Dari ketiga Kepala Staf Angkatan, nama KSAD Jenderal Andika Perkasa disebut yang terdepan menjadi Panglima TNI selanjutnya. Namun, jika Andika menjadi Panglima pada bulan November tahun ini, ia hanya memiliki masa dinas selama satu tahun. Untuk memperbesar peluangnya, haruskah pergantian Panglima TNI dilakukan pertengahan tahun ini?
“In public life, say politicians, nothing is more important than timing.” – Luis Rubio, dalam Time In Politics
November 2021, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan memasuki masa pensiun. Praktis, kita akan memiliki Panglima TNI baru. Ada tiga nama tentunya. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono, dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo.
Jika pengangkatan dilakukan secara bergiliran, KSAL Yudo Margono akan menjadi Panglima TNI selanjutnya. Selain itu, ada pula faktor usia. Tidak seperti KSAD Andika Perkasa yang hanya mempunyai waktu satu tahun menjabat, Yudo Margono memiliki waktu dua tahun jika terpilih.
Namun, menimbang pemilihan Panglima TNI adalah hak prerogatif presiden, nama Andika disebut sebagai kandidat terkuat pengganti Hadi Tjahjanto. Sebelumnya, kita juga telah melihat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk KSAD Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI, meskipun sebelumnya Panglima TNI berasal dari matra AD.
Baca Juga: Andika, Kunci Jokowi Tetap Perkasa?
Terkait persoalan momentum, ada komentar menarik dari pakar isu keamanan dan militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi. Pada 22 Juni 2020, Fahmi menyinggung soal peluang KSAL Yudo Margono dapat menguat apabila pergantian Panglima TNI terjadi setelah pertengahan tahun 2021.
“Bila tetap akan diganti dalam waktu dekat, maka menurut saya yang berpeluang paling besar adalah KSAD Andika Perkasa. Namun jika pergantian dilakukan setelah pertengahan tahun depan, peluang KSAL Yudo Margono juga akan menguat,” begitu tuturnya saat itu.
Fahmi juga menambahkan bahwa masa jabatan yang terlalu singkat atau terlalu panjang dapat berdampak kurang bagus untuk organisasi TNI.
Nah sekarang pertanyaannya, jika aspek waktu sangat penting dalam penentuan pengganti Hadi, haruskah Andika menjadi Panglima TNI sebelum pertengahan tahun ini?
Dikejar Waktu?
Dari ketiga Kepala Staf Angkatan, Andika adalah yang tertua. Usianya mencapai 57 tahun pada Desember tahun ini. Jika terpilih sebagai Panglima TNI, masa aktifnya hanya satu tahun. Seperti kata Fahmi, masa jabatan yang terlalu singkat dapat berdampak kurang baik bagi organisasi TNI.
Selain persoalan waktu, ada pula aspek politik yang patut diperhatikan. Evan A. Laksmana dalam tulisannya Civil-Military Relations under Jokowi: Between Military Corporate Interests and Presidential Handholding menyebut, karena Presiden Jokowi tidak memiliki modal politik yang cukup untuk menjaga koalisi, serta tidak memiliki pengalaman untuk mengelola hubungan dengan militer, mantan Wali Kota Solo itu mengandalkan purnawirawan, seperti Luhut Binsar Pandjaitan, A.M. Hendropriyono, Ryamizard Ryacudu, Wiranto, Agum Gumelar, dan Moeldoko.
Akan tetapi, saat ini situasinya cukup berbeda. Menurut Fahmi, di periode kedua ini, Presiden Jokowi sudah memiliki pengaruh dan pengalaman yang cukup untuk mengelola hubungan dengan militer. Artinya, faktor Hendropriyono yang selama ini kerap disebut memengaruhi karier Andika tampaknya tidak lagi menjadi variabel kuat.
Merujuk pada Luis Rubio dalam tulisannya Time In Politics, yang menekankan pada pentingnya timing dalam dunia politik, karena keputusan dan tindakan tertentu dapat memiliki efek yang berbeda tergantung pada momentumnya, tampaknya tidak berlebihan untuk menyebut Andika tengah dikejar waktu saat ini.
Setidak ada dua indikasi yang dapat digunakan untuk memperkuat simpulan tersebut. Pertama, pada Juni 2020, Presiden Jokowi mengunggah fotonya sedang berolahraga bersama ketiga Kepala Staf Angkatan.
