Site icon PinterPolitik.com

Persekusi: A Dangerous Game to Play?

Persekusi memang dikategorikan sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan. Namun, persekusi bukan kejahatan kemanusiaan biasa karena terjadi dengan perencanaan dan tersistematis. Pertaruhan kepentingan ekonomi dan politik seringkali menjadi alasan terjadinya persekusi.


PinterPolitik.com

“All persecution is a sign of fear; for if we do not fear the power of an opinion different from our own, we should not mind others holding it” – Phyllis Bottome (1884-1963), novelis

[dropcap size=big]P[/dropcap]ersekusi adalah kata yang beberapa hari belakangan menjadi topik utama perbincangan hangat di media-media massa. Bagi kebanyakan orang awam pasti agak asing mendengar kata yang tiba-tiba menjadi begitu populer ini. Bukan tanpa alasan persekusi menjadi topik utama perbincangan karena faktanya hal inilah yang sedang marak terjadi di masyarakat.

Berita tentang aksi persekusi tersebut bermunculan setelah menjadi viral di dunia maya, misalnya yang terjadi pada perempuan bernama Fiera Lovita, seorang dokter di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Solok, Sumatera Barat. Fiera merasa tertekan setelah mengalami teror dan intimidasi oleh sekelompok orang dari ormas Front Pembela Islam (FPI) setelah ia menulis status di akun media sosialnya terkait kasus yang menimpa pimpinan ormas tersebut.

Hal yang sama juga terjadi pada seorang remaja berinisial M berusia 15 tahun yang dipersekusi oleh anggota ormas yang sama. Lebih parahnya lagi, selain mengalami kekerasan verbal, remaja M juga mengalami kekerasan fisik.

Persekusi sendiri secara sederhana bisa diartikan sebagai perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik. Walaupun demikian, persekusi berbeda dengan upaya ‘main hakim sendiri’ karena sifatnya yang sistematis dan terencana. Persekusi juga memiliki jangkauan yang luas.

“Persekusi itu beda dengan main hakim sendiri, dalam makna yang sebenarnya persekusi itu adalah tindakan memburu seseorang atau golongan tertentu yang dilakukan suatu pihak secara sewenang-wenang dan sistematis juga luas, jadi beda dengan main hakim sendiri,” demikian dijelaskan oleh pegiat dari Koalisi Anti Persekusi dari Safenet, Damar Juniarto saat mengahadiri konferensi pers bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) serta Koalisi Anti persekusi, di kantor YLBHI pada Kamis, 1 Juni 2017.

Makna ‘sistematis’ mengartikan bahwa tindakan tersebut terjadi karena direncanakan, diorganisir, bahkan pula dibiayai – yang pada tahap ini – oleh oknum tertentu. Umumnya, banyak orang yang dipersekusi karena berbeda dari sisi agama, berbeda ideologi, berbeda identitas suku, bahkan juga ketika berbeda pendapat. Kondisi ini diperparah oleh situasi politik nasional yang belakangan menjadi begitu mudah panas dan tidak terkontrol. Hal ini juga diperkuat lagi oleh keberadaan media sosial yang makin hari semakin sulit dibendung pengaruhnya.

Persekusi memang sesuatu yang buruk dan negatif, namun bagaimana sebetulnya suatu tindakan bisa dikategorikan sebagai persekusi? Bagaimana sejarah tindakan yang dalam Nuremberg Principles dikategorikan sebagai pelanggaran HAM?

Persekusi Dalam Sejarah

Sebagai sebuah perilaku yang negatif karena sifatnya yang mengintimidasi – bahkan tidak jarang juga menggunakan kekerasan dan kadang berakibat pada penghilangan nyawa – persekusi dianggap sebagai sebuah bentuk pelanggaran HAM.  Bahkan persekusi dikategorikan sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan. Hal ini bisa dilihat dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional bagian II, artikel 7 poin ‘h’. Persekusi bisa terjadi dalam bentuk kekerasaan verbal maupun fisik yang luas dan terstruktur yang dapat menyebabkan timbulnya penderitaan, pelecehan, penahanan dan ketakutan.

