Konflik internal partai selalu menjadi tontonan menarik bagi kebanyakan orang. Baru-baru ini, friksi internal diperlihatkan dari perseteruan antara Sandi dengan Kamrussamad dalam tubuh Partai Gerindra. Mungkinkah perseteruan ini adalah benih dari munculnya faksionalisasi di tubuh Gerindra?
Partai politik tidak pernah lepas dari sebuah konflik, konflik seolah menjadi bagian integral dari partai, apakah itu konflik yang berasal dari dalam, maupun konflik yang datang dari luar partai. Peristiwa yang terjadi di Partai Gerindra pekan lalu, yaitu konflik antara Sandiaga Uno dengan Kamrussamad seolah melegitimasi wacana ini.
Perdebatan yang muncul di publik tentang polemik Sandiaga dengan Kamrussamad, diketahui mengemuka setelah Kamrussamad mengkritik deklarasi dukungan sejumlah ulama kepada Sandiaga Uno di Pilpres 2024. Menurut Kamrussamad, hal itu sebagai bagian dari upaya merekayasa forum Ijtima Ulama.
Kamrussamad yang merupakan Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra, menyinggung deklarasi Forum Ijtima Ulama kepada Sandiaga Uno. Dia khawatir Sandiaga sebenarnya hanya mengeksploitasi ulama dan juga akan memecah belah bangsa karena dalam deklarasi tersebut menimbulkan politik identitas.
Menanggapi konflik kedua kader Partai Gerindra tersebut, Sufmi Dasco Ahmad, Ketua DPP Partai Gerindra, mengatakan pernyataan Kamrussamad bukanlah sebuah pernyataan resmi partai. Dan terkait tentang dukungan ulama kepada Sandiaga sebagai calon presiden akan diselesaikan secara internal kepartaian.
Hal yang menarik dari peristiwa di atas, konflik internal kepartaian seperti Partai Gerindra bukanlah permasalahan baru, banyak partai politik yang telah melalui konflik internal. Tak jarang partai berhasil, dan juga tak jarang ada yang gagal. Lantas, muncul pertanyaan, seperti apa konflik politik internal itu dan apa dampaknya?
Baca juga: Sandi Lawan Keputusan Gerindra?
Benih Faksionalisasi
Polemik yang berujung pada konflik internal dalam sebuah partai politik seolah menjadi wajar, tapi jika kita lihat lebih jernih, sebenarnya konflik secara ideal dalam tubuh partai akan bertentangan dengan fungsi partai politik.
Hal itu dikarenakan terdapat fungsi partai sebagai sarana pengatur atau mengelola konflik, khususnya yang muncul di tengah masyarakat. Partai sejatinya diharapkan sebagai media penyelesaian konflik di masyarakat, tapi yang terjadi partai sendiri juga mengalami konflik di internalnya.
Adanya dinamika demokrasi, di mana terdapat sebuah kompetisi atau persaingan dan memunculkan perbedaan pendapat, hal inilah yang biasanya memunculkan konflik di tengah masyarakat. Namun, ketika partai politik yang berkonflik, publik atau masyarakat justru akan kebingungan dan memunculkan sebuah stigma yang kurang baik terhadap partai politik.
Bahkan lebih jauh, jika kita belajar dari sejarah-sejarah partai politik di Indonesia. Konflik partai politik sering muncul sebagai benih dari perpecahan partai akibat terbentuknya faksionalisasi di dalam tubuh partai politik.
Frank P. Belloni dan Dennis C. Beller, dalam tulisannya Faction Politics: Political Parties and Factionalism in Comparative Perspective, membagi faksionalisme dalam tiga jenis tipologi. Pertama, faksi yang terbentuk karena berdasarkan cara pandang dalam merespons isu-isu politik. Biasanya faksi ini tidak berjangka panjang dan bersifat insidental dan informal.
Kedua, faksi yang terbentuk dari relasi patronase politik. Faktor yang mempengaruhi faksi ini terbentuk karena ada karisma tokoh sebagai patron dan pengurus partai. Dengan adanya tokoh yang berkarisma, akan menarik sebagian kader di dalam tubuh partai dan menentang kader lainnya yang memilih pemimpin berkarisma lainnya. Hal ini sering terjadi pada partai yang memiliki lebih dari satu tokoh utama.
Ketiga, faksi yang terbentuk secara formal dan terorganisir. Biasanya faksi ini diatur di dalam AD/ART partai politik. Dalam kasus Indonesia, faksi formal seperti ini jarang terjadi, karena kebanyakan partai lebih memilih untuk terintegrasi dalam satu faksi besar.
Merujuk pada kategorisasi Belloni di atas, konflik antara Sandiaga dengan Kamrussamad dalam Partai Gerindra merupakan kombinasi dari perbedaan pandangan dalam merespons isu-isu menjelang Pilpres 2024 dan dorongan hubungan patron klien tentang pencalonan presiden dari Partai Gerindra.
Kamrussamad menilai isu dukungan ulama kepada Sandiaga tidaklah relevan, hal ini dipicu oleh dua hal. Pertama, isu tentang politik identitas yang kental jika ulama dilibatkan dalam politik. Kedua, kecenderungan dukungan Kamrussamad kepada Prabowo Subianto yang digadang-gadang sebagai calon dari Partai Gerindra pada Pilpres 2024 mendatang.
