Setelah Mendikbud Ristek Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021, muncul pro-kontra yang meliputi aturan tersebut. Pihak pro melihat ini sebuah terobosan untuk pencegahan kekerasan seksual di kampus, pihak kontra melihat ada upaya legalisasi perzinahan dalam aturan ini. Mungkinkah aturan ini sebagai upaya legalisasi perzinahan di dunia kampus?
Munculnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi, mendapat atensi berbagai kalangan. Peraturan ini muncul, dikarenakan maraknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual di dunia kampus.
Tujuan dan isi dari hadirnya Permendikbud Ristek ini sebenarnya mulia, yaitu mengatur hal-hal terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi atau kampus. Subjek dari peraturan ini adalah mereka yang aktivitasnya berada di lingkungan kampus, seperti mahasiswa, dosen, dan tiap masyarakat yang berinteraksi di lingkungan kampus.
Pada Pasal 10, disebutkan bahwa perguruan tinggi wajib melakukan penanganan kekerasan seksual melalui pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administrasi, dan pemulihan korban. Terdapat kalangan yang setuju dan menilai Permendikbud Ristek ini sangat progresif, hal ini dilihat dari mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang menjadikan korban sebagai objek kekerasan, selain itu, dianggap unggul karena mengatur persoalan consent atau persetujuan.
Di lain sisi, ada juga kalangan yang melakukan protes terhadap Permendikbud Ristek ini, mereka melihat terdapat kecacatan, terutama pada Pasal 5 yang dimaknai sebagai legalisasi terhadap seks bebas. Mendikbud Ristek Nadiem Makarim pun didesak mencabut Permendikbud Ristek tersebut.
Lincolin Arsyad, Ketua Majelis Diktilitbang Pengurus Pusat Muhammadiyah, mengatakan, salah satu kecacatan materil ada di Pasal 5 yang memuat consent dalam frasa ”tanpa persetujuan korban”, menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan.
Asumsi yang terbangun pada frasa ”tanpa persetujuan korban”, mengandaikan perbuatan asusila dilarang jika tidak disetujui korban, sedangkan jika perbuatan asusila disetujui oleh korban maka dianggap wajar. Hal ini, dimaknai sebagai upaya legalisasi terhadap seks bebas atau perzinahan.
Lantas, seperti apa polemik Permendiksbud Ristek yang dikeluarkkan oleh Menteri Nadiem Makarim ini dapat dimaknai. Bagaimana aturan hukum tentang perzinahan di negeri kita?
Memahami The Living Law
Mayoritas pihak yang menolak Permendikbud Ristek ini muncul dari kalangan Islam. Mereka mengkritik frasa ”tanpa persetujuan korban” dengan menggunakan salah satu metode tafsir hukum yang disebut argumentum a contarario.
R. Soeroso dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum, menjelaskan bahwa penafsiran a contrario adalah penafsiran undang-undang atau aturan hukum yang mendasarkan atas pengingkaran, dalam arti berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal.
Berdasarkan pengingkaran ini, ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada di luar undang-undang atau peraturan yang dibuat. Tafsir ini, mempersempit perumusan hukum, tujuannya ialah untuk lebih mempertegas adanya kepastian hukum, sehingga tidak menimbulkan keraguan karena multi tafsir.
Jika disimulasikan, berdasarkan argumentum a contrario (berlawan), dapat dikatakan bahwa frasa ”tanpa persetujuan korban”, sebagai sebuah ketentuan, tidak berlaku jika korban sebagai subjek menyetujui sebuah perbuatan seksual. Karena tidak menyebutkan dampak dari persetujuan, yaitu tindakan seksual, yang dapat diartikan sebuah perzinahan.
Dalam hukum positif, perzinahan terdapat pada Pasal 284 KUHP yang memberikan pengertian, bahwa persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan, di mana salah satu atau dua-duanya sudah menikah dengan orang lain. Agar bisa dijerat dengan pasal ini, perzinahan tersebut dilakukan dengan suka sama suka. Tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.
Pasal 284 KUHP hanya mengatur masalah perselingkuhan, yang mana pasal tersebut hanya berlaku jika salah satu pelaku atau keduanya masih terikat oleh perkawinan sah dengan orang lain. Kemudian pada ayat 2 menjelaskan zina merupakan pelanggaran pengaduan, yang hanya bisa dituntut jika pasangan sah melakukan keberatan atau aduan. Sedangkan untuk kasus hubungan seksual di luar konteks pasal ini, akan berlaku asas legalitas.
Pandangan publik tentang perzinahan jauh lebih kompleks daripada yang ditetapkan dalam hukum positif. Perzinaan bukan hanya selingkuh, tetapi lebih pada pandangan moralitas dan harus dicegah sejak dini, bukan hanya setelah menikah. Perspektif ini muncul dalam masyarakat karena pengaruh norma-norma agama dan norma-norma adat.
