Di tengah konflik Rusia-Ukraina, media sosial Indonesia dipenuhi dengan informasi dan perbincangan yang dinilai lebih mendukung Presiden Rusia Vladimir Putin. Lantas, seperti apa melihat pesona Putin di mata warganet Indonesia?
Konflik Rusia dan Ukraina yang saat ini masih berlangsung menyita perhatian warganet Indonesia. Yang menarik, perbincangan di media sosial disinyalir didominasi oleh keberpihakan dan kekaguman pada Rusia dan sosok Presiden Vladimir Putin.
Fenomena kekaguman ini direkam oleh platform pemantauan dan analisis digital Evello. Data yang diperoleh Evello bersumber dari Instagram, TikTok, Twitter, dan YouTube pada periode 23 Februari hingga 14 Maret 2022.
Dari hasil analisis data tersebut ditemukan fenomena peningkatan perhatian pengguna media sosial di Indonesia terhadap konflik Rusia-Ukraina. Hal itu ditunjukkan dengan jumlah pemberitaan tentang invasi Rusia ke Ukraina yang mencapai 96.000 artikel berita.
Pendiri Evello, Dudy Rudianto, mengatakan, dari data-data tersebut, Evello menyimpulkan bahwa mayoritas warganet cenderung berpihak pada Rusia. Jumlah akun yang membicarakan Presiden Putin 71 persen lebih besar dibandingkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Data yang ditunjukkan Evello menggelitik rasa keingintahuan untuk mempertanyakan, sebenarnya apa yang mendasari intensitas perhatian pengguna media sosial Indonesia sebenarnya? Kenapa Putin menjadi sosok yang disenangi dibanding Zelensky.
Radityo Dharmaputra, peneliti dari Johan Sytte Institute of Political Studies, mengatakan dukungan masyarakat Indonesia terlihat dari bagaimana warganet mereproduksi narasi Presiden Rusia Vladimir Putin.
Narasi yang terbangun ialah, Putin merupakan simbol perlawanan terhadap narasi lain, yaitu narasi anti Amerika Serikat (AS). Radityo juga memaparkan bahwa masyarakat Indonesia menyenangi figur yang populis dan nasional. Dalam hal ini, beberapa warganet menggambarkan Putin sebagai figur yang tegas dalam mempertahankan negara yang dipimpinnya.
Sebagai mayoritas pemeluk agama Islam, warganet juga tidak luput dari citra keagamaan dalam konflik ini. Dalam beberapa tahun terakhir beberapa kelompok Islam menggambarkan Rusia sebagai bagian dari Bangsa Rum. Bangsa ini sendiri merupakan bangsa dari Timur wilayah Romawi yang diyakini akan menjadi sekutu Islam dalam melawan kejahatan.
Lantas, apakah penjelasan pandangan warganet tentang pesona Putin hanya dapat dijelaskan dengan pandangan simbol perlawanan terhadap AS, populisme dan citra keagamaan? Ataukah terdapat sesuatu yang lebih dalam yang dapat kita pahami dari sikap warganet tersebut?
Meraba Pesona Putin
Karisma Putin begitu mempesona di mata warganet Indonesia. Tapi perlu lebih jeli untuk melihat data pengguna media sosial.
Berdasarkan data survei Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo), 66,31 persen masyarakat Indonesia telah menggunakan gawai sebagai perangkat media sosial. Dan 70,95 persen pengguna gawai berusia antara 20 sampai 29 tahun.
Jennyfer dalam tulisannya Bagaimana Media Sosial Bisa Mengubah Pola Pikir Orang?, membagi tiga kategori pengaruh media sosial terhadap pola pikir seseorang. Seperti usia, cara mengelola informasi dan usaha memastikan kebenaran.
Yang menarik, level usia muda adalah pengguna media sosial yang rentan dipengaruhi oleh informasi yang beredar di sosial. Karena pengalaman yang minim, seringkali pengguna usia muda terkesima pada hal-hal yang sifatnya komplementer dibandingkan elementer dari informasi yang tersampaikan.
Artinya, kelompok pada level usia muda adalah kelompok dominan yang aktif dan sensitif tentang perubahan informasi di media sosial. Hal ini yang juga dapat menjelaskan bahwa pengguna usia muda rentan untuk berhadapan dengan fenomena psikologis yang disebut halo effect.
