Site icon PinterPolitik.com

Piala Dunia U-20, “Cuci Nama” Israel Berhasil?

israel timnas

Suporter Timnas Sepak Bola Israel (Foto: Getty Images)

Ikut sertanya tim nasional (Timnas) sepak bola Israel U-20 di ajang Piala Dunia U-20 yang akan digelar di Indonesia mengundang penolakan dari beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas) dan partai politik (parpol) bernuansa Islam. Penolakan dilandaskan atas dasar aksi solidaritas terhadap Palestina. Dengan kecaman yang datang, mengapa Israel tetap akan ikut serta? Apakah penolakan itu dapat mencegah Israel ikut serta? 


PinterPolitik.com 

Lolosnya tim nasional (Timnas) sepak bola Israel ke Piala Dunia U-20 di Indonesia sebagai wakil dari zona Eropa menimbulkan kontroversi di tanah air. Sejatinya, ini adalah prestasi tertinggi Israel karena pertama kali lolos ke Piala Dunia kelompok umur FIFA. 

Tidak adanya hubungan diplomatik kedua negara dan kebijakan pemerintah Indonesia yang selama ini mendukung kemerdekaan Palestina menjadi alasan berbagai pihak untuk menolak keikutsertaan Timnas Israel. 

Sementara, sebagian pihak lagi ada yang beranggapan bahwa olahraga tidak bisa dikaitkan dengan politik. Indonesia sebagai tuan rumah juga tidak bisa menentukan tim mana yang akan lolos ke Piala Dunia U-20. 

Penolakan akan keikutsertaan timnas Israel disuarakan oleh berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas), tokoh, bahkan partai politik (parpol) bernuansa Islam. Mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil sikap sebagai bentuk nyata dukungan terhadap kemerdekaan Palestina. 

Namun, Ketua Umum (Ketum) PSSI Erick Thohir yang juga sebagai ketua panitia pelaksana (panpel) Piala Dunia U-20 menyatakan akan menerima dan memperlakukan setiap negara peserta Piala Dunia U-20 dengan adil. 

Lantas, mengapa wacana penolakan timnas Israel dinilai sebagai sesuatu yang penting terhadap kemerdekaan Palestina? Serta, mengapa Timnas Israel tetap akan ikut serta ditengah penolakan yang ada di Indonesia? 

Bagian Dari Sportwashing? 

Olahraga dan politik adalah hal yang bertolak belakang namun tidak dapat dipisahkan. Tak jarang, olahraga kerap dijadikan alat politik untuk mencapai kepentingan tertentu. Salah satunya adalah praktik sportwashing. 

Menurut Kyle Fruh, Alfred Archer & Jake Wojtowicz dalam jurnal berjudul Sportswashing: Complicity and Corruption, dijelaskan bahwa praktik ini dilakukan sebuah entitas guna mengalihkan perhatian publik terhadap pelanggaran moral yang mereka lakukan dengan memanfaatkan keberhasilan menyelenggarakan dan ikut serta dalam acara olahraga. 

Sportwashing bisa terjadi karena olahraga identik dengan nilai-nilai kolektif dan mengundang atensi yang besar. 

Tak heran, jika olahraga kemudian menjadi kendaraan politik yang amat strategis untuk memengaruhi sebuah persepsi terhadap citra diri sebuah pemerintah maupun tokoh publik tertentu. 

Sportwashing bekerja dengan cara mengalihkan perhatian publik terhadap pemerintahan atau tokoh publik yang biasanya mempunyai citra negatif menuju citra positif. 

Berkaca dari penjelasan diatas, “keberuntungan” Israel lolos ke Piala Dunia U-20 Indonesia bisa saja merupakan bagian dari praktik sportwashing. 

Terlebih, Israel agaknya bisa “mencuci nama” dengan menampilkan citra positif di depan publik Indonesia yang mayoritas penduduknya mendukung kemerdekaan Palestina. 

Israel, dengan penampilan di dalam dan luar lapangan kelak, kiranya akan mencoba mengubah persepsi penolakan dari berbagai pihak di Indonesia dan mengalihkan perhatian publik Indonesia terhadap pelanggaran moral yang dilakukannya terhadap Palestina ke sepak bola. 

Seperti yang disampaikan Jonathan Liew dalam tulisan berjudul Sportswashing is associated with certain countries – why not Israel?, tujuan dari diplomasi olahraga Israel adalah ketika masyarakat mendengar nama mereka, orang tidak akan memikirkan pos pemeriksaan militer, pengeboman Gaza, pendudukan Tepi Barat, atau perjuangan orang Palestina. 

Meskipun praktik sportwashing sudah lama dijalankan berbagai pihak, terminologi sportwashing sendiri baru dikenal pada 2015. Terbaru, praktik ini disinyalir dilakukan Rusia dan Qatar saat terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022. 

