publikasinya yang berjudul IMF and World Bank Intervention: A Problem, Not A Solution mengatakan dalam banyak kasus di dunia, rekomendasi, intervensi, dan pinjaman IMF justru telah memperburuk keadaan negara bersangkutan.
Eiras menambahkan, belakangan krisis keuangan di seluruh dunia meningkat saat IMF justru mengerahkan seluruh sumber daya mereka untuk memeranginya.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia tampaknya sadar jika rekomendasi dari organisasi internasional seperti IMF tak selamanya akan membawa kebaikan bagi Indonesia.
Kembali, seperti apa yang dikatakan Menteri Investasi Bahlil, pemerintahan Presiden Jokowi telah belajar dari pengalaman yang Indonesia alami pada krisis moneter tahun 1997-1998 lalu.
Saat itu, bukannya membantu memperbaiki, IMF justru seakan memperburuk keadaan ekonomi Indonesia.
Permintaan IMF terkait pelarangan ekspor nikel juga jamak dinilai sebagai kepanjangan tangan kepentingan negara-negara donatur IMF.
Negara-negara tersebut diantaranya Amerika Serikat (AS), Kanada, Jerman, Prancis, Inggris, dan Jepang, yang memang sebagai negara industri dengan kemampuan ekonomi yang tinggi.
Para negara donatur itu kiranya ingin bermain “cantik” dengan menggunakan IMF sebagai alat mereka untuk menekan pemerintah Indonesia.
Mengingat, akibat yang akan ditimbulkan dari pelarangan ekspor bijih nikel kiranya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi dan mungkin meningkatkan angka pengangguran di negara-negara tersebut.
Selain demi kepentingan para negara donatur, IMF juga tampaknya juga ingin membawa kepentingannya sendiri sebagai lembaga ke pemerintah Indonesia terkait ekspor bijih nikel.
Dunia yang kini sedang berupaya membangun industri kendaraan listrik dan nikel sebagai bahan baku utama, membuat IMF kiranya juga ingin berperan dalam pembangunan industri tersebut.
Melihat kondisi sekarang, Indonesia seakan sedang memainkan perannya dalam pembangunan industri kendaraan listrik dengan kebijakan hilirisasi ala Presiden Jokowi.
Hal tersebut tampaknya menunjukkan ketidaksenangan IMF dengan gebrakan Presiden Jokowi yang berpotensi mengguncang industri dunia. IMF boleh jadi tidak ingin ada yang merusak hegemoni mereka.
Terlebih lagi, hegemoni ini dirusak oleh negara dunia ketiga seperti Indonesia yang didukung oleh modal dari Tiongkok sebagai mitra kerja sama pengolahan atau smelter nikel di Indonesia.
Mengutip CNBC Indonesia, beredar kabar bahwa terdapat lobi Tiongkok di balik percepatan pelarangan ekspor bijih nikel. Disebutkan, gagasan melarang ekspor bijih nikel muncul setelah pertemuan antara para investor smelter Tiongkok dengan Presiden Jokowi pada Juli 2019.
Jika informasi itu benar, bisa jadi beking dan suntikan dana dari Tiongkok yang memberi keberanian pemerintah Indonesia dalam menolak permintaan IMF.
Lantas, jika simpulan itu tepat, apakah Presiden Jokowi sudah benar-benar yakin bahwa Tiongkok sudah bisa menyaingi negara-negara Barat?
Tepat Pilih Tiongkok?
Indonesia kini mempunyai 21 juta ton atau 23 persen dari cadangan nikel dunia. Sebagai pemegang cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia kiranya harus cermat memilih mitra kerja sama untuk mendukung kebijakan hilirisasi tambang.
Pemilihan Tiongkok sebagai mayoritas investor pengolahan atau smelter nikel di Indonesia oleh Presiden Jokowi tampaknya bukan tanpa alasan.
Kekuatan ekonomi Tiongkok yang bertumbuh dengan pesat dan dapat menjadi pesaing negara-negara Barat kiranya dinilai sebagai salah satu alasan Presiden Jokowi tersebut.
Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul Clash of Civilizations bahkan sudah memprediksi bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat, Tiongkok akan menjadi ancaman Barat.
Huntington menambahkan, hal itu kemudian akan menjadi benturan peradaban yang membuat negara non-Barat seperti Tiongkok ingin membentuk dunia dengan cara mereka sendiri dan menghilangkan pengaruh Barat.
Munculnya reaksi anti-Barat tersebut pada dasarnya disebabkan oleh dominasi Barat dan kecenderungannya untuk memaksakan kehendak dalam kancah perpolitikan internasional.
Berkaca pada penjelasan itu, kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok terkait pengolahan atau smelter nikel di Indonesia bisa dikatakan sebagai reaksi anti-Barat dari pemerintah kedua negara.
Kedua negara tampak mungkin ingin mengurangi dominasi pengaruh Barat dalam pembentukan industri kendaraan listrik.
Namun, kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok untuk menghilangkan dominasi pengaruh Barat dalam pengolahan atau smelter nikel bukan tanpa masalah.
Kebijakan hilirisasi berbasis pelarangan ekspor telah memicu penambangan dan ekspor nikel ilegal dalam jumlah signifikan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum lama ini mendeteksi adanya ekspor ilegal bijih nikel ke Tiongkok dengan jumlah mencapai 5,3 juta ton dalam rentang Januari 2020 sampai Juni 2022.
Melihat hal itu, Indonesia justru akan merugi lebih banyak dengan hanya mengandalkan pelarangan ekspor tanpa penegakan hukum yang jelas.
Kebijakan hilirisasi ala Presiden Jokowi tampaknya memang harus segera dievaluasi, terutama terkait proses transfer teknologi dan perlindungan lingkungan.
Tanpa rencana transfer teknologi, penguasaan industri oleh entitas domestik, perlindungan lingkungan hidup yang ketat, serta pengembangan industri hilir secara simultan, kebijakan hilirisasi ala Presiden Jokowi hanya akan menjadi instrumen industrialisasi Tiongkok.
Dikhawatirkan, jika persoalan-persoalan itu tidak dibenahi, pada akhirnya Indonesia hanya menjadi tempat relokasi industri kotor yang sangat tidak ramah lingkungan sekaligus menjadi pemasok barang setengah jadi yang murah ke Tiongkok. (S83)