Profesor psikologi Edward L. Thorndike, mendefinisikan halo effect sebagai salah satu jenis dari cognitive bias atau bias kognitif. Halo effect adalah fenomena ketika kesan pertama mempengaruhi bagaimana kita merasakan dan menilai orang yang bersangkutan secara keseluruhan.
Meski sosok Putin kerap dikenal sebagai pemimpin yang diktator dan otoriter. Namun, pemimpin Rusia ini mendapatkan penilaian yang sangat berkarismati di media sosial. Putin dikenal memiliki banyak hobi yang menampakkan ketangguhan fisik, seperti mendaki gunung dan berkuda.
Selain gemar berolahraga, Putin juga dikenal sebagai pria yang suka berburu. Juga pernah ditampilkan sebagai seorang sederhana, yang mengaku sempat menjadi supir taksi ketika Uni Soviet runtuh. Yang sempat heboh juga, Putin didaulat mendapatkan penghargaan sebagai pria terseksi di Rusia.
Profesor John Antonakis dari Universitas Lausanne, menyebut karisma adalah gambaran yang dapat juga berupa informasi secara simbolis, emosional, dan berbasis nilai. Karisma adalah kemampuan dalam menggunakan teknik verbal dan non-verbal yang dilakukan oleh seorang tokoh.
Maka dari itu, halo effect dapat memberikan dampak positif maupun negatif, tergantung dengan bagaimana asumsi instan atau spontan kita terhadap siapapun. Ditambah dengan media sosial yang memberikan informasi untuk memoles seseorang menjadi tokoh yang berkarisma.
Well, jika demikian, seperti apa menjelaskan persepsi kolektif di balik antusiasme warganet Indonesia terhadap Putin?
Persepsi Emosional Warganet?
Zevica Rafisna dalam tulisannya Mengenal Halo Effect dan Dampaknya Pada Cara Kita Berpikir, menguraikan, mirisnya, halo effect dapat menjadi “bibit” dari mindset atau pola pikir yang salah dan tidak open minded.
Sikap warganet yang condong pro-Rusia dan terpesona dengan Putin dibandingkan dengan Ukraina, dinilai dikarenakan pemahaman masyarakat yang minim tentang Ukraina. Dan secara emosional terdapat kecondongan untuk menyeleksi informasi atas persepsi awal yang telah terbangun dalam dirinya.
Profesor ilmu politik Brendan Nyhan dari Universitas Michigan, mengakui terdapat dua hal yang menyebabkan seseorang menjadi “keras kepala” dalam mempercayai sebuah informasi. Hal ini disebabkan oleh paparan yang selektif dan dilanjutkan oleh penerimaan yang selektif.
Paparan selektif menyebabkan seseorang lebih memilih informasi yang sesuai dengan pandangan mereka. Hal ini yang membuat mereka menerima informasi dari sumber berita yang sama secara konsisten. Kemudian mereka dijebak ke dalam sebuah gelembung yang hanya mendukung keyakinan tersebut.
Sedangkan penerimaan selektif terjadi ketika orang yang melakukan paparan selektif dihadapkan dengan berita yang tidak sesuai dengan pandangan mereka terhadap dunia. Disonansi kognitif terjadi ketika berita yang mereka temui tidak sesuai dengan keyakinan mereka.
Berbagai pihak menilai, analisis pro-Rusia ditelan mentah-mentah oleh warganet Indonesia. Apalagi, pengetahuan publik Indonesia tentang apa yang melatari konflik Ukraina dengan Rusia dinilai minim.
Hal ini juga menjelaskan bahwa kecondongan warganet sebenarnya terfokus pada Putin, tidak berkaitan dengan simbol Putin sebagai anti AS, apalagi sebagai simbol kedekatannya dengan Islam. Simbol-simbol itu datang belakangan untuk mendukung persepsi emosional yang melekat terhadap Putin.
Akhirnya, dapat kita simpulkan bahwa media sosial yang menawarkan banyak informasi mewajibkan kita untuk selektif dan menggunakan pertimbangan nalar yang terbuka kan pembuktian atas informasi.
Proses ini juga perlu dibantu dengan mengenalkan bias-bias pemikiran dan kekeliruan logika (logical fallacies) kepada masyarakat luas, sehingga tidak muncul persepsi yang dominan emosional dalam menilai sesuatu. (I76)