Di tengah gempuran kritik soal pemilihan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto, nyatanya ada poin penting yang mungkin terlewatkan, yakni bahwa Gibran punya modal politik yang tidak bisa dianggap remeh. Ia putra Presiden Jokowi, sehingga tentu saja akan mendapatkan banyak keuntungan dari status tersebut. Dari sisi citra politik pun Gibran tak bisa dianggap remeh. Dalam konteks ini, keberadaan Gibran juga bisa saja menjadi jaminan kemenangan Prabowo di 2024.
“Politics is too serious a matter to be left to the politicians”.
– Charles de Gaulle
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah resmi mendaftarkan diri sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk pemilu 2024. Pemilihan Gibran sebetulnya melahirkan perpecahan persepsi di kalangan pendukung Prabowo.
Banyak di antaranya yang memang sudah kadung kecewa dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait putusan usia minimum capres-cawapres yang memang bernuansa mengakomodir pencalonan Gibran yang belum cukup umur minimal.
Namun, tidak sedikit pula yang optimis bahwa pemilihan Gibran tentu akan menguntungkan Prabowo. Mereka menilai Prabowo telah memilih Gibran sebagai calon wakil presiden dengan pertimbangan yang matang. Dalam pidatonya, Prabowo memuji Gibran dan meyakinkan bahwa pilihannya terhadap Gibran menunjukkan keyakinannya terhadap putra sulung Presiden Jokowi itu.
Tentu pertanyaannya adalah apakah keputusan ini tepat diambil Prabowo? Lalu bagaimana persoalan ini dilihat dari perspektif warisan politik Jokowi?
Konsep Footsteps of The Father
Persoalan pencalonan Gibran mungkin menarik untuk kita lihat dalam bingkai ungkapan yang kerap diutarakan dalam kaitan dengan suksesi kepemimpinan yang melibatkan anggota keluarga: “Footsteps of the Father”. Gagasan ini mungkin tidak spesifik diungkapkan oleh ahli politik tertentu, tapi setidaknya pemikir macam Niccolò Machiavelli hingga Max Weber pernah membahasakannya dalam karya-karya mereka.
Footsteps of the Father pada dasarnya mencerminkan ide bahwa setelah pemimpin yang dihormati dan dianggap berhasil, ada kepentingan untuk melanjutkan kebijakan yang telah ditempuh. Ini dapat menjadi strategi yang menarik dalam membangun konsistensi dan stabilitas dalam pemerintahan.
Melanjutkan kebijakan yang telah terbukti dapat memberikan rasa kepastian kepada masyarakat, bisnis, dan komunitas internasional. Ini juga dapat membentuk narasi kepemimpinan yang terjalin dengan warisan positif, memberikan pemimpin baru landasan moral dan kebijakan yang kuat.
Pendekatan ini memang memiliki keuntungan, tetapi juga sekaligus risiko tersendiri. Keuntungan pertama yang bisa diraih adalah hal ini dapat membantu menghindari goncangan besar dalam kebijakan pemerintah, yang dapat terjadi ketika ada perubahan drastis dalam kepemimpinan.
Keuntungan kedua, pendekatan ini dapat meningkatkan stabilitas politik dan keamanan nasional. Dan keuntungan ketiga, jika kebijakan sebelumnya terbukti berhasil, melanjutkannya dapat mendapatkan dukungan luas dari berbagai segmen masyarakat.
Namun, seperti semua pendekatan dalam politik, Footsteps of the Father juga memiliki risiko. Salah satu risikonya adalah bahwa masyarakat dan dunia politik selalu berubah. Apa yang berhasil di masa lalu mungkin tidak sepenuhnya relevan atau efektif dalam menghadapi tantangan dan peluang baru. Terlalu banyak penekanan pada kontinuitas dapat menghambat inovasi dan adaptasi terhadap perubahan yang mungkin dibutuhkan masyarakat.
Untuk memahami lebih lanjut tentang konsep Footsteps of the Father dalam konteks warisan politik seorang kandidat presiden, kita perlu melakukan analisis mendalam terhadap dua aspek utama: kebijakan dan gaya kepemimpinan.
