Presiden Jokowi menerbitkan Perpres Ekstremisme sebagai upaya mencegah dan menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan. Namun, dengan adanya istilah radikalisme dalam Perpres tersebut, mungkinkah beleid tersebut justru memiliki konsekuensi negatif?
“Apakah kebangkitan radikalisme Islam pada awal abad ke-20 lebih baik dipahami sebagai masalah identitas atau apakah itu pada dasarnya murni merupakan fenomena religius?” – Francis Fukuyama, dalam Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian
Tentu kita sepakat, ekstremisme berbasis kekerasan adalah sesuatu yang harus dilawan secara bersama dan dicegah sedini mungkin. Atas kesadaran tersebut, formasi awal kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) di periode kedua ini dilihat berbagai pihak sebagai ‘Kabinet Anti-Radikalisme’.
Posisi Fachrul Razi dan Tito Karnavian adalah salah satu faktor utama dari simpulan tersebut. Terkait Fachrul, penempatannya sebagai Menteri Agama (Menag) adalah sejarah karena untuk pertama kalinya militer kembali mengampu posisi tersebut di era Reformasi. Selain itu, pada 23 Oktober 2019, mantan Wakil Panglima TNI ini juga mengakui bahwa dirinya memang diminta untuk menyisir radikalisme oleh Presiden Jokowi.
Sementara Tito, penempatannya sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri) disebut memiliki tujuan tersendiri. Pertama, Mendagri memiliki kewenangan untuk memperpanjang dan tidak memperpanjang izin ormas. Kedua, mantan Kapolri ini dikenal garang terhadap ormas yang kerap membuat kericuhan. Dengan kata lain, penempatannya kemungkinan untuk meredam legalitas ormas-ormas tertentu yang selama ini bermasalah.
Kendati Fachrul telah diganti pada 23 Desember 2020, namun penggantinya, Yaqut Cholil Qoumas yang merupakan Ketua Umum GP (Gerakan Pemuda) Ansor adalah sosok yang juga lantang melawan radikalisme. Beberapa waktu yang lalu, Menag Yaqut bahkan menyebutkan akan melawan perkembangan populisme Islam, yakni gerakan kelompok masyarakat yang disebutnya menggiring agama sebagai norma konflik.
Baca Juga: Menag Yaqut Tidak Paham Populisme Islam?
Selain membentuk Kabinet Anti-Radikalisme, baru-baru ini, Presiden Jokowi juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 atau yang disingkat dengan Perpres Ekstremisme.
Perpres tersebut tentu positif karena merupakan bentuk nyata ketegasan dan kesungguhan pemerintah dalam melawan ekstremisme dan terorisme. Akan tetapi, dimasukkannya istilah radikalisme tanpa memberikan definisi yang jelas dinilai dapat melebarkan makna. Apalagi, penggunaan istilah radikalisme disetarakan dengan ekstremisme karena ditulis dengan konjungsi ‘dan’.
Lantas, apakah persoalan tersebut dapat menimbulkan masalah yang bersifat substansial? Atau justru hanya persoalan penggunaan istilah atau bahasa semata?
Bahasa dan Realitas
Pakar isu militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi juga memberi perhatian pada digunakannya istilah radikalisme dalam Perpres tersebut. Menurutnya, meski sama-sama bisa menghadirkan berbagai bentuk kekerasan, ekstremisme dan radikalisme adalah dua hal yang sangat berbeda.
Lanjutnya, ada keanehan terkait digunakannya istilah radikalisme yang oleh banyak ahli disebut tak punya cukup pijakan ilmiah.
Atas pernyataan Fahmi tersebut, mungkin ada yang mengatakan, “Oh, itu kan masalah bahasa semata, sehingga tidak perlu diributkan.” Sepintas, tanggapan semacam itu mungkin tepat. Namun, apabila kita mengkajinya menggunakan filsafat bahasa dan filsafat logika, tanggapan umum (common sense) semacam itu adalah kesalahan besar.
Hanida Amalina dalam penelitiannya Permasalahan Kalimat dan Penerjemahan dalam Bahasa sebagai Penyebab Terhambatnya Komunikasi yang Bernas, dengan mengutip Gottlob Frege dalam The Thought: A Logical Inquiry menjelaskan perbedaan ‘ide’ dengan ‘buah pikiran’.
Ide adalah entitas yang bersifat subjektif. Setiap ide hanya memilik satu pemilik (orang yang memikirkannya) dan tidak dapat disentuh dengan pancaindra. Contohnya, “saya berenang di atas awan”. Berenang di atas awan tidak dapat disentuh pancaindra karena secara empiris hal tersebut tidak memungkinkan.
Baca Juga: Menguak Alasan FPI Dibubarkan
Sementara buah pikiran tidak memerlukan pemilik tunggal, dapat disentuh pancaindra, dan dapat ditangkap oleh orang lain. Tulis Hanida, dalam pemikiran Frege, buah pikiran tidak akan berguna apabila tidak dapat ditangkap oleh orang lain. Singkatnya, buah pikiran haruslah memiliki relasi dengan realitas dan memungkinkan intersubjektivitas.
Simpulan tersebut juga dapat kita temui dalam karya filsuf bahasa dan logika besar lainnya, Ludwig Wittgenstein dalam bukunya Tractatus Logico-Philosophicus. Menurut Wittgenstein, suatu proposisi atau kalimat dapat disebut bermakna apabila memiliki koherensi logis dan memiliki rujukan dunia eksternal yang jelas.
