HomeNalar PolitikPerpres Miras Dicabut, Bukti Taji Ma’ruf?

Perpres Miras Dicabut, Bukti Taji Ma’ruf?

Kontroversi teranyar soal Perpres yang mengatur investasi miras berakhir pada pencabutan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi. Menurut Jubir Wapres, peran Ma’ruf Amin sangat penting dalam pencabutan tersebut. Jika Ma’ruf memiliki pengaruh sebesar itu, mengapa sebelumnya mantan Ketua MUI ini cenderung diam?


PinterPolitik.com

Juru bicara (Jubir) Wakil Presiden (Wapres), Masduki Baidlowi, menangkis berbagai prasangka soal diamnya Ma’ruf Amin terkait Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Tegasnya, awalnya Wapres tidak mengetahui tentang Perpres tersebut.

Masduki juga mengungkapkan peran vital sang Kiai dalam pembatalan Perpres ini. Masduki menyampaikan Ma’ruf berkoordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan ormas lainnya, untuk menggelar rapat terbatas (ratas) dengan para menteri untuk bahas kebijakan investasi miras.

Ma’ruf juga disebut serta meyakinkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara empat mata untuk mencabut Perpres tersebut setelah sebelumnya bertemu dengan sejumlah menteri membahas soal bahaya izin investasi miras.

Jika pernyataan Masduki benar, Kiai Ma’ruf sekiranya mengingatkan kita pada sosok Giyu Tomioka dalam anime Kimetsu no Yaiba. Giyu dikenal sebagai sosok yang tak banyak bicara. Namun, tindakan Giyu menentukan masa depan Tanjiro. Giyu membiarkan adik Tanjiro, Nezuko, tetap hidup, melindunginya dari Shinobu, dan bertanggungjawab atas semua tindakan Nezuko.

Ternyata langkah Sang Kiai membuahkan hasil seperti kini Tanjiro dengan mudah mendapatkan kepercayaan para pilar. Presiden Jokowi membatalkan Perpres tersebut. “Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama, baik Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan ormas-ormas lain, serta tokoh agama lainnya,” begitu tegas sang RI-1.

Jika Kiai Ma’ruf seberpengaruh itu, mengapa Ia kerap diam dalam berbagai isu?

Sikap Ma’ruf pada Isu Islam

Bukan Kiai, jika langkahnya mudah dibaca orang biasa. Dalam artikelnya The Implications of a Ma’ruf Amin Vice-Presidency in Indonesia, Norshahril Saat menyebutkan konservatisme Kiai Ma’ruf melonggar setelah terpilih menjadi Wapres dan dia berusaha berdamai dengan banyak pihak.

Misalnya tidak boleh terlalu konservatif di hadapan Muhammadiyah, serta menunjukkan sikap elegan dengan memaafkan Ahok.

Taktik perdamaian yang dikehendaki Ma’ruf  membuatnya selalu bicara dari balik tabir. Soal kepulangan Rizieq Shihab, misalnya, sang Kiai bicara melalui perantara jubirnya.

“Wapres berharap agar kedatangan Habib Rizieq yang disambut para pengikutnya itu menjadi kebaikan bersama, menjadikan keteduhan buat kita dalam konteks berbangsa dan bernegara.” Begitu ungkap Masduki.

Baca Juga: Jokowi dan Paradoks Industri Miras

Soal kasus penembakan di KM 50, lagi-lagi Ma’ruf dianggap diam. Sampai-sampai rekan sejawatnya di MUI, Tengku Zulkarnain, meminta agar Wapres tidak diam saja. “Yai Ma’ruf jgn diam saja. Harga nyawa mukmin MAHAL,” begitu cuitan dalam akun Twitter-nya pada 7 Desember 2020.

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Selain diamnya Ma’ruf terkait taktiknya membangun perdamaian antar kubu di publik, ini juga terkait komposisi internal pemerintahan Jokowi. Michael C. Desch dalam artikelnya Bush and the Generals membahas kementerian pertahanan Amerika Serikat (AS) yang membuat division of labour (pembagian tugas) antara para jenderal militer dengan para pemimpin gerakan sipil dalam menjalankan pemerintahan Bush di tengah kecamuk perang Irak.

Desch menjelaskan para pemimpin gerakan sipil diberi wewenang mengusulkan soal taktik dan operasional dan mengawasi militer, serta menegaskan batas legitimasi militer dan sipil. Situasi yang digambarkan Desch tampaknya mirip dengan beragamnya latar belakang para menteri dalam pemerintahan Jokowi.

Konteks pembagian tugas membuat kita paham mengapa Ma’ruf melakukan ratas, bahkan dia meminta tim Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) untuk menghubungi Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. Ini karena BKPM-lah yang berurusan hal persoalan tersebut.

Berperannya Ma’ruf dalam pencabutan Perpres investasi miras agaknya menjadi bantahan dugaan sejumlah pihak bahwa mantan Ketua MUI tersebut tidak memiliki pengaruh di pemerintahan Jokowi.

Lantas, mengapa Ma’ruf tidak mengambil peran seperti saat ini pada isu-isu lainnya? Apakah karena faktor dirinya sudah tergabung dalam pemerintahan?

