HomeNalar PolitikPetisi, Kartu Truf Penokan IKN?

Petisi, Kartu Truf Penokan IKN?

Setidaknya 45 tokoh nasional menginisiasi petisi untuk menolak IKN Nusantara. Jika semakin banyak orang yang menandatangani petisi, maka diharapkan legitimasi pemerintah tentang IKN akan sirna. Lantas, efektifkah petisi ini jadi kartu truf penolakan IKN?


PinterPolitik.com

Riuh gelombang protes proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) masih berlanjut. Saat ini yang menjadi sorotan terlihat dari penolakan yang digalang para intelektual dan aktivis masyarakat yang mencoba menyampaikan protes melalui petisi penolakan IKN.

Gerakan yang disebut Petisi Penolakan IKN Nusantara, diprakarsai oleh Narasi Institute menggalang dukungan petisi melalui situs change.org dan ditujukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), DPR, DPD, dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Di antara 45 tokoh tersebut ada mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas dan Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Sri Edi Swasono. Selain itu, ada Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, hingga ekonom senior Faisal Basri.

Benny K. Harman, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat mengingatkan agar petisi berjudul “Presiden Republik Indonesia: Pak Presiden, 2022-2024 Bukan Waktunya Memindahkan Ibukota Negara” yang digalang 45 inisiator jangan dianggap enteng. Alasannya, jika semakin banyak orang yang menandatangani petisi tersebut, maka legitimasi pemerintah membangun IKN akan hilang. Apalagi para inisiator petisi ini adalah kaum terpelajar di negeri ini.

Di sisi lain, Wandy Tuturoong Tenaga, Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), mengatakan pihaknya akan mempertimbangkan petisi yang menolak pemindahan IKN. Menurutnya, semua pandangan yang pro dan yang kontra tetap menjadi pertimbangan pemerintah.

Sampai saat tulisan ini ditulis, sebanyak 31.619 tanda tangan menghiasi petisi menolak pemindahan dan pembangunan IKN Nusantara. Dalam keterangannya, disebutkan dengan 35.000 tanda tangan, petisi ini menjadi salah satu yang paling banyak ditandatangani di change.org.

Dalam himbauannya, para inisiator mengajak seluruh warga negara Indonesia untuk mendukung ajakan agar Presiden Jokowi menghentikan rencana pemindahan dan pembangunan ibu kota negara di Kalimantan. Sebab, memindahkan IKN di tengah situasi pandemi Covid-19 dinilai sebagai hal yang tidak tepat.

Lantas, seperti apa kekuatan petisi para intelektual ini mampu mempengaruhi sebuah kebijakan pemerintah?

Baca juga: IKN Nusantara, Simbol Romantisisme Sejarah?

Petisi sebagai Instrumen Penekan

Petisi adalah pernyataan yang disampaikan kepada pemerintah untuk meminta agar pemerintah mengambil tindakan terhadap suatu hal. Dalam konteks politik dan pemerintahaan, petisi juga dapat digunakan untuk mencabut undang-undang atau untuk mengingatkan pejabat terpilih. Dalam kasus lain, petisi dapat digunakan untuk mengajukan permohonan masyarakat.

Dalam konteks politik Indonesia, terdapat dua petisi dalam lintas sejarah Indonesia yang membekas dalam ingatan bangsa. Petisi Sutardjo di awal pergerakan kemerdekaan misalnya, kemudian petisi 40 yang sempat heboh di era pemerintahan Orde Baru.

Baca juga :  Prabowo, the Game-master President?

Petisi Sutardjo digagas oleh Sutardjo Kartohadikusumo, Ketua Persatuan Pegawai Bestuur atau Pamong Praja Bumiputera (PPB) pada 15 Juli 1936.  Petisi ini dibuat karena adanya rasa ketidakpuasan di kalangan rakyat terhadap pemerintah akibat kebijakan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal de Jonge. Isi dari petisi ini adalah pemberian kepada Indonesia sebuah pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas Pasal 1 UUD Belanda.

Selain itu, terdapat pula petisi 50, yaitu sebuah dokumen yang isinya memprotes penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Presiden Suharto terhadap lawan-lawan politiknya. Petisi ini diterbitkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta sebagai sebuah “Ungkapan Keprihatinan” dan ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia.

Kedua petisi yang disinggung di atas, mempunyai konteks yang berbeda tetapi memainkan peran politik yang sama, di mana petisi dijadikan instrumen politik untuk menekan kekuasaan yang saat itu dianggap tidak menyerap aspirasi publik secara adil.

Dalam literatur politik, petisi sering dicetuskan oleh kelompok penekan atau pressure group. Gerakan kelompok penekan ini melakukan penolakan terhadap kebijakan pemerintahan yang dirasa tidak layak dijalankan.

Saat ini, instrumen penekan petisi sudah mendapatkan wajah baru dalam penggunaannya dengan menggunakan basis teknologi internet. Hal ini yang juga dilakukan oleh para inisiator gerakan petisi penolakan IKN. Mereka menggunakan basis petisi online sebagai instrumen petisinya.