Interpretasi Jihadis Kontemporer
Penjabaran ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama dalam bukunya Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian dapat membantu kita memahami konsep abstrak tersebut di level praktis.
Di sini, Fukuyama menghadirkan perdebatan interpretasi terkait apa yang menyebabkan terjadinya fenomena terorisme kontemporer antara Sarjana Timur Tengah asal Prancis, Olivier Roy dengan cendekiawan Islam Prancis, Gilles Kepel.
Menurut Roy, fenomena Muslim yang menjadi terorisme, khususnya di Eropa tidak berkaitan dengan doktrin agama ataupun politik global. Mereka adalah Muslim Eropa generasi kedua yang terjebak dalam dua budaya, yaitu budaya orang tuanya (yang mereka tolak) dan budaya negara baru (yang sepenuhnya tidak menerima mereka) – Muslim Eropa kebanyakan imigran.
Kegamangan identitas tersebut kemudian membuat mereka berlabuh ke Islam radikal yang disebut Roy menawarkan komunitas, penerimaan, dan martabat.
Kontras, Kepel justru meyakini terorisme dan ekstremisme tidak dapat dipisahkan dari doktrin agama, khususnya paham ultrakonservatif salafisme dari Arab Saudi. Kepel bahkan menuduh Roy tengah berusaha membebaskan Islam dari tuduhan bahwa jihad berkaitan dengan agama tertentu.
Menurut Fukuyama, perdebatan Roy dengan Kepel bukanlah pergulatan bahasa atau definisi semata, melainkan membantu untuk menangani persoalan di level praktis karena membuat kita mengetahui apa akar masalahnya. Apakah jihadis adalah persoalan identitas atau penerimaan secara sosial seperti anggapan Roy, atau justru memang fenomena religius seperti penekanan Kepel.
Baca Juga: FPI, Buah Kesalahan Soeharto?
Mengacu pada Frege, kedua konsep yang diajukan Roy dan Kepel adalah buah pikiran. Akan tetapi, seperti penekanan Wittgenstein, mana definisi yang lebih dekat dengan realitas? Jika kita salah menangkap akar masalah, tentu kita juga salah dalam memberikan solusi. Ini pentingnya agar buah pikiran harus memiliki koherensi logis dan korelasi dengan realitas.
Dapat Berbahaya?
Kembali pada keheranan Khairul Fahmi, agar Perpres Ekstremisme memiliki justifikasi ilmiah dan filosofis untuk memasukkan istilah radikalisme, istilah tersebut harus dapat dibuktikan memiliki signifikansi praktis, dan berbeda dengan istilah ekstremisme yang telah digunakan.
Pasalnya, apabila kita mengacu pada maksim pragmatisme (pragmatic maxim) dari filsuf Charles Sanders Peirce, dua buah konsep – atau lebih – yang tidak memiliki perbedaan praktis, maka keduanya tidak memiliki perbedaan secara teoretis dan filosofis. Singkatnya, penggunaannya adalah suatu kesia-siaan.
Artinya, jika istilah radikalisme dimaknai sama dengan ekstremisme, maka penggunaannya tidak memiliki signifikansi – cukuplah menggunakan istilah ekstremisme. Selain itu, tidak adanya definisi radikalisme di Perpres akan membuat berbagai pihak menafsirkan apa itu radikalisme menurut persepsinya.
Ary Hermawan dalam tulisannya From Red to Green Menace: How ‘Radicalism’ Becomes the New Political Bogeyman in Indonesia juga memberi pertanyaan serupa.
Hermawan misalnya melontarkan pertanyaan sebagai berikut, “Bagaimana pemerintah dapat menentukan apakah keyakinan seseorang radikal atau tidak?”, “Apakah sikap kritis terhadap pemerintah membuat pegawai negeri sipil menjadi radikal?”.
Lebih pelik lagi, saat ini telah terjadi perpindahan makna radikalisme secara global. Radikalisme yang berasal dari bahasa latin, radix yang berarti ‘akar’, pada awalnya adalah gerakan politik liberalisme di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Contoh paling gamblang dari radikalisme adalah Revolusi Prancis. Gerakan ini mendukung reformasi demokrasi dan reformasi struktur sosial-politik.
Baca Juga: Bom Waktu Kabinet Anti-Radikalisme Jokowi?
Rik Coolsaet dalam tulisannya Radicalization: The Origins and Limits of a Contested Concept menyebutkan makna radikalisme dibengkokkan setelah peristiwa pengeboman 9/11 di AS yang membuatnya dimaknai sebagai ‘kemarahan’. Sejak saat itu, istilah ini digunakan secara luas untuk menggambarkan ekstremisme dan terorisme.
Mengacu pada Frege, istilah radikalisme yang mudah ditafsirkan berbeda tersebut tidak layak disebut sebagai ‘buah pikiran’, melainkan lebih sebagai ‘ide’ karena tingkat relativitasnya.
Selain itu, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid juga memiliki ketakutan tersendiri bahwa Perpres ini dapat meningkatkan konflik horizontal karena adanya pelibatan masyarakat dan Perpres yang memiliki makna yang luas.
Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Perpres Ekstremisme perlu memiliki Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan, agar adanya definisi dan ruang lingkup yang jelas. Dengan demikian, benturan tafsiran dan tumpang tindih kewenangan, khususnya dari masyarakat tidak terjadi nantinya. (R53)