Diam dalam Politik adalah Islami

Tulisan Saud Al Sarhan dalam bukunya Political Quietism in Islam memberikan kita poin menarik untuk menjawab pertanyaan tersebut. Di sana, Saud membahas bahwa diam dalam politik merupakan salah satu khazanah dalam pemikiran politik Islam. Gagasan ini bisa didefinisikan sebagai tindakan non-politik dan non-kekerasan yang berusaha menempatkan posisi di tengah dan bukan berarti meligitimasi tatanan yang ada.

Gagasan ini telah berkembang sejak abad ke-9. Dalil soal “tidak ada pedang yang diangkat di atas umatnya Muhammad” menjadi dalil untuk melawan dua kelompok revolusioner, yakni Mu’tazila dan Khawarij. Dengan dalil tersebut, meskipun penguasa memiliki kesalehan yang buruk dan tidak punya kompetensi dalam memimpin, umat harus tetap taat pada pemimpin dan tetap menjadi makmum saat pemimpin tersebut menjadi imam.

Sikap tersebut dipraktikkan oleh tokoh-tokoh di dunia Islam. Di Iran, ada Nur Ali Shah II, Syekh Tarekat Nimatullah, menulis sebuah booklet yang mengajak orang-orang Iran untuk bersatu di bawah panji tasawuf, untuk mengakhiri perpecahan terjadi setelah Revolusi Konstitusi.

Di Tunisia, ada Khayr al-Dīn al-Tūnisī, penulis Konstitusi Tunisia 1861. Dia menulis buku yang salah satunya mencontohkan bahwa orang Islam dan Yahudi punya posisi yang sama di mata hukum. Itu sebagai kritiknya pada sistem millet Utsmani dan perjanjian berdasarkan tekanan pemaksanaan oleh Prancis.

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Sikap Yusuf Hamza terkait mantan Presiden AS Donald Trump juga mencerminkan pemikiran ini. Saat mengomentari gelombang protes yang dilakukan komunitas Muslim di AS, Hamza Yusuf, ulama dan pendiri Zytuna College, menyebut bahwa komunitas Muslim harus menerima hasil pemilu karena seperti itulah sistemnya dan tugas Muslim sekarang adalah memastikan lembaga-lembaga muslim dapat dilindungi.

Baca Juga: Pencabutan Perpres Miras Jokowi Keliru?

Hamza Yusuf bahkan menjadi religious advisor dalam pemerintahan Bush dan human right advisor dalam pemerintahan Trump.

Dugaan bahwa political quietism yang dianut oleh Ma’ruf saat menjadi Wapres sepertinya sangat masuk akal, jika mengacu pada Pilpres 2019 yang dibayang-bayangi oleh kekhawatiran akan perpecahan yang makin memanas pasca Pilgub DKI Jakarta 2017.

Saat menjalankan pemerintahan, komposisi internal pemerintahan Jokowi dan ditambah gelombang ketidakpuasan yang ditabuh oleh meraka yang tidak puas dengan hasil Pilpres 2019 menjadikan Ma’ruf sepertinya perlu benar-benar diam, atau tidak terpancing.

Ini misalnya terlihat saat wawancaranya bersama Najwa Shihab yang berjudul “Ma’ruf Amin soal Wapres yang Terlupakan”. Dalam acara ini, Ma’ruf dengan elegan menyebutkan dirinya yang rajin memimpin dan memberikan arahan dalam rapat koordinasi dan selalu hadir dalam rapat kabinet. Tak ada dua matahari, sudah ada pembagian tugas dengan Presiden Jokowi menjadi kunci penting atas sikapnya hari ini.

Pernyataan itu terbilang kontras dengan sikapnya pada tahun 2017. Di tahun tersebut, Ma’ruf “mengganjar” Ahok atas ucapannya di Kepulauan Seribu. Fatwa MUI menyatakan Ahok melakukan penistaan agama dan menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum yang tertuang dalam fatwa MUI.  

Political quietism Ma’ruf juga ada kaitannya dengan latar belakang kariernya. Kariernya ini boleh dibilang independen. Meskipun di masa lalu namanya erat dengan PKB dan PPP, kariernya dari 2004-2015 jauh dari politik. Tahun 2015 dia menjadi Rais Aam Syuriah di PBNU. Lalu beliau diangkat menjadi Ketua MUI di tahun yang sama. Karier lainnya adalah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan bahwa diamnya Ma’ruf dalam berbagai isu mungkin karena menganut political quietism atau politik diam. Di luar dugaan ini, perannya dalam meyakinkan Presiden Jokowi untuk mencabut Perpres tentang investasi miras sekiranya menjadi pembuktian bahwa Kiai Ma’ruf memiliki pengaruh di pemerintahan. (F65)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menguak Manuver Prabowo di Denwalsus

Detasemen Kawal Khusus (Denwalsus) buatan Prabowo menuai kritik sejumlah pihak. Ada yang menyarankan Prabowo lebih baik buat Detasemen untuk guru di Papua. Ada juga...

Senggol Cendana, Jokowi Tiru Libya?

Perpres yang disahkan Jokowi terkait pengelolaan TMII mendapatkan perhatian publik. Pasalnya Perpres ini mencabut hak Yayasan milik keluarga Cendana yang sudah mengelola TMII selama...

Di Balik Zeitgeist Digital Anies

Anies Baswedan puji kreator konten yang dianggapnya mampu menawarkan pengalaman atas infrastruktur yang dibangunnya. Pujian Anies kontras dengan pejabat negara dan politisi yang gunakan buzzer untuk...