Persekusi telah muncul untuk waktu yang lama, mungkin berawal dari saat ketika politik identitas menguat dalam masyarakat. Sebut saja ketika masyarakat yang hidup di suatu desa tidak ingin putri dari salah satu penduduk desa itu menikah dengan pemuda dari desa lain.  Mereka kemudian bersama-sama memusuhi keluarga tersebut. Pada akhirnya diketahui permusuhan tersebut timbul karena ‘dikompor-kompori’ oleh salah seorang pemuda desa yang cemburu karena pujaan hatinya menikah dengan orang lain. Rasa permusuhan penduduk desa terhadap keluarga tersebut boleh jadi akan membuat keluarga tersebut tertekan dan ketakutan.

Persekusi juga terjadi sejak zaman ketika perbenturan identitas membuat kelompok tertentu menjadi target perlakuan buruk atau penganiayaan dari kelompok lain. Dr.Hatem Bazian, Ph.D., seorang ahli filsafat dan kajian Islam dari University of  California, Berkeley menyebutkan bahwa salah satu catatan awal tentang persekusi adalah yang terjadi pada zaman Nabi Ibrahim (Abraham). Ayah Nabi Ibrahim yang bernama Azar (dalam bahasa Ibrani disebut ‘Terah’) adalah seorang  yang sering menghukum orang dengan cara dibakar di depan umum atau dengan cara-cara kekerasan hanya karena orang-orang tersebut mengungkapkan kebenaran atau membeberkan kontradiksi yang terjadi di masyarakat saat itu.

Namun, persekusi yang paling terkenal adalah yang terjadi pada abad pertama masehi, ketika Kaisar Romawi, Nero (37-68 SM) menyiksa dan membunuh orang-orang Kristen. Aksi Nero ini terjadi pada tahun 64 M saat popularitasnya turun dan ia mendapat banyak kritik setelah ia membakar kota Roma. Oleh karena itu, Nero memanfaatkan sentimen orang Romawi terhadap kaum Kristen dan menuduh orang Kristen sebagai kelompok yang bertanggungjawab membakar kota Roma. Persekusi tersebut kemudian berubah arah ketika Konstantinus (272-337 M) menguasai Roma dan menggunakan Kristianitas untuk tujuan politik. Konstantiunus sebaliknya mempersekusi para penganut agama pagan Romawi.

Persekusi berlanjut saat perang salib (Islam vs Kristen), reformasi gereja (Katolik vs Protestan), hingga pada saat Perang Dunia. Persekusi dalam skala besar dengan korban jiwa yang besar bisa juga disebut sebagai genosida.  Hal tersebut misalnya dilakukan oleh Joseph Stalin di Uni Soviet, Mao Zedong di Tiongkok, Pol Pot di Kamboja, dan Hitler di Jerman. Di Indonesia sendiri, persekusi juga terjadi pada tahun 1965 serta saat krisis 1998.

Apa di Balik Persekusi?

Faktanya persekusi bukanlah sesuatu yang terjadi secara alami, melainkan karena ada grand design atau direncanakan. Azar misalnya membakar  orang yang menentangnya di muka umum demi mencegah pemberontakan. Nero menganiaya orang Kristen agar kekuasaannya tidak dijatuhkan oleh penduduk Roma yang masih menganut paganisme. Sebaliknya, Konstantin mempersekusi paganisme karena Kristianitas lebih populer dan mampu menjadi alat politik untuk menyatukan Romawi.

Hal yang sama juga terjadi pada Stalin yang melakukan persekusi terhadap musuh politik dan kaum Kristen di Soviet untuk mempercepat terbentuknya komunisme Uni Soviet. Jika Stalin harus mengikuti apa yang disebut Karl Marx sebagai ‘evolusi masyarakat’, butuh waktu lama untuk mencapai komunisme, mengingat gerakan buruh Uni Soviet yang belum siap untuk itu. Sementara Mao Zedong mempersekusi sarjana dan cendikiawan di Tiongkok untuk mencegah kekuasaannya dirongrong oleh mereka-mereka yang pandai berpendapat.

