“Saya dipaksa menikah oleh orangtua saya setamat SMP dengan pria yang usianya 18 tahun lebih tua, karena jika saya menolak perjodohan ini maka saya akan disumpah oleh orangtua saya,” ujar Kasmawati Ahmad asal Maros Barat.
pinterpolitik.com
“Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun”, (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974).
Sempat menjadi berita yang menghebohkan, perkawinan ‘resmi’ anak usia yang sangat belia, yang lak-laki berusia 13 tahun sedangkan yang perempuannya berusia 14 tahun di Desa Gantarang, Kecamatan Kelara, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Alasan yang cukup ‘klise’ diberikan oleh kedua orangtua mempelai, yaitu ingin segera menimang cucu!
Dewasa Menurut Agama Belum Tentu Dewasa Menurut Negara
Peristiwa pernikahan dini yang sedang marak di Indonesia bukan karena pernah ditayangkannya sinetron ‘pernikahan dini’. Kasus pernikahan dini di Indonesia bisa dikatakan sebagai kejadian nyata dengan kuantitas yang terbilang tinggi. Isi yang terdapat di dalam Undang-undang perkawinan seperti tertulis diatas sangat bertolak belakang dengan isi Kampanye BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana) dan Badan Penasihat Perkawinan dan Perceraian Kementrian Agama yang justru menganjurkan usia siap menikah adalah 21 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk laki-laki.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia, Yohana Yembise, pernah mengatakan bahwa pernikahan dini hanya akan berdampak negatif. Pernikahan dini rentan terjadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dengan perempuan sebagai korbannya. Menurut Menteri Yohana, negara tidak akan mampu bersaing untuk beberapa dekade ke depan bilamana anak-anak tidak mendapatkan awal kehidupan yang terbaik.
Di tahun 2014, BKKBN melakukan penelitian dimana 46 persen atau setara dengan 2,5 juta pernikahan yang terjadi setiap tahun di Indonesia mempelai perempuannya baru antara 15 sampai 19 tahun. Bahkan 5% diantaranya melibatkan mempelai perempuan yang berusia di bawah 15 tahun. Di tahun sebelumnya BKKBN juga melakukan penelitian mengenai penyebaran kasus pernikahan dini. Fakta yang didapat sangat mengejutkan bahwa kasus pernikahan dini dengan mempelai wanita berusia antara 15 sampai 19 tahun paling tinggi terjadi di wilayah Kalimantan Tengah dengan persentase 52,1 persen dari total pernikahan per tahunnya.
Berbicara tentang arti kedewasaan menurut Islam hingga saat ini masih belum tuntas diperbincangkan oleh para ulama dan pemerintah Indonesia. Para ulama klasik dan kontemporer selalu memperdebatkan tentang perbedaan pendapat soal batasan kedewasan seseorang. Dari sisi pemerintah Indonesia mempunyai beberapa undang-undang mengenai batasan kedewasaan yang berbeda-beda, misalnya di dalam UU Perkawinan 1974 terdapat ketentuan 16 tahun bagi perempuan untuk menikah, sementara di dalam UU Ketenagakerjaan terdapat ketentuan 18 tahun untuk menjadi tenaga kerja. Kedewasaan kembali diperdebatkan manakala sebagian kalangan dan khususnya NGO melakukan Judicial Review UU Perkawinan untuk menaikkan usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 18 tahun.
‘Bâligh’ atau di kalangan umat muslim diartikan sebagai dewasa adalah kedewasaan seseorang dalam arti kedewasaan secara fisik, yaitu misalkan mengalami mimpi basah bagi laki-laki dan sudah menstruasi bagi perempuan. Jelas terlihat disini bahwasanya penanda seseorang sudah dewasa atau belum tidak dilihat kematangan mental psikologinya. Misalkan ada wanita yang sudah mendapat haid di kelas 6 SD tapi secara mental tentunya wanita ini masih terbilang anak-anak.
Kasus-kasus pernikahan dini yang terjadi di Indonesia bukan hanya seputar pernikahan pasangan yang masih sama-sama muda. Di Indonesia pernah terjadi fenomena perkawinan yang dilakukan oleh pria yang lebih dewasa terhadap perempuan dibawah umur. Beberapa kasus perkawinan dibawah umur yang sempat menggemparkan, seperti kasusSyekh Puji yang menikahi santriwatinya yang masih berusia 12 tahun. Karena melanggar undang-undang Perlindungan Anak, Syekh Puji akhirnya harus mendekam selama 12 tahun baru mendapat ijin untuk berpoligami saat istrinya berusia 16 tahun.
Masih Kurangnya Perhatian Pemerintah Terhadap Pernikahan Dini
Walaupun pernikahan merupakan sesuatu yang sakral, namun dibalik ke sakralan tersebut terselip sebuah ‘efek’ apabila pernikahan terjadi di usia yang terbilang sangat belia. Ada 2 efek yang dapat terjadi pada sebuah pernikahan dini, yaitu efek secara psikologis dan efek secara medis atau kesehatan.
Dari sisi psikologis, pernikahan dini dapat berdampak terjadinya disharmoni keluarga. Disharmoni dapat terjadi karena emosi pasangan yang bersangkutan masih sangat labil serta pola pikir yang masih belum matang. Dilihat dari berbagai sisi psikologi, pernikahan dini memang mempunyai banyak dampak negatifnya, seperti:
- Depresi berat (neuritis), yang dapat membuat pasangan pernikahan dini menjadi menarik diri dari pergaulannya padahal usia anak-anak menjelang remaja adalah usia yang penuh dengan imajinasi dan ide kreatif. Akibat pernikahan dini dapat menjadi pribadi yang tertutup (introvert).