Puja Dewangga dalam tulisannya Pengaruh Konflik Internal Terhadap Fungsi Partai Politik dan Masyarakat, menyatakan terdapat tiga kemungkinan dampak yang ditimbulkan setelah terjadinya konflik partai politik. Pertama, adanya kesan inkonsistensi yang dinilai masyarakat terhadap partai politik.
Kedua, munculnya narasi menciderai nilai-nilai demokrasi. Karena pada dasarnya, setiap partai politik seharusnya mempunyai langkah-langkah pencegahan atau mitigasi dalam menangani konflik internal yang lebih demokratis, bukan berkonflik di depan publik.
Ketiga, kepercayaan terhadap partai politik yang menurun. Jika itu terjadi, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan baik secara komunikasi ataupun dukungannya terhadap partai politik. Partai politiklah yang seharusnya mengendalikan atau mengatur konflik di tengah masyarakat, dan bukan masyarakat yang menyaksikan partai politik berkonflik.
Untuk mencegah konflik ini bagaikan bola salju yang menggelinding dan membesar, perlu adanya upaya pencegahan dalam membuat resolusi konflik terhadap polemik antara Sandiaga dengan Kamrussamad.
Well, seperti apa resolusi konflik yang harus dilakukan oleh Partai Gerindra?
Baca juga: Prabowo Tak Sayang Sandiaga?
Resolusi Konflik Prabowo
Konflik internal dan perpecahan partai merupakan persoalan pelik yang pernah dialami oleh hampir semua partai, sehingga perlu adanya sistem atau strategi manajemen konflik yang dapat mengelola konflik agar berimbas positif bagi kelembagaan partai politik.
Peran ketua umum sebagai moderating force, yaitu orang yang berada di posisi tengah permasalahan, harus memberikan resolusi konflik yang dapat diterima oleh semua pihak.
Namun, alih-alih aktif, Prabowo Subianto justru terkesan pasif dalam merespons permasalahan politik di internal, khususnya setelah masuk koalisi pemerintah.
Dalam konteks ini, tentunya Prabowo harus mengupayakan sebuah resolusi konflik ke dalam partai secara internal. Hal ini untuk menjaga keharmonisan partai yang dipimpinnya itu. Jika Prabowo tidak menanggapi, konflik ini akan meluas menjadi faksionalisasi dan berbahaya bagi Partai Gerindra.
Hal ini juga di pertegas oleh pakar hukum tata negara Refly Harun, yang mengatakan bahwa Prabowo cenderung stay passive. Menurutnya, stay passive ini dikarenakan telah menjadi bumper dari Presiden Jokowi.
Baca juga: Sri Mulyani-Sandiaga “Cubit-cubitan”?
Dalam urusan internal Partai Gerindra, harusnya sikap pasif ini ditinggalkan. Dikhawatirkan, sikap ini nantinya akan menghilangkan fungsi sentral Prabowo sebagai orang yang menjadi resolusi konflik di internal partainya.
Selaku Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo diharapkan melakukan intervensi untuk mencegah konflik ini lebih meluas. Tentunya hal ini akan menjadi semacam pembelajaran politik, di mana ketua umum haruslah responsif menyelesaikan permasalahan internal.
Di titik ini mungkin muncul pertanyaan, kenapa konflik partai harus diselesaikan melalui mekanisme internal?
Alasannya sederhana. Bukankah salah satu fungsi dari partai politik adalah melakukan penyelesain konflik. Nah, bila konflik yang terjadi dalam tubuhnya sendiri tidak bisa diselesaikan secara internal, lalu bagaimana partai politik akan menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam masyarakat.
Penyelesaian konflik secara internal ini juga mempunyai manfaat lain, yaitu membendung bentuk-bentuk intervensi dari luar. Kelompok di luar partai, kemungkinan melakukan manuver-manuver kepentingan untuk mempengaruhi keputusan internal partai. Hal ini bisa kita lihat dari partai-partai lain yang saat ini sedang turun suaranya di pemilu akibat konflik internal yang juga dikombinasi intervensi politik dari luar partai.
Dengan kemampuan dan pengalaman Prabowo di dunia militer, politik, dan bisnis, seharusnya tidak sulit untuk dapat menyelesaikan konflik antara Sandiaga dan Kamrussamad. Seperti yang telah diutarakan di atas, konflik ini harus diselesaikan secara internal dan tentunya harus membutuhkan sikap cepat dan responsif dari Prabowo.
Sebagai penutup, meminjam pemahaman sosiolog George Simmel, konflik bukanlah suatu hal yang bersifat negatif, seperti dapat mengancam retaknya suatu kebersamaan antar individu maupun kelompok. Namun menurutnya, konflik justru merupakan bentuk dasar dari interaksi antar individu maupun kelompok, sehingga memungkinkan interaksi dapat terus berlangsung.
Bagi Simmel, yang mengancam retaknya suatu kebersamaan bukanlah konflik, melainkan tidak adanya keterlibatan interaksi antar individu maupun kelompok. (I76)
Baca juga: Menuju ‘Push Rank’ ala Sandiaga?