Praktik sportwashing memang erat kaitannya dengan olahraga dan diplomasi. Hal ini dijelaskan Michael Skey dalam jurnal yang berjudul Sportswashing: Media headline or analytic concept?. 

Dalam jurnal tersebut, Skey membahas bagaimana diplomasi olahraga sering dicirikan sebagai kemampuan untuk mempromosikan pemahaman dan persahabatan internasional, serta menghilangkan stereotip dan prasangka. 

Skey juga menjelaskan sportswashing seringkali hanya ditudingkan pada negara-negara non-Barat yang menganut nilai-nilai yang bertentangan dengan liberalisme dan demokrasi. 

Hal tersebut lah yang kemudian tampaknya juga dilakukan oleh Rusia dan Qatar dalam pencalonan mereka sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022. Kedua negara tersebut dinilai ingin menghilangkan prasangka negatif dunia Barat terhadap negara mereka. 

Sportwashing tidak hanya dilakukan dengan cara menjadi tuan rumah event olahraga saja. Dalam beberapa kasus, praktik itu dilakukan dengan cara akuisisi klub elit Eropa oleh investor asal negara-negara Timur Tengah, negara yang sering dituding melakukan pelanggaran HAM. 

Cara ini tidak kalah efektif. Meski akan muncul kontroversi di awal, pada akhirnya publik akan lupa ketika investor tersebut berhasil membawa perubahan positif untuk klub. 

Contohnya adalah dengan mendatangkan pemain-pemain bintang hingga melakukan perbaikan infrastruktur. Performa klub yang membaik akan berbanding lurus dengan persepsi terhadap investor tersebut. 

Lalu, apakah probabilitas sportwashing Israel akan ampuh di Indonesia, khususnya di Piala Dunia U-20? 

Alat Kampanye 2024? 

Penolakan yang hadir terhadap timnas Israel untuk Piala Dunia U-20 terdapat kemungkinan bahwa dalih solidaritas terhadap Palestina oleh kelompok Islam konservatif Indonesia adalah demi sebuah kepentingan politik tertentu. 

Bridget Fowler dalam publikasi berjudul Pierre Bourdieu on social transformation, with particular reference to political and symbolic revolutions menjelaskan sebuah identitas atau status terkadang digunakan untuk menyamarkan sebuah kepentingan. 

Menurut Fowler, terdapat keuntungan simbolis dari penyamaran kepentingan tersebut yang kemudian dapat diubah menjadi modal ekonomi maupun politik. 

Berkaca dari penjelasan Fowler tersebut, dapat dipahami bahwa aktor politik dapat menggunakan identitas dan status “konservatisme” dalam membela Palestina untuk mendapatkan respon positif dari masyarakat yang merupakan target suara mereka menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. 

Penolakan terhadap Timnas Israel oleh kelompok Islam konservatif Indonesia sendiri kemudian seolah mendapat pertentangan dari Duta Besar (Dubes) Palestina untuk Indonesia Zuhair Al Shun. 

Zuhair sendiri mengatakan tidak mempermasalahkan kedatangan timnas Israel untuk Piala Dunia U-20 ke Indonesia. Menurutnya, partisipasi masing-masing negara yang ikut dalam kompetisi Piala Dunia U-20 sudah sesuai aturan FIFA dan tidak ada kaitannya dengan konflik politik, bahkan suka atau tidak suka dengan negara peserta tersebut. 

Zuhair yakin Palestina akan hadir dalam Piala Dunia U-20 dalam “bentuk lain” seperti apa yang terjadi pada Piala Dunia Qatar 2022 lalu. 

Penolakan yang hadir terhadap Timnas Israel selain karena faktor sebagian masyarakat konservatif Indonesia terhadap isu yang menyangkut Palestina, tampaknya juga adalah buntut dari kesan tidak jujurnya hubungan politik luar negeri Indonesia dengan Israel. 

Hal ini seperti apa yang dijelaskan oleh Niruban Balachandran dalam tulisan In defense of Istibsyaroh yang menjelaskan bahwa politik luar negeri Indonesia membutuhkan dialog yang jujur dan terbuka tentang peran dan efektivitas Indonesia pada isu Israel dan Palestina. 

Tidak ada salahnnya untuk membuka dengan jelas bagaimana hubungan ekonomi, politik, dan keamanan Indonesia dan Israel yang selama ini tampaknya terjadi “di bawah meja”. 

Oleh karena itu, narasi penolakan terhadap Timnas Israel dengan alibi solidaritas terhadap Palestina nampaknya harus kembali diluruskan. 

Bagaimanapun, masyarakat Indonesia perlu mendapatkan penjelasan posisi kebijakan luar negeri Indonesia terhadap isu Israel dan Palestina agar tidak dapat dengan mudah tergiring opini konservatif demi sebuah kepentingan politik individu atau kelompok tertentu. (S83) 

Exit mobile version