Badan Legislasi (Baleg) DPR mulai melakukan pembahasan terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga. RUU ini menuai polemik lantaran dianggap terlalu mencampuri ranah privat masyarakat. Lalu apakah memang masyarakat memerlukan UU yang mengatur soal aspek kehidupan berkeluarga ini?
Hampir semua orang yang menghabiskan masa kecil di tahun 1990-an sepertinya akrab dengan judul sinema elektronik (sinetron) bertajuk Keluarga Cemara. Ya, sinetron yang diadaptasi dari cerita bersambung yang ditulis Arswendo Atmowiloto ini memang sempat booming di tahun 1996 hingga 2002.
Cerita yang digambarkan dalam sinetron ini sebenarnya cukup sederhana. Alurnya fokus pada kehidupan sebuah keluarga mapan yang terpaksa hidup serba berkecukupan setelah bisnis sang ayah mengalami kebangkrutan.
Meski hidup di tengah himpitan ekonomi, kehidupan keluarga beranggotakan lima orang itu nyatanya tetap harmonis dan rukun. Sebuah gambaran keluarga ideal yang banyak diidam-idamkan masyarakat kala itu.
Mungkin gambaran seperti itu yang terlintas di benak Netty Prasetiyani dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sodik Mudjahid dari Gerindra dan Ali Taher dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) saat mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga di parlemen.
Merujuk pada pasal 4 RUU Ketahanan Keluarga, disebutkan bahwa beleid ini bertujuan untuk menciptakan keluarga tangguh yang mampu mengatasi persoalan internal keluarganya secara mandiri. Selain itu, RUU ini juga diharapkan dapat membuat keluarga-keluarga Indonesia mampu menangkal gangguan yang berasal dari luar dengan berpegang teguh pada prinsip keluarga dan nilai-nilai keluarga.
Namun sayangnya kenyataan tak selalu seindah jalan cerita sinetron. Bukannya digandrungi masyarakat layaknya sinema Keluarga Cemara, RUU Ketahanan Keluarga justru mendapatkan sentimen minor dari publik. Hal ini lantaran sejumlah muatan pasal dalam RUU tersebut dianggap kelewat menyentuh ranah privat.
Katakanlah pasal 24 dan 25 RUU tersebut yang mengatur hubungan suami-istri hingga ke ranah yang paling pribadi seperti mewajibkan setiap pasangan untuk saling mencintai dan menghormati. Belum lagi ketentuan yang mengatur ihwal tempat tinggal, konfigurasi kamar tidur, hingga orientasi seksual juga tak luput diatur dalam RUU tersebut.
Anggota DPR fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin juga sempat mempertanyakan urgensi dari RUU Ketahanan Keluarga. Dia menilai ketentuan-ketentuan yang diatur di dalamnya terlalu berlebihan untuk dimuat dalam Undang-undang (UU).
Di sisi lain, Netty selaku pengusul membantah RUU ini menyentuh ranah privat. Sebaliknya, Ia berdalih beleid ini hanya ingin memastikan kehadiran negara dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat bahkan dari sejak di hulu, yaitu keluarga.
Namun terlepas dari berbagai pro dan kontranya, RUU ini nyatanya tetap masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Awal pekan ini, RUU tersebut sudah mulai dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Lantas yang menjadi pertanyaannya, perlukah RUU Ketahanan Keluarga disahkan menjadi UU?
Hukum dan Moralitas
Sejak draf RUU Ketahanan Keluarga bocor ke publik sekitar April lalu, polemik yang menyertainya terus bergulir hingga kini. Sejumlah elemen masyarakat, termasuk kalangan akademisi menilai RUU tersebut terlalu banyak mengurus persoalan etika dan moral.
Guru Besar dari Universitas Indonesia (UI) Sulistyowati Irianto misalnya. Ia menilai etika dan moral seharusnya dibedakan dari ranah hukum. Sebab, etika dan moral dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan masyarakat, bukan negara.
Munculnya produk-produk hukum yang dianggap terlalu berlebihan mengatur moral dan etika masyarakat sebenarnya bukan baru kali ini saja terjadi. Pada medio 2019 lalu, RUU KUHP yang menjadi salah satu pemantik demonstrasi besar-besaran mahasiswa nyatanya juga berkutat pada polemik yang tak jauh berbeda dengan RUU Ketahanan Keluarga.
Antropolog dari School of Languages and Social Sciences di Auckland University of Technology, Sharyn Davies menyebut moralitas memang telah lama menjadi problematika di Indonesia. Ia menilai moralitas selalu berkaitan dengan kekuasaan lantaran kerap dijadikan alat untuk mengklaim legitimasi politik.
Sharyn mengisitilahkan fenomena ini dengan adagium ‘moralitas populis’. Populisme merupakan gagasan bahwa masyarakat terbagi ke dalam dua golongan, yang baik dan buruk. Lalu dalam konteks Indonesia, pembelahan itu terbagi menjadi yang bermoral dan yang tidak bermoral.
Populisme moralitas, lanjut Sharyn, muncul bersamaan dengan para pemimpin populis. Lalu karena kalangan ini membutuhkan musuh, dalam konteks di Indonesia musuh mereka bukanlah imigran atau pendatang seperti di Amerika Serikat (AS), melainkan orang-orang yang tidak bermoral.