Pertama-tama, kita perlu memahami jenis kebijakan apa yang diwarisi oleh sang kandidat dari pemimpin sebelumnya. Apakah ini mencakup kebijakan ekonomi, kebijakan luar negeri, atau perubahan sosial tertentu? Misalnya, jika pemimpin sebelumnya fokus pada pembangunan ekonomi yang inklusif, sang kandidat harus menjelaskan bagaimana dia akan mempertahankan dan meningkatkan upaya tersebut.
Dalam hal ini, transparansi dan komunikasi yang baik sangat penting. Sang kandidat harus mampu menyampaikan dengan jelas bagaimana dia berencana untuk melanjutkan kebijakan yang telah diterapkan sebelumnya, dan sejauh mana dia akan membuat penyesuaian untuk mencocokkan kebutuhan dan tuntutan masa kini.
Dalam kasus Jokowi, pencapaian-pencapaian ekonomi dan program-program pembangunan memang selayaknya mendapatkan jaminan keberlanjutan. Dan hal terjamin jika Gibran berhasil menjadi orang nomor 2 di republik ini.
Selain itu, gaya kepemimpinan sangat memengaruhi cara seorang pemimpin baru diakui dan diterima oleh masyarakat. Jika pemimpin sebelumnya dikenal dengan gaya kepemimpinan yang tegas dan efektif, sang kandidat harus mempertimbangkan apakah dia akan melanjutkan pendekatan yang sama atau memperkenalkan nuansa baru sesuai dengan kepribadian dan nilai-nilai yang dia bawa.
Gaya kepemimpinan dapat mencakup aspek-aspek seperti komunikasi, kemampuan untuk mengatasi krisis, kemampuan untuk membangun koalisi, dan kepercayaan diri dalam membuat keputusan sulit. Sang kandidat harus mampu menunjukkan bahwa dia memiliki kualitas-kualitas ini atau, dalam beberapa kasus, bahwa dia dapat belajar dari pengalaman sebelumnya dan memperbaiki kelemahan yang mungkin ada.
Dengan demikian, penting untuk mengenali bahwa ada perubahan yang terjadi seiring berjalannya waktu, dan pemimpin yang efektif harus dapat beradaptasi dengan perubahan tersebut. Oleh karena itu, seorang kandidat yang berkomitmen untuk mengikuti Footsteps of the Father harus memiliki rencana konkret tentang bagaimana dia akan menghadapi tantangan baru dan menanggapi perubahan dalam dinamika politik dan sosial.
Kemudian, perlu menjadi catatan bahwa kandidat – dalam hal ini Gibran – bisa menciptakan ruang bagi inovasi dan perbaikan. Gibran harus menunjukkan bahwa dia tidak hanya akan mengikuti jejak Jokowi, tetapi juga mampu membuat kebijakan yang berbeda dan lebih baik jika diperlukan. Fleksibilitas adalah kunci untuk menjembatani perubahan dan memastikan bahwa warisan politik bukanlah beban, tetapi sumber kekuatan.
Adapun dalam konteks politik, penerimaan publik dan dukungan politis adalah kunci kesuksesan. Gibran harus secara efektif membangun narasi yang meyakinkan tentang mengapa melanjutkan Footsteps of the Father adalah pilihan yang baik untuk negara. Ini melibatkan seni komunikasi yang efektif dan kemampuan untuk menghubungkan dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Gibran Kunci Menang Jokowi
Dengan demikian, sebenarnya kemenangan Prabowo-Gibran secara tidak langsung akan menjadi kemenangan Jokowi. Bagaimanapun juga, Prabowo kerap digosipkan menjadi capres yang mendapatkan dukungan penuh dari sang presiden.
Ini juga menjadi jawaban dari sikap abu-abu Jokowi yang selama ini memang selalu diidentikkan dengan PDIP – partai yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai lawan Gibran dan Prabowo. Keberadaan Gibran dalam koalisi Prabowo akan makin memperkuat fakta bahwa Jokowi tentu lebih cenderung mengarahkan hatinya untuk Prabowo.
Apapun itu, yang jelas Gibran memiliki tugas yang sangat berat untuk menjawabi semua ekspektasi masyarakat terhadap keberlanjutan kekuasaan Jokowi, maupun kemampuannya untuk melengkapi Prabowo.
Sebab, bagaimanapun juga, kepemimpinan yang diwujudkan lewat Pilpres bukan soal siapa yang lebih populer. Ini soal kepentingan masyarakat yang diakomodir lewat program-program yang ditawarkan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)