Banyak pihak menyalahkan politisi seperti Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo atas pembatalan status tuan rumah Indonesia di Piala Dunia U-20 2023. Namun, apakah benar ini adalah kesalahan Ganjar dkk sepenuhnya? Mungkinkah ada prakondisi yang mempengaruhi?
Indonesia tampaknya masih dilanda kekecewaan setelah keputusan FIFA membatalkan status tuan rumah Piala Dunia U-20 akibat penolakan timnas Israel ke tanah air. Kejadian ini kemudian menimbulkan polemik di kalangan masyarakat Indonesia yang ditandai dengan aksi saling menyalahkan.
Beberapa pihak menilai keputusan aktor politik dalam negeri seperti Ganjar Pranowo dan I Wayan Koster yang menolak kedatangan Timnas Israel sebagai sumber masalah. Kedua gubernur dari PDIP tersebut menganggap penolakan terhadap timnas Israel sudah sesuai dengan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NRI) 1945 yang turut tegas mengecam penjajahan Israel terhadap Palestina.
Selain penolakan dari para politisi dalam negeri, kekhawatiran lain yang juga timbul jika Piala Dunia tetap berlangsung di Indonesia sebenarnya adalah masalah ancaman keamanan. FIFA sendiri secara resmi menyatakan dibatalkannya perhelatan Piala Dunia U-20 di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari masalah keamanan.
Politikus senior PDIP, Hendrawan Supratikno, berpendapat bahwa keputusan Wayan Koster menolak kedatangan timnas dari negara berbendera bintang David tersebut dikarenakan bisa memicu isu yang sensitif.
Sensitifnya kedatangan timnas Israel ke Indonesia juga didukung dengan pernyataan dari pengamat terorisme, Noor Huda Ismail. Ia menjelaskan kedatangan timnas Israel akan berpotensi memantik jaringan kelompok teroris di Indonesia untuk melakukan serangan dan kekerasan.
Keberadaan kelompok Islam garis keras di Indonesia sering kali menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Israel dengan berdemonstrasi atau, bahkan, mengancam untuk melakukan serangan teror. Menurut pengamatan Noor Huda, terdapat tiga kelompok teror yang nantinya akan menjadi ancaman jika perhelatan Piala Dunia U-20 tetap dilangsungkan di Indonesia.
Ancaman keamanan tersebut berasal dari kelompok-kelompok yang memiliki afiliasi dengan jaringan terorisme di Indonesia seperti Jemaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Kedua organisasi tersebut secara terang-terangan menyatakan perang terhadap Israel.
Keberadaan jaringan terorisme di Indonesia kemudian menimbulkan kerentanan bagi timnas Israel itu sendiri. Dalam situasi ini, timnas Israel seperti memasuki kandang macan. Mereka akan bertemu dengan penentang mereka secara langsung, mulai dari yang hanya berfokus pada isu kemanusiaan Palestina hingga mendukung aksi kekerasan dan teror terhadap Israel.
Terorisme atau Freedom Fighter?
Indonesia beberapa kali pernah mendapatkan serangan teror ketika menyambut acara-acara besar – misalnya serangan bom malam Natal tahun 2000 yang terjadi di 13 kota. Serangan bom yang dipimpin oleh Encep Nurjaman, pemimpin JI Asia Tenggara, itu telah menewaskan 15 orang.
Akan tetapi, yang membedakan kasus-kasus serangan teror sebelumnya adalah isu kedatangan timnas Israel dapat memberikan pembenaran bagi pelaku teroris dalam melakukan aksinya. Penyerangan yang dilakukan bisa dianggap sebagai bentuk simpati terhadap Palestina. Hal ini kemudian membuat para pelaku teror menganggap serangan yang dilakukan bukan merupakan bentuk terorisme melainkan sebuah bentuk freedom fighter.
Kennedy dalam jurnalnya yang berjudul “Is one person’s terrorist another’s freedom fighter? Western and Islamic approaches to ‘just war’ compared” mengatakan terdapat kesulitan dalam menentukan apakah sebuah organisasi merupakan bagian dari jaringan terorisme atau bukan – misalnya aksi penculikan terhadap seorang tentara Israel berpangkat Kopral pada Oktober 1994 oleh anggota sayap bersenjata Hamas.
Menurut perspektif dari pihak Israel, aksi penculikan yang dilakukan oleh Hamas merupakan tindakan terorisme. Di sisi lain, menurut pihak Hamas, aksi penculikan tersebut merupakan bentuk perlawanan atas tindakan represif yang dilakukan oleh pihak keamanan Israel terhadap warga Palestina.