Jika mengacu pada Jayeon Lee dalam tulisannya Presidents’ Visual Presentations in Their Official Photos yang menjelaskan soal unggahan foto presiden kerap menampilkan makna dan pesan tertentu, unggahan foto tersebut dapat bermakna bahwa Presiden Jokowi memegang kendali penuh atas pengangkatan Panglima TNI.
Baca Juga: Menguak Foto Jokowi-Kepala Staf TNI
Pasalnya, unggahan tersebut dilakukan setelah pelantikan Marsekal Madya Fadjar Prasetyo sebagai KSAU dan Laksamana Madya Yudo Margono sebagai KSAL. Lalu, sebelumnya juga terdapat suara PDIP yang menilai Andika layak sebagai Panglima TNI.
Kedua, terdapat narasi-narasi menarik seputar Panglima TNI Hadi Tjahjanto. Pada 20 Agustus 2020, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S. Pane menghembuskan isu soal pergantian Hadi. “Semula pasca digeser dari Panglima TNI, Hadi akan istirahat sebagai Dubes RI di Prancis, tapi Jokowi tetap memintanya di tanah air untuk masuk ke kabinet (menjadi Menteri Pertahanan atau Menteri Perhubungan),” begitu tuturnya.
Pertanyaannya, apakah mungkin Neta secara asal menghembuskan informasi? Dari siapa informasi itu, dan apa tujuannya? Masalahnya, pernyataan itu benar-benar tidak terbukti. Itu melahirkan spekulasi bahwa pernyataan tersebut kemungkinan hanyalah trial balloon atau strategi melempar informasi untuk memetakan dan melihat reaksi publik.
Sedikit berspekulasi, katakanlah terdapat pihak tertentu yang mengondisikan informasi tersebut, bukankah itu bertujuan untuk membentuk opini bahwa Hadi akan diganti sebelum pensiun? Apalagi, Neta juga menyinggung soal Andika yang akan menjadi Panglima TNI.
Mengandalkan Media?
Di titik ini, puzzle-nya mulai terlihat. Jika mengacu pada variabel-variabel yang ada, seperti waktu, kebaikan organisasi, serta kemampuan Presiden Jokowi mengelola hubungan dengan militer, kans Andika untuk menjadi Panglima TNI mungkin tidak sebesar apabila pergantian dilakukan setelah pertengahan tahun ini atau setelah Hadi pensiun.
Jika benar itu yang terjadi, kita dapat menarik interpretasi tertentu dari gestur Andika dalam beberapa waktu terakhir ini. Gestur terbaru adalah pada kasus Aprilia Manganang. Seperti yang diketahui, Andika bersama sang istri, Diah Erwiany, berperan penting membantu Aprilia mengubah status gendernya. Nama terbarunya bahkan tersematkan nama “Perkasa”.
Lalu, apabila kita melihat media sosial TNI AD, sangat terlihat bagaimana Andika sangat di-branding. Sekilas, itu tentu upaya bagus untuk mengeratkan hubungan TNI AD dengan masyarakat. Namun, secara politis, itu dengan mudah dibaca sebagai strategi branding personal.
Jika mengacu pada Anwar Arifin dalam bukunya Pers dan Dinamika Politik: Analisis Media Komunikasi Politik Indonesia, yang menyebutkan pers atau media massa adalah sarana untuk menyebarkan gagasan secara cepat dan masif, branding di media, khususnya di kasus Aprilia Manganang, itu dapat dibaca sebagai cara untuk menyebarkan nama Andika semasif mungkin ke tengah publik.
Tujuannya? Jika dugaan saat ini Andika tengah dikejar waktu tepat, itu ditujukan untuk memberikan pesan ke Presiden Jokowi bahwa Andika adalah sosok yang tepat untuk menjadi jembatan TNI dengan masyarakat.
Baca Juga: Andika Perkasa Sulit Jadi Panglima?
Well, pada akhirnya tulisan ini hanyalah analisis teoretis semata. Terlepas dari Andika dikejar waktu atau tidak untuk menjadi Panglima TNI, yang pasti, pemilihan Panglima TNI adalah hak prerogatif Presiden Jokowi.
Peluang Andika sangat bergantung dari hubungan dan komunikasinya dengan sang RI-1. Kita lihat saja perkembangannya. Apakah Andika akan menjadi Panglima TNI sebelum pertengahan tahun ini atau setelah Hadi pensiun? Atau mungkin, Andika akan tetap menjadi KSAD sampai usia pensiunnya. Hanya waktu yang dapat menjawabnya. (R53)