Site icon PinterPolitik.com

Persuasi Kontemplasi Anies Bermakna Lain?

Persuasi Kontemplasi Anies Bermakna Lain

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat mengunjungi ICU RSUD Cengkareng. (Foto: Twitter/@aniesbaswedan)

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengingatkan ihwal kematian sebagai konsekuensi terburuk akibat Covid-19 di akun media sosialnya. Lantas, apa yang dapat dimaknai dari impresi yang berusaha ditunjukkan Anies itu?


PinterPolitik.com

Jelang satu tahun berlalu, namun tanda bahwa pandemi Covid-19 akan berangsur hilang seolah tak tampak di cakrawala. Kabar yang dicerna publik tanah air kian hari pun justru mengindikasikan sesuatu yang mengkhawatirkan.

Sebut saja persentase keterinfeksian atau positivity rate yang masih tinggi, kapasitas rumah sakit yang makin terbatas, angka yang dipastikan hari ini menembus satu juta kasus, hingga ketersediaan lahan pemakaman Covid-19 di kota besar seperti DKI Jakarta yang terus berkurang.

Serangkaian kekhawatiran itu agaknya berusaha dikemas dan diterjemahkan ulang oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Dirinya kembali mengingatkan akan bahaya Covid-19, lewat akun media sosial Instagram, Twitter, dan Facebook pribadinya, yang juga sempat ramai diperbincangkan.

Eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu mengunggah potret saat Ia tampak menatap layar di ruang kontrol yang memonitor setiap pasien ICU RSUD Cengkareng. Satu monitor yang dilihatnya, terlihat jenazah pasien Covid-19 yang sudah ditutupi kain putih.

Dalam deskripsi foto tersebut, Anies kembali berpesan dan mengingatkan bahwa Covid-19 bukan fiksi dan bukan pula sekadar angka statistik. Ia juga membubuhkan rangkaian kalimat bermakna filosofis dengan mengatakan bahwa “ini akhir dari sebuah perjalanan anak manusia yang diterpa wabah: bermula dari tertular Covid-19 dan berujung pada kematian.”

Baca juga: Anies Jadi “Gelandangan” Politik?

Menariknya, ini bukan kali pertama Anies berusaha menggugah atensi publik akan kemudaratan pandemi Covid-19 dari sudut pandang kematian. Saat melakukan inspeksi ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon pada September tahun lalu di tengah gelap malam, DKI-1 juga membingkai narasi serupa yang turut diunggahnya di media sosial.

Lalu, mengapa kiranya Anies melakukan konstruksi narasi semacam itu?

“Teror” dan Ketakutan adalah Kunci?

Sebuah target terhadap aspek psikologis dari setiap individu yang melihatnya mungkin menjadi dasar ekspos Anies atas pemaknaan kematian akibat Covid-19. Hal ini dikarenakan sejumlah studi menyebut bahwa eksploitasi terhadap sisi kekhawatiran, ketakutan, hingga teror yang berujung pada kematian, dapat mempengaruhi perilaku dan preferensi seseorang.

Karenanya, Niccolò Machiavelli pernah menyebut bahwa “it is much safer to be feared than loved” atau yang berarti “jauh lebih baik atau lebih aman untuk ditakuti, daripada dicintai.”

Berdasarkan aspek historisnya sendiri, narasi itu bahkan digunakan negara demi justifikasi stabilitas, seperti saat periode Revolusi Prancis di era Reign of Terror pada penghujung abad ke-18. Eksploitasi ketakutan diberikan dengan eksekusi di ujung guillotine kepada mereka yang tak mendukung revolusi, dengan Maximilien Robespierre sebagai tokoh kuncinya.

Secara lebih spesifik, utilitas impresi kematian terhadap aspek psikologis diklasifikasikan sebagai terror management theory (TMT). Jeff Greenberg, Sheldon Solomon, dan Tom Pyszczynski dalam The Worm at the Core: On the Role of Death in Life, mendefinisikannya sebagai konflik psikologis mendasar yang dihasilkan dari naluri mempertahankan diri, sembari menyadari bahwa kematian tidak dapat dihindari dan sampai batas tertentu, tidak dapat diprediksi.

Konflik itu kemudian akan menghasilkan semacam kesan kekhawatiran atau bahkan “teror” yang muaranya ialah sejumlah dampak pada aspek psikologis seseorang.

Salah satu dampaknya ialah dorongan bagi kontemplasi dan kesadaran untuk tetap berperilaku aman dan menghindari hal-hal yang berpotensi lebih dekat dengan kematian, atau yang diistilahkan sebagai distal defense.

Namun di sisi lain, dampak psikologis yang terjadi tidak hanya menjurus pada perilaku aman. Kesadaran akan kematian juga dapat direspons secara psikologis oleh mekanisme defensif yang cenderung bertendensi lebih “logis” dalam menerjemahkannya.

Dalam artian bahwa akan tercipta semacam denial atau penyangkalan terhadap kematian sebagai bagian dari survival atau pertahanan diri, atau yang diistilahkan dengan proximal defense.

Inilah yang lantas berkontribusi pada eksisnya pemikiran bahwa Covid-19 adalah teori konspirasi, menganggap bahwa tak akan terinfeksi, hingga keyakinan diri bahwa akan selamat Covid-19, yang mana akumulasinya ialah semakin berlarutnya pandemi dan dampak turunannya.

Akan tetapi, Emma Pattee dalam Covid-19 makes us think about our mortality menyebut bahwa secara teoretis, penyangkalan akan lebih mudah saat kematian bukan bagian dari hidup yang sering tereksploitasi.