Lalu bagaimana nilai-nilai moral di masyarakat ini bisa tercermin dalam RUU seperti RKUHP maupun RUU Ketahanan Keluarga? Untuk menjawabnya, kita dapat menyimak kembali teori dasar tentang hukum dan moralitas yang pernah dikemukakan oleh filsuf asal Inggris, Herbert Lionel Adolphus Hart.
Meski etika dan moral harus dibedakan sebagaimana diungkapkan Sulistyowati, namun bukan berarti keduanya tak memiliki relasi sama sekali. Hart menyebut bahwa hukum dan moralitas memiliki hubungan timbal balik.
Moralitas suatu masyarakat mempengaruhi produk hukum dan hukum memengaruhi pandangan baik dan buruk masyarakat tersebut. Bahkan Hart menyebut bahwa tak seorang positivis pun menolak adanya fakta bahwa pandangan moral dapat masuk ke dalam hukum.
Meskipun demikian, Hart tetap menolak kesimpulan yang menyebut bahwa relasi hukum dan moral bersifat mutlak. Ada tiga argumen yang dikemukakan Hart untuk menyanggah hal tersebut. Pertama, standar-standar yang menjadi acuan bagaimana hukum seharusnya, kenyataannya tidak semua diikuti.
Kedua, hukum yang seharusnya tidak mutlak mengacu pada moralitas. Ketiga, pendapat mengenai kemutlakan hubungan hukum dan moralitas juga berisi usulan untuk memperluas arti hukum hingga mencakup standar, prinsip-prinsip, dan kebijakan sosial.
Lalu berangkat dari pemikiran-pemikiran ini, maka dapat dikatakan bahwa lahirnya RUU yang terlalu banyak menyentuh ranah privat merupakan pengejawantahan dari nilai moral yang berkembang di masyarakat. Dalam konteks Indonesia, disparitas antara mereka yang dianggap bermoral dan mereka yang dianggap tidak bermoral merupakan nilai yang terus hidup dalam tatanan masyarakat.
Kemudian, oleh karena moralitas dan hukum itu memiliki hubungan timbal balik, maka menjadi wajar ketika moralitas yang selama ini dianut masyarakat tercermin ke dalam produk hukum seperti RKUHP maupun RUU Ketahanan Keluarga. Lalu apakah ini artinya aturan hukum seperti RUU Ketahanan Keluarga memang dibutuhkan masyarakat?
Tak Diperlukan?
Untuk dapat menilai apakah RUU Ketahanan keluarga perlu untuk disahkan atau tidak, maka perlu dilihat sejumlah muatan yang diatur dalam pasal tersebut. Selain polemik yang dianggap terlalu menyentuh ranah pribadi, sejumlah ketentuan dalam RUU ini faktanya telah menjadi moral yang memang sudah ada di tengah-tengah masyarakat.
Misalnya dalam Pasal 24 yang di antaranya mewajibkan setiap suami-istri saling mencintai dan menghormati. Logika bahwa suami-istri merupakan pasangan yang saling mencintai dan saling menghormati merupakan moralitas yang memang sudah secara umum dipahami masyarakat. Selain itu, objek dalam ketentuan ini, yakni ‘cinta’ dan ‘hormat’ merupakan wujud dari perasaan manusia yang akan sangat sulit ditakar dengan tolak ukur yang jelas
Hal ini juga berlaku untuk ketentuan dalam Pasal 25 yang mengatur tentang urusan rumah tangga, menjaga keutuhan keluarga, serta pemenuhan hak-hak kepada anggota keluarga. Nilai-nilai ini juga merupakan moralitas yang memang sudah ada di tengah-tengah masyarakat sejak dulu kala.
Meski Hart berpendapat bahwa hukum yang baik harus sejalan dengan moralitas. Namun Ia juga memberikan catatan bahwa jika moralitas yang dimaksud adalah nilai yang sudah berlaku dalam sebuah masyarakat, maka sistem hukum tidak perlu menyesuaikan sepenuhnya dengan moralitas tersebut.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka dapat dikatakan RUU Ketahanan Keluarga tidak perlu disahkan lantaran aturannya lebih banyak memuat persoalan moral yang memang sudah hidup di masyarakat. Persoalan moral ini tidaklah perlu diatur lagi dalam ranah hukum formal.
Senada dengan pemikiran Hart, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari juga menilai bahwa RUU Ketahanan Keluarga tak diperlukan lantaran moralitas seperti kewajiban anak patuh kepada orangtua, kewajiban sebagai suami dan istri merupakan persoalan yang masuk dalam ranah etika dan sudah hidup sebagai norma masyarakat dalam waktu yang lama. Oleh karenanya, pengaturan dalam suatu produk hukum tak memiliki urgensinya.
Sebaliknya, hal yang perlu diatur oleh negara adalah persoalan yang berkaitan dengan khalayak umum dan kepentingan publik. Pada akhirnya, RUU yang terlalu fokus mengatur persoalan moralitas dan ranah pribadi memang tak terlalu dibutuhkan publik. Parlemen dan pemerintah sebaiknya fokus menjalankan fungsi-fungsi legislasinya untuk membuat aturan-aturan yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Meski begitu, RUU ini nyatanya masih terus berproses di parlemen. Bagaimana kelanjutan pembahasannya? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
â–º Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.