Andreas Ryan Sanjaya dalam tulisannya Petisi Online di Indonesia: Kajian Literatur Partisipasi Politik Warga Berbasis Internet, menggambarkan kajiannya tentang fenomena petisi online di Indonesia sebagai bentuk partisipasi politik warga berbasis internet. Situs yang digunakan sebagai contoh adalah change.org. Situs tersebut dipilih karena dua pertimbangan.

Pertama, situs ini memiliki jaringan internasional. Berawal dari Amerika Serikat (AS), situs ini lalu menyebar dan populer di seluruh dunia karena menyediakan wadah yang baik bagi setiap pengguna internet untuk terlibat dalam isu-isu serius. Di Indonesia, situs ini berdiri tahun 2012 dan hingga kajian ini ditulis masih ramai dengan berbagai macam tuntutan masyarakat pada berbagai isu.

Kedua, jangkauan situs ini relatif luas dan masih sering digunakan oleh masyarakat. Situs ini menyediakan fasilitas untuk menghubungkan ke jejaring sosial Facebook yang memiliki pengguna aktif di Indonesia sebanyak 111 juta di Indonesia. Dengan pengguna aktif sebanyak itu, setiap pengguna dapat berpartisipasi dalam petisi tersebut tanpa perlu mendaftar terlebih dahulu.

Penandatangan petisi online yang difasilitasi oleh change.org dan situs-situs serupa di Indonesia secara jelas menggambarkan sebuah kondisi, bahwa mereka menggunakan fasilitas ini bukan untuk menggalang bantuan dan mengumpulkan orang untuk aksi di jalan, melainkan menggunakan internet sebagai basis pergerakan hingga tuntutan mereka dikabulkan oleh perorangan atau lembaga yang dipetisi tersebut.

Baca juga :  Menguji "Otot Politik" Andika Perkasa

Tapi petisi di Indonesia masih belum berhasil meniru apa yang telah dilakukan di Amerika Serikat. Lantas seperti apa melihat peluang petisi penolakan IKN?

Baca juga: Bila IKN Jadi Pasar Genderuwo

Tidak Punya Kekuatan?

Achmad Nur Hidayat, CEO dan Co-Founder Narasi Institute, mengatakan terdapat pesan yang mengartikan antusiasme publik terhadap petisi penolakan IKN tersebut. Pertama, dapat dilihat dari sudut pandang publik, bahwa publik menilai telah terjadi sumbatan aspirasi masyarakat dalam penyusunan UU IKN.

Kedua, tingginya antusiasme publik terhadap petisi berarti melonjaknya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga parlemen dan pemerintah terkait pembangunan IKN yang dirasakan tidak tepat waktunya.

Ketiga, antusiasme publik terkait petisi juga berarti publik melihat terjadi persekongkolan gelap yang perlu dilakukan perlawanan bersama melalui kanal lain, karena kanal demokrasi yang ada sudah tidak dapat dipercaya.

Keempat, mengandaikan bahwa publik merasakan penderitaan yang luar biasa dari pandemi dan kesulitan ekonomi. Namun pilihan pemerintah malah menghamburkan uang dan bukan menangani kesehatan publik dengan memprioritaskan proyek yang syarat kepentingan elite oligarki.

Pakar kebijakan publik ini menilai Presiden seharusnya mendengar petisi tersebut dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memenuhi aspirasi publik tersebut. Antusias publik dalam petisi IKN menunjukkan bahwa proses pembuatan UU IKN cacat dari segi aspirasi publik.

Meski demikian, seberapa besar antusiasme publik dan dukungan besar terhadap petisi ini, jika dalam regulasi tata negara kita masih belum ada lembaga yang menaungi, maka perjuangan petisi ini akan menjadi sia-sia belaka.

Berbeda dengan apa yang dipraktekkan di Amerika Serikat. Lembaga kepresidenan Amerika Serikat, Gedung Putih, membuat inisiatif bernama We the People. Layanan petisi daring yang dibuat sejak 2011 dan resmi diselenggarakan pemerintah AS sejak 2014 itu, bisa memaksa pemerintah merespons petisi dengan kondisi tertentu.

Dijelaskan di situs We the People, petisi yang mendapat lebih dari 100 ribu pendukung, dalam waktu 30 hari sejak dibuat, harus direspons pemerintah. Sedangkan petisi yang gagal mendapat 150 dukungan dalam 30 hari, tak akan muncul dalam sistem pencarian. Artinya, warganet tidak akan bisa menemukan petisi tersebut.

Dengan demikian, dapat dikatakan, petisi di AS benar-benar dapat menjadi kekuatan penekan. Sedangkan di Indonesia, petisi hanya seperti pemenuhan hak kebebasan berpendapat dan rentan untuk tidak diperhatikan oleh elite kekuasan. (I76)

Baca juga: Perlukah Khawatir Tentang Keamanan IKN?


spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...