Penjelasan terkait pengaturan zina dalam KUHP di atas, memberikan gambaran bahwa masyarakat lebih cenderung terhadap peraturan hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum yang hidup dalam masyarakat biasa disebut dengan istilah the living law, sehingga tidak membutuhkan upaya reaktualisasi lagi. The living law bukan sesuatu yang statis, tetapi terus berubah dari waktu ke waktu. The living law adalah hukum yang hidup di dalam masyarakat, bisa tertulis bisa juga tidak.
Dari penjelasan di atas, terkait konsep yang ada di dalam pengaturan tindak pidana zina dalam KUHP, pada dasarnya memiliki beberapa masalah. Masalah yang ada dalam pengaturan tersebut antara lain karena masyarakat merasa unsur-unsur yang terdapat di dalam KUHP sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat Indonesia.
Aspek-aspek yang mengatur perbuatan zina terdiri dari tiga aspek, antara lain hukum positif, hukum agama, dan hukum budaya atau adat istiadat. Muncul pertannyaan, seperti apa hukum agama dapat dijadikan hukum positif?
Eklektisisme Hukum
Jika melihat dalam perspektif hukum yang dibagi atas dua kategori, yaitu Lex Generalis dan Lex Specialis, maka akan muncul istilah dalam tafsir hukum yang disebut Lex specialis derogat legi generali, asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Hukum positif yang berlaku saat ini bisa dikategorikan sebagai lex generalis, sedangkan hukum agama dan hukum adat masuk pada kategori lex specialis.
Meski hukum agama dan hukum adat merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat, juga bersifat lex specialis, tidak serta merta dapat menjadi hukum yang dapat diterima oleh semua orang dan menjadi hukum nasional. Perlu mekanisme politik dan hukum secara eklektis (memilih yang terbaik dari berbagai sumber) untuk dijadikan hukum positif yang berlaku untuk semua.
Ahmad Qodri Azizy dalam bukunya yang berjudul Hukum Nasional: Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, menawarkan pendekatan eklektik dalam menjembatani dikotomi antara hukum Islam dan hukum umum/positif.
Pendekatan eklektisisme yang dijelaskan Azizy adalah dengan memilih di antara yang terbaik dari sistem hukum yang ada yang tertuju pada esensi hukum nasional yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yang mempunyai tiga jenis bahan baku hukum di dalamnya, yaitu hukum agama (dalam hal ini hukum Islam), hukum adat dalam arti hukum kebiasaan (customary law) atau hukum yang hidup (living law), dan hukum Barat dalam arti hukum modern atau internasional.
Mahfud MD dalam tulisannya Hukum Islam dan Hukum Nasional, menjelaskan, pembentukan hukum nasional diolah melalui proses eklektis di lembaga legislatif, yakni memilih nilai-nilai hukum dari berbagai agama, keyakinan, dan kultur yang disepakati sebagai kalimatun sawa’ (titik temu) oleh para wakil rakyat dan pemimpin negara yang terpilih untuk kemudian diberlakukan sebagai hukum negara.
Proses eklektisasi melahirkan produk yang dikelompokkan menjadi dua. Pertama, untuk hukum-hukum publik diberlakukan unifikasi hukum, yakni memberlakukan hukum-hukum yang sama untuk seluruh warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, dan kelompok sosialnya. Kedua, untuk hukum-hukum privat (dan perdata pada umumnya) berlaku hukum agama, kepercayaan, dan adat masing-masing komunitas golongan.
Hal ini dapat menjelaskan, bahwa hukum agama seperti pelarangan zinah, dapat menjadi sumber hukum dalam arti sebagai bahan pembuatan hukum, tetapi tidak otomatis menjadi peraturan perundang-undangan atau hukum yang berdiri sendiri.
Tentunya, terkait Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 pada frasa ”tanpa persetujuan korban” cenderung akan menjadi perdebatan, banyak pihak yang berpendapat, perdebatan ini dikarenakan dalam pembuatan peraturan ini, kementerian tidak melibatkan banyak pemangku kepentingan, sehingga aturan ini dianggap tidak merepresentasikan pihak-pihak lain.
Di sisi lain, penulis ingin menegaskan, bahwa hukum agama tidak dengan sendirinya menjadi sumber hukum formal atau hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan. Ia hanya bisa menjadi hukum formal setelah melalui proses eklektisasi. Ajaran Islam memang menjadi sumber hukum, tetapi ia bukan satu-satunya sebab ajaran agama-agama dan keyakinan lain yang hidup di Indonesia juga menjadi sumber hukum. (I76)