Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat (Jabar) kian menarik setelah muncul pernyataan dari calon gubernur TB Hasanuddin yang berjanji akan memberikan Rp 1 triliun kepada pondok pesantren bila ia terpilih.
PinterPolitik.com
Pernyataan tersebut menarik terutama ketika melihat hubungan pondok pesantren dengan politik yang sering kali terjadi di Indonesia. Untuk konteks Jabar, hal ini sangat beralasan, mengingat provinsi ini memiliki 12.000 pondok pesantren atau yang terbanyak di Indonesia, demikian klaim sang Gubernur Ahmad Heryawan.
Karena posisi politik pondok pesantren yang demikian, kesempatan tidak disia-siakan oleh para pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jabar yang melihat hal tersebut sebagai cara untuk memikat kalangan santri dan ulama. Apalagi jika melihat karakter masyarakat Jabar yang tradisional dan agamis serta masih memandang pesantren sebagai patokan pandangan politik, strategi politik semacam ini sangat diperlukan untuk memenangkan dukungan.
Adapun Pilgub Jabar 2018 akan mempertemukan empat pasangan, yaitu Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi yang diusung Golkar dan Demokrat, Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul yang diusung Nasdem, PPP, PKB, dan Hanura, Sudrajat dan Ahmad Syaikhu akan diusung oleh Gerindra, PKS, dan PAN, serta TB Hasanuddin dan Anton Charliyan yang diusung oleh PDIP.
Dari keempat pasangan tersebut, pasangan Ridwan-Uu dan Sudrajat-Syaikhu merupakan dua pasang calon yang didukung oleh partai-partai Islam di belakangnya. Sementara, bila meninjau Pilgub Jabar 2013, Deddy Mizwar juga masih punya basis dukungan kelompok agamis, terutama karena pernah didukung oleh koalisi partai-partai Islam, serta citranya yang lekat kelompok Islam.
Fenomena tersebut membuat pertarungan perebutan suara pesantren yang adalah basis agama Islam menjadi ajang pemenangan dukungan politis, sekalipun pada saat yang sama independensi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan juga sering dipertanyakan. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pun sudah mengeluarkan larangan bagi pasangan calon untuk berkampanye di pondok pesantren.
Jika demikian, seberapa besar sebenarnya signifikansi pondok pesantren terhadap pemilihan kepala daerah, terutama di Jabar?
Pesantren, Jaminan Menang Pilkada?
Mengapa pesantren? Faktanya, pesantren memainkan peran politik yang besar karena sering menjadi kiblat masyarakat untuk menentukan pilihan politik, termasuk memilih pemimpin. Selain itu, di pesantren ada para Kiai yang dianggap sebagai patokan bagi kaum Muslim.
Masyarakat Jabar yang terkenal Islami tidak lepas dari peran ulama atau kiai sebagai pemuka agama. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa peran tokoh ulama menjadi role model bagi santri dan masyarakat. Fenomena ini hampir mutlak terjadi di berbagai pondok pesantren karena dianggap sebagai salah satu pertanda hormat dan menghargai pilihan ulama sebagai pilihan yang tepat.
Dalam konteks Pilkada Jabar, hal ini bisa dilihat di beberapa wilayah. Di Tasikmalaya misalnya, pimpinan pondok pesantren Cipasung KH Abun Bunyamin Ilyas Ruhiyat disebut-sebut mendukung pasangan Ridwan-Uu. Ini juga menjadi salah satu penanda bahwa Tasikmalaya menjadi salah satu basis suara pasangan ini, mengingat Uu saat ini menjabat sebagai Bupati di daerah tersebut. Hal yang sama juga bisa dilihat pada pimpinan pondok pesantren Raudhatul Hasanah Kiai Mu’min atau Kiai “Maung” di Subang yang sangat mengapresiasi inisiatif pemembentukan tim Kordinator Kecamatan, untuk mendukung pemenangan Ridwan-Uu di Pilgub Jabar.
Hal yang berbeda tampak pada pasangan Hasanuddin-Anton yang mengundang para ulama besar untuk datang ke posko pemenangannya. Apalagi mereka berjanji memberikan dana Rp 1 triliun kepada pondok pesantren apabila terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar. Mereka juga melakukan sosialisasi ke berbagai pondok pesantren di Tasikmalaya, Cirebon, Pangandaran, Ciamis, Garut, Majalengka serta Bandung. Salah satunya mengunjungi pesantren Ma’baul Ulum di Purwakarta yang dipimpinan oleh KH. Anhar.