Baca juga: Anies Tak Mau Tersalip Lagi

Sebaliknya, semakin kematian menjadi bagian dari pengalaman sehari-hari ataupun yang cukup membekas – seperti kecelakaan di jalan bebas hambatan, kematian orang yang dicintai, hingga pandemi berskala global – Pattee menyebut pada hakikatnya akan semakin sulit untuk mempertahankan penyangkalan itu.

Pada konteks di tengah masih gentingnya pandemi Covid-19, hal itulah yang mungkin ingin dicapai Anies dengan mengekspos dan berusaha memaknai kematian secara mendalam. Bahwa kematian sebagai akhir dari eksistensi manusia tak dapat dihindari maupun diprediksi.

Tentunya untuk kemudian diharapkan dapat mendorong kesadaran khalayak serta warga DKI Jakarta pada khususnya, untuk berperilaku “aman”, yakni dengan benar-benar patuh pada protokol kesehatan dan tidak main-main akan bahaya Covid-19 yang dapat berujung kematian.

Lalu kemudian, adakah implikasi lain dari upaya Anies dalam membangun kontemplasi akan kematian akibat Covid-19 tersebut?

Serupa Bush?

Pada dimensi berbeda, ekspos terhadap kematian ataupun teror nyatanya memang punya dampak dari sisi kepemimpinan dan politik. Yang mana hal ini pernah terjadi pada mantan Presiden Amerika Serikat (AS), George W. Bush.

Kajiannya sendiri dipublikasikan dalam sebuah jurnal berjudul The Effects of Mortality Salience on Support for President George W. Bush yang ditulis oleh Mark Jordan Landau dan Sheldon Solomon.

Landau dan Solomon menyebut, konstruksi pemikiran dan eksploitasi narasi tentang kematian (mortality salience) dari serangan teror 9/11 dinilai mempengaruhi sikap warga AS terhadap George W. Bush saat itu.

Bahkan hasil temuan keduanya menunjukkan bahwa voters yang masuk ke dalam narasi pengingat akan kematian tadi lebih mendukung Bush secara politik dan secara elektoral di pemilu berikutnya.

Sokongan itu dikarenakan Bush dianggap mewakili entitas yang tidak hanya mengingatkan akan kematian dan teror tadi, tapi juga sebagai semacam pelindung yang dianggap memiliki basis visi yang tepat.

Dan pada konteks berbeda, Anies bukan tidak mungkin juga ingin memperlihatkan impresi dan rengkuhan serupa yang didapat Bush.

Akan tetapi, lebih mudah bagi Bush untuk mendapatkan dukungan tersebut akibat faktor rekognisi bertendensi stereotip tertentu yang muncul mengiringi impresi manajemen ketakutan atau teror itu sendiri.

Baca juga: Anies Kembali dari Pengasingan?

Sementara Anies, masih dihadapkan pada elemen penghambat berupa denial atau penyangkalan tadi, yang tak dapat dipungkiri masih eksis dengan berbagai rupa perilaku masyarakat di tengah pandemi di tanah air.

Meski begitu, persentase mereka yang “menyimpang” itu tampaknya masih tidak lebih unggul dari mereka yang sepakat dengan esensi yang dibawa Anies, jika mengacu pada apa yang dikemukakan Pattee sebelumnya. Karenanya, dukungan pun masih berpotensi diraih oleh mantan Rektor Universitas Paramadina itu.

Lalu pertanyaannya, jika telah didapatkan, mengarah ke manakah kiranya bentuk dan kecenderungan dukungan itu?

Sokong Komersialisasi Vaksin?

Walaupun pembentukan narasi kekhwatiran akan kematian yang dilakukan Anies bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya Covid-19, secara tidak langsung konstruksi itu mungkin saja juga dapat mengarah pada ihwal lain.

Ahli behavioral economics dan consumer research, Stacy Wood dan Kevin Schulman dalam Beyond Politics Promoting Covid-19 Vaccination in the United States menyebut bahwa memanfaatkan aspek psikologis akan kekhawatiran serta ketakutan juga dapat mendukung upaya promosi vaksin Covid-19 yang efektif.

Hal itu berangkat dari asumsi dasar bahwa segala kebutuhan manusia berawal dari kekhawatiran dan ketakutan akan sesuatu. Seperti pada case penjualan produk vitamin, produk perawatan wajah dan kecantikan, hingga kebutuhan gaya hidup lainnya.

Tak terkecuali vaksin Covid-19, yang sayangnya ketersediaan antivirus itu sendiri masih terbatas saat ini.

Kekhawatiran yang meningkat akan Covid-19 yang dibingkai dengan menakutkan dan dibalut narasi kematian, tampaknya dapat pula mempengaruhi aspek psikologis dan perilaku seseorang dalam melihat konteks vaksin yang kini dianggap menjadi jalan keluar pandemi paling logis.

Dengan kata lain, bisa saja efek psikologis dari kontemplasi akan kematian akibat Covid-19 yang dibangun Anies, pada akhirnya secara tidak langsung berujung pada keputusan pemilihan vaksin Covid-19 yang dianggap lebih berkualitas.

Muaranya, tak menutup kemungkinan ialah permintaan akan vaksin Covid-19 dalam kerangka komersialisasi.

Kendati demikian, serangkaian postulat dan kemungkinan di atas ini masih sebatas analisa semata. Harapannya, saling terus mengingatkan dengan berbagai upaya positif memang menjadi kewajiban di tengah pandemi Covid-19 yang masih mengkhawatirkan saat ini. (J61)

Baca juga: Cerdik, Anies Kritik Pemerintah Otoriter?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version