Di Indonesia, Soeharto mempersekusi PKI untuk mengkudeta Soekarno pada tahun 1965, sementara peristiwa di tahun 1998 terjadi sebaliknya, untuk mengkudeta Soeharto. Lalu, ada apa di balik masalah-masalah persekusi yang saat ini mulai muncul?

Ada dua isu utama yang saat ini sedang mengemuka. Yang pertama adalah isu agama – yang sering dibahasakan dengan ‘kriminalisasi ulama’ – dan yang kedua adalah isu tuduhan PKI kepada Presiden Jokowi. Dimensi isu agama bisa dilihat dari sisi politik – ada orang-orang yang ingin menggunakan kekacauan isu agama yang terjadi saat ini untuk merongrong legitimasi Jokowi – dan bisa dilihat dari sisi ekonomi – terkait kepentingan aktor-aktor bisnis dalam kekacauan politik tersebut. Mengenai kekacauan ekonomi, ada teori tentang chaos economic yang menyebut pasar akan sangat rasional membaca gejala sekecil apa pun, apalagi yang disebabkan oleh kondisi politik.

Persekusi yang terjadi pada tahun 1998 misalnya sangat sarat kepentingan ekonomi, terutama jika berbicara tentang industri hedge fund – suatu jenis bisnis investasi kelas atas. George Soros adalah satu taipan hedge fund yang meraih keuntungan dari krisis ekonomi 1998, demikian halnya dengan beberapa pebisnis dalam negeri. Kepentingan ekonomi itu juga saat ini sepertinya terlihat, mengingat Presiden Jokowi cukup ‘nekat’ dalam berbagai kebijakan ekonominya – sebut saja Perppu yang membuat Ditjen Pajak mampu ‘mengintip rekening bank nasabah, dan hal tersebut sepertinya mengganggu banyak pebisnis.

Sementara isu PKI dipakai untuk mempersekusi Jokowi dengan target pilpres tahun 2019. Siapa yang mempersekusi? Mungkin perlu ditelusuri lebih dalam untuk menemukan jawabannya. Yang jelas, baik isu agama maupaun PKI dipakai untuk mempersekusi Jokowi melalui masyarakat. Persekusi tentu punya sponsor utama untuk membiayai. Dengan memperhatikan gerakan persekusi melalui media sosial yang terstruktur, gerakan-gerakan cyber army, dan lain sebagainya, sulit rasanya untuk tidak menyebut ada pihak yang mensponsori berbagai aksi tersebut. Dengan kata lain, ada banyak pihak yang sedang mencari keuntungan dalam situasi politik saat ini.

Pada akhirnya, persekusi tidak lagi hanya menjadi semacam ‘kerangkeng’ untuk kebebasan berekspresi saja, tetapi lebih daripada itu, menjadi alat politik – yang boleh jadi disebut sebagai bagian dari ‘permaianan yang berbahaya’. Mungkin banyak yang akan menilai hal ini terlalu muluk untuk dipahami, namun sekali lagi, faktanya persekusi tidak pernah terjadi secara alami. Sejarah sudah membuktikannya.

Yang perlu ditunggu adalah bagaimana pemerintah bertindak tegas dan cerdas dalam menghadapi aksi-aksi persekusi ini. Pemerintah diminta lebih terbuka kepada rakyat, khususnya apabila pemerintah sudah mengetahui grand designer aksi tersebut. Apalagi persekusi sangat berpotensi mengarah pada kejahatan mobokrasi – yakni suatu keadaan ketika negara dikuasai oleh segerombolan orang yang tidak paham seluk beluk pemerintahan dan secara seenaknya mengatur segala hal.

Jangan biarkan rakyat ketakutan, terpecah belah dan pada akhirnya mengambil posisi sendiri-sendiri, baik yang pro pada persekusi dan yang anti persekusi. Jika tidak, kekacauan ini tidak akan berakhir. (S13)

 

Exit mobile version