Selain itu, kekerasan yang dilakukan oleh pelaku teroris dapat dianggap sebagai bentuk upaya penegakan norma dan nilai yang dilindungi bersama. Menurut Donald Black dalam jurnalnya berjudul “The Geometry of Terrorism”, kekerasan adalah salah satu upaya kontrol sosial yang secara swadaya dilakukan masyarakat. Hal ini kemudian membuat definisi kekerasan sangat bergantung pada hasil konstruksi masyarakat dan konteks budaya setempat sehingga tidak jarang para pelaku kekerasan sering disebut sebagai “pahlawan”.
Bukan tidak mungkin, perbedaan perspektif antara teroris dan “pahlawan” seperti ini menjadi salah satu pertimbangan untuk meminimalisir munculnya korban jiwa yang tidak diperlukan. Lantas, bagaimana dengan Piala Dunia U-20? Mungkinkah FIFA sudah melakukan keputusan yang tepat?
Alasan FIFA yang Sebenarnya?
Sebagai negara yang mendukung Palestina, Indonesia memiliki masyarakat yang anti terhadap Israel. Masifnya gerakan anti-Israel di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran berbagai elemen masyarakat – misalnya massa dari PA 212 dan para alumni FPI pada tanggal 20 Maret 2023 lalu melakukan demonstrasi di Kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, untuk menolak kedatangan timnas Israel.
Demonstrasi terhadap Israel sendiri pun sudah menjadi agenda tahunan di Indonesia. Banyak kelompok masyarakat kerap mengadakan Aksi Bela Palestina untuk menuntut agar Israel menghentikan pendudukan atas wilayah Palestina.
Keikutsertaan kelompok konservatif di Indonesia dalam berbagai demonstrasi anti Israel seringkali dikaitkan dengan kelompok radikal. Merlyna Lim dalam jurnalnya berjudul “Radical Islamism in Indonesia and Its Middle Eastern Connections”, perkembangan paham radikalisme Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kemunculan isu Zionisme. Selain isu penjajahan terhadap Palestina, masyarakat Indonesia seringkali mengaitkan Israel dan Zionisme dengan agenda-agenda yang bertujuan untuk memusuhi umat Islam. Timbulnya narasi miring terkait Israel kemudian menciptakan perasaan permusuhan di masyarakat hingga mendukung penggunaan kekerasan hingga perilaku terorisme.
Dalam konteks perhelatan Piala Dunia U-20 di Indonesia, para pelaku dapat berdalih kekerasan yang mereka lakukan merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah Indonesia. Diterimanya timnas Israel untuk bermain di tanah air memicu anggapan bahwa pemerintah Indonesia tidak taat terhadap konstitusi UUD 1945. Mereka kemudian dapat melabel diri sebagai “pembela Palestina” atau “pembela konstitusi UUD 1945” dan menganggap merupakan tindakan yang sah untuk dilakukan.
Melihat risiko keamanan yang berbau politis dan agama, FIFA kemudian memutuskan untuk membatalkan status tuan rumah Indonesia. Keputusan ini harapannya dapat mencegah masalah berbau politik dan agama muncul kembali di dunia olahraga.
Hal ini seperti yang terjadi pada Piala Dunia 2022 di Qatar. Penolakan atas kelompok LGBTQ+ yang dinyatakan secara resmi oleh pemerintah Qatar membuat nuansa Piala Dunia pada waktu itu terasa panas.
Selain itu, FIFA tampaknya tidak ingin insiden Black September terjadi untuk kedua kalinya. Black September sendiri memberikan trauma bagi dunia olahraga atas serangan terorisme. Insiden ini terjadi saat Olimpiade Munich 1972 ketika militan Palestina menyerang atlet Israel di asrama mereka.
Bukan tidak mungkin, tingginya penolakan yang ada di Indonesia serta trauma atas insiden Black September, tampaknya membuat FIFA memperhatikan kerentanan bagi para pemain timnas Israel itu sendiri.
Meski warganet dan publik pada umumnya sempat menyalahkan politisi dan kelompok yang menolak timnas Israel, keputusan yang diambil oleh FIFA boleh jadi adalah keputusan yang tepat. Lagipula, ancaman kekerasan yang menimbulkan korban tidaklah sepadan dengan upaya untuk meneruskan kompetisi olahraga yang sedari awal justru bertujuan untuk menciptakan perdamaian dan harmoni di antara negara-negara yang berpartisipasi. (F92)