- Konflik Berujung Perceraian. Perasaan emosi biasanya akan mulai stabil saat usia 24 tahun, dan sebetulnya di usia tersebut orang akan mulai menginjak usia dewasa. Secara psikologi usia 20-24 merupakan usia dewasa muda atau lead edolesen. Masa inilah terjadi transisi dari masa remaja ke dewasa dan di usia inilah mulai pencarian jati diri. Dapat dibayangkan jika seorang anak diusia dibawah itu harus menikah dan menanggung beban rumah tangga!
Melihat begitu berpengaruhnya sebuah pernikahan dini maka otomatis akan berpengaruh terhadap kualitas generasi muda Indonesia ke depannya. Bisa dibayangkan jika generasi penerus bangsa terlahirdari sebuah rumah tangga atau orangtua yang seperti disebut diatas, mau dibawa kemana selanjutnya negara ini. Belum lagi jika bayi terlahir cacat atau meninggal atau bahkan si ibu yang meninggal karena harus melahirkan dengan usia yang sangat muda, bagaimana dengan anak-anak itu nanti? Siapa yang bertanggung jawab dengan problem ini, pemerintahkah?
Selain menjadi tanggung orangtua, pemerintah juga harus ikut ambil bagian dalam menangani kasus pernikahan dini ini. Harus adanya sinergi yang kompak antara Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementrian Agama, Kementrian Kesehatan, Kementrian Sosial, Pemerintah Daerah dan peran serta lembaga swadaya yang khusus memperhatikan tentang pernikahan dini ini.
Sepertinya pemerintah kurang serius untuk memperhatikan permasalahan pernikahan usia dini ini karena menganggap bahwa seorang anak juga adalah tanggung jawab orangtuanya sendiri 100 persen. Pemerintah tidak pernah menyadari bahwasanya orangtua juga mengalami kebingungan dengan kerancuan undang-undang yang ada, yaitu:
UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 23 Tahun 2002, disini masyarakat masyarakat berpersepsi bahwa ketika anak pada usia 16 tahun (perempuan), maka anak tersebut sudah dapat dinikahkan tetapi pada UU No. 23 Tahun 2002, pada usia tersebut masih dikategorikan sebagai anak, sedangkan merujuk pada UU Perlindungan Anak Pasal 26 dalam Sari Pediatri, bahwa kewajiban orangtua untuk mencegah perkawinan pada usia anak-anak.
Disini jelas terlihat adanya ketidakkonsistenan UU diatas, otomatis tentu saja akan banyak terjadi pelanggaran karena pembenaran dari sumber hukum yang lain yang membenarkan. Seyogyanya pemerintah mempunyai kemampuan untuk memberikan pemahaman mengenai kejelasan dari UU sehingga akan timbul kesadaran dari masyarakat akan pentingnya dasar hidup dan diterapkan untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga masyarakat percaya dan mampu untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk menegakkan hukum yang sudah ada.
Isu Pernikahan Dini Adalah Isu ‘Panas’ Di Dunia
Negara dengan keunikan piramidanya yaitu Mesir, ada yang namanya Hukum Keluarga. Di dalam hukum keluarga ini dikatakan bahwa perkawinan hanya dapat diijinkan jika laki-laki berumur 18 tahun dan wanitanya berumur 16 tahun. Serupa untuk di negara Pakistan. Bedanya dengan hukum di Indonesia adalah bahwa umur laki-lakinya lebih tinggi.
Berbeda dengan di negara India yang cukup tegas mengatur tentang perkawinan walaupun penetapan usianya terbilang rendah. Bagi anak-anak di India, pada tahun 1929 diterbitkanlah suatu undang-undang untuk mencegah perkawinan anak dibawah umur (Child Marriage Restraint Act, 1929) yang mengatakan larangan mengawinkan anak perempuan sebelum mencapai usia 14 tahun dan anak laki-laki sebelum mencapai usia 16 tahun.
Di dalam undang-undang ini dengan tegas mengatakan akan mengenakan sanksi atau hukuman atas pelanggaran ketentuan tersebut. Masalah tentang pernikahan dini ini telah dijadikan salah satu topik yang sangat penting di dunia karena dijadikan salah satu topik yang menjadi perhatian pada konsep kerja sama Sustainable Development Goals. Pemerintah di seluruh dunia sudah sepakat untuk menghapuskan perkawinan anak pada tahun 2030.
Riset yang pernah dilakukan United Nations Children’s Fund (UNICEF) menemukan bahwa satu dari enam anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Angkanya 340.000 anak per tahun. Adapun yang di bawah usia 15 tahun mencapai 50.000 anak per tahun. Maka tak heran apabila United National Development Economic and Social Affair (UNDESA), menempatkan Indonesia pada peringkat ke-37 dunia dan peringkat ke-2 se-ASEAN sebagai salah satu negara dengan angka pernikahan usia dini yang tinggi.
Menjadi manusia berkualitas di Indonesia sangat erat kaitannya dengan permasalahan masih tingginya angka pernikahan usia dini di Indonesia. Seorang peneliti Mahasiswa Program Magister Kriminologi Peminatan Perlindungan Anak, Reni Kartikawati, menjelaskan bahwa dari data tahun 2016, ada sebanyak 22.000 perempuan muda di Indonesia berusia 10-14 tahun sudah menikah terutama terjadi di pedesaan sebesar 0,03 persen.
Jika melihat data dari penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, didapat angka perkawinan dini di Indonesia di peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara. Ada sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah dan jumlah ini diperkirakan akan mengalami kenaikan setiap tahunnya. (I28)