Motif yang dilakukan oleh pasangan ini mungkin saja dikarenakan hasil survei tingkat elektabilitas mereka yang tidak menggembirakan. Berdasarkan survei Indo Barometer elektabilitas pasangan Hasanuddin-Anton hanya mencapai 1 persen. Bandingkan dengan Ridwan-Uu dengan 44,8 persen dan Deddy-Dedi dengan 27,9 persen. Elektabilitas Hasanuddin-Anton hanya lebih baik dari pasangan Sudrajat-Syaikhu yang hanya meraih 0,9 persen. Selain itu, PDIP sebagai partai pendukung Hasanuddin-Anton juga dituduh anti Islam dan dijuluki sebagai “partai penista agama”.
Lain lagi dengan pasangan Sudrajat-Syaikhu yang tidak ingin ketinggalan. Mereka juga melakukan pertemuan dengan berbagai ulama besar yang dipimpin langsung oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Di antara deretan ulama besar yang hadir, ada Ustadz Arifin Ilham yang memiliki majelis dan pesantren di daerah Sentul dan Kiai Husni Tamrin yang memiliki SMA Insan Kamil yang merupakan perpaduan pesantren dengan sekolah formal dengan lebih modern di Bogor. Jelas, bahwa Sudrajat-Syaikhu juga sedang mengupayakan dukungan dari pesantren.
Bagaimana dengan pasangan Deddy-Dedi? Keduanya belum terlihat melakukan manuver dalam menggenjot suara dan mencari dukungan politik di pondok pesantren. Walaupun banyak yang menilai keduanya kalah start, namun boleh jadi ini juga merupakan sebuah strategi. Sekalipun didukung oleh partai nasionalis, nyatanya Deddy Mizwar punya kedekatan yang cukup kuat dengan kelompok ulama. Selain itu, walaupun nasionalis, Partai Demokrat yang mendukungnya juga masih memiliki kekuatan politik di kalangan ulama berbekal pengaruh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Jika demikian, siapa yang akan memenangkan kekuatan politik pesantren kali ini?
Kemesraan Pesantren dengan Kampanye Politik
Hubungan yang tercipta antara pondok pesantren dengan politik menjadi hal yang menarik karena selalu dipenuhi pro dan kontra dalam praktiknya. Entitas pondok pesantren sebagai tempat pendidikan dengan nafas Islam yang kuat, selalu mendatangkan daya tarik politik, apalagi jika isu politik yang sedang dipakai adalah identitas. Oleh karena itu, jangan heran jika suara pesantren – terutama para ulama – punya dampak politik yang besar.
Akibatnya, partai dan politisi selalu terlihat melakukan kunjungan ke pondok pesantren di berbagai daerah untuk menggalang dukungan politik. Perdebatan tentang keterlibatan pesantren dalam politik selalu menghasilkan pandangan yang pro dan kontra. Bagi yang pro, mereka melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Sementara bagi kelompok yang kontra, menganggap fenomena ini adalah pengingkaran terhadap fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan yang seharusnya selalu menjaga independensi dan posisi politik.
Proses-proses politik yang terjadi di pesantren menunjukkan bahwa keterlibatan pesantren dalam politik didorong oleh motif politik yang beragam. Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam tulisannya yang berjudul “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Pemikiran Politik Islam” menjelaskan adanya tiga paradigma yang bisa digunakan untuk melihat hubungan antara negara dengan agama.
Pertama, paradigma integralistik yang mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara tidak dapat dipisahkan karena apa yang menjadi wilayah agama otomatis merupakan wilayah politik atau negara.
Kedua, paradigma sekularistik yang mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, pandangan sekularistik menolak pendasaran negara kepada Islam atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu negara.
Sementara paradigma yang ketiga yang dianggap paling relevan dengn masalah pesantren menyebut agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan timbal-balik dan saling membutuhkan. Agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara membutuhkan agama karena dengan agama, negara dapat melangkah dalam bimbingan etika dan moral.
Paradigma tersebut sebenarnya akan membuka ruang-ruang kajian untuk mencari motif setiap pihak yang terlibat pada Pilkada Jabar. Dalam konteks ini, calon gubernur menginginkan suara pondok pesantren dan sebaliknya pondok pesantren yang menginginkan bantuan politisi dan partai, baik materiil maupun yang immateriil.
Apa pun itu, pada akhirnya pondok pesantren mengukuhkan politik pragmatis karena menjadikan politik sebagai ajang untuk mempertukarkan dukungan politik. Apakah hal tersebut wajar? Tentu saja jawabannya beragam, tergantung apakah posisi kita pro atau kontra terhadap fenomena ini.
Pilgub Jabar 2018 sebenarnya akan memberikan berbagai kejutan dalam prosesnya. Pertarungan antarkandidat masih ada pada kondisi yang sulit untuk diprediksi ke depannya. Yang jelas, perebutan suara pesantren telah menjadi langkah awal pertarungan tersebut. Apakah janji Rp 1 triliun TB Hasanuddin akan memenangkan suara pesantren? Ataukah pesantren masih akan berfokus pada memenangkan suara untuk pasangan-pasangan dari partai Islam? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (L15)