Di tengah meningkatnya ketidakpercayaan publik kepada partai politik yang sangat erat dikaitkan dengan kasus korupsi, muncul usulan untuk melibatkan KPK dalam proses internal partai politik.
PinterPolitik.com
“The worst disease in the world today is corruption. And there is a cure: transparency”
-Bono, vokalis grup musik U2-
Politisi Golkar Agung Laksono melontarkan usulan untuk mengundang KPK dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar hari Senin (18/12). Usulan yang sama dilemparkan oleh Syahrul Yasin Limpo, politisi Golkar yang juga Gubernur Sulawesi Selatan.
Usulan tersebut sepertinya timbul melihat kasus sang Ketua Umum Setya Novanto, yang tak hanya memalukan dirinya sendiri, tapi juga sukses menerjun-bebaskan elektabilitas Golkar. Agung menyatakan, gagasan diundangnya KPK ke dalam Munaslub didasarkan pada keinginan untuk membersihkan Golkar dari praktik politik uang, termasuk dalam proses pemilihan ketua umum.
Mhuantaaabss..undang @KPK_RI .. say no to money politics
— dhadad (@dhadad_gani) December 12, 2017
Sejauh ini, KPK memang seperti lembaga superpower yang memiliki hampir seluruh wewenang untuk memeriksa siapapun pejabat negara. Mulai dari kepala desa sampai presiden, tidak ada satu pun yang dapat luput dari KPK bila terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Garis bawah KPK adalah satu: menyelamatkan anggaran negara.
Namun, bagaimana dengan partai politik? Melalui UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011, telah diatur bahwa terdapat tiga sumber pendanaan partai politik. Sumber tersebut adalah iuran anggota, sumbangan individu/badan usaha, serta anggaran negara kepada parpol. Berdasarkan wewenang KPK, jelas ada potensi korupsi oleh parpol yang harus diawasi oleh KPK karena ada sumber dana dari anggaran negara.
Lantas, apakah persoalan terkait anggaran negara tersebut menjadi ‘endemik’ bagi partai politik, ataukah sumber keuangan lainnya? Apakah peran KPK masuk ke dalam urusan internal partai—seperti Munaslub—sesuai dengan aturan hukum yang berlaku?
Korupsi Kekuasaan: Risiko Terbesar Parpol
Berbicara soal partai politik selalu seperti berbicara soal korupsi, kolusi, atau nepotisme. Publik Indonesia hampir tak tahu bagaimana partai politik bekerja bagi negara, apalagi bagi mereka. (Baca juga: Fahri Hamzah dan Pembelaan DPR)
Akan tetapi, gelagat tersebut ternyata tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. Data dari Transparency International tahun 2014 menyebut, enam dari sepuluh negara mengalami masalah korupsi yang akut di dalam partai politiknya. Ini juga menegaskan temuan Transparency International setahun sebelumnya, tentang persepsi negatif masyarakat terhadap partai politik.
Ya, ternyata korupsi di partai politik tak hanya menjadi persepsi masyarakat saja—seperti laporan Litbang Kompas—tetapi juga suatu kondisi obyektif di lapangan. Apa yang menyebabkan demikian?
Ada dua pandangan umum yang menjadi alasan relasi kuat antara partai politik dan korupsi. Pertama adalah pandangan strukturalis, dan kedua adalah pandangan kulturalis. Pandangan strukturalis melihat bagaimana sistem dan struktur mengharuskan partai politik mendapatkan kekuasaan-kekuasaan dengan cara di luar aturan.
Kasus Anas Urbaningrum yang melakukan korupsi proyek e-KTP untuk mendapatkan dana kampanye dari Andi Narogong adalah contohnya. Partai dan politisi di dalamnya harus mencari modal uang agar mendapatkan jabatan politik. Hal ini menjadikan partai maupun politisinya tersandera oleh kepentingan swasta setelah sukses mendapatkan kekuasaan.
Politisi PDIP, Pramono Anung melihat fenomena ini memang terjadi akibat adanya sistem kepartaian dan pemilihan umum yang menyuburkan korupsi. Sistem mensyaratkan pemenang adalah pemilik modal uang. Penyebabnya, mulai dari menang di internal partai sendiri dengan sistem proporsional terbuka, maupun menang di hadapan konstituen dengan metode politik uang (baca: serangan fajar), semua menuntut uang.
Tak heran, Pemilu 2009 yang menghasilkan 70 persen politisi baru, menurut Anung, mayoritas berasal dari kalangan pebisnis. Dengan menjadikan pengusaha sebagai politisi partainya, menurut pengamat politik Boni Hargens, maka partai mendapat keuntungan finansial. Sementara bagi politisi yang tak berduit, berburu rente selama menjabat mau tidak mau adalah tuntutan struktur yang menaunginya.
Sementara itu, pandangan kulturalis melihat korupsi sebagai budaya atau kebiasaan hidup yang lestari terus menerus dan selalu dianggap wajar. Kewajaran ini menghasilkan penyimpangan moral: bahwa seorang pejabat memahami korupsi sebagai pelanggaran moral, tapi tetap saja melakukannya.
Jonathan Hopkin juga menyebut bahwa partai politik sebagai collective action, kumpulan dari politisi yang secara bersama-sama memberi ‘modal’ berupa iuran, dengan harapan adanya insentif, baik materil maupun imateril di masa depan. Budaya timbal balik atas apa yang diberikan dalam politik, kemudian menjadikan si pemberi modal mendapatkan jabatan yang sepadan. Semakin besar sumbangsih dana, semakin tinggi jabatan yang akan didapat.
Budaya ini telah mengakar sejak adanya sistem patron-klien di era Orde Baru. Pada era Orde Baru, korupsi terbesar dilakukan oleh patron terbesar, Presiden Soeharto. Bawahan ataupun kliennya turut mengambil bagian namun dengan porsi jabatan atau kedekatannya dengan Soeharto.
Kemudian, memasuki era reformasi, nyatanya budaya tersebut tidak hilang di tengah pejabat kita. Tetap ada pola pikir bahwa kekuasaan adalah jalan memperkaya diri. Terlebih lagi, di era desentralisasi, kekuasaan yang menyebar ke daerah-daerah, ikut pula menyebarkan korupsi. Sehingga, tak lagi kepala negara sebagai ‘politisi tertinggi’ yang melakukan ‘korupsi tertinggi’, namun partai politik dengan politisi kelas kabupaten saja pun dapat melakukan korupsi.
Ya, Mochtar Lubis mungkin ada benarnya. Manusia Indonesia sudah dari sananya berbudaya instan dalam meraih segala hal. Jabatan dan uang ingin diraih dengan cepat, korupsi pun jadi jalan pintas.
Mengawasi Dana Parpol
Usulan mengenai kenaikan dana parpol terlontar dari pihak KPK menyoal sikap pejabat yang kerap menjustifikasi korupsi sebagai ‘ongkos politik’. Berangkat dari usulan KPK tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani kemudian menerbitkan Surat Menteri Keuangan Nomor 277/MK.02/2017 yang mengesahkan dana parpol sebesar Rp 1000 per suara yang sah, naik hampir sepuluh kali lipat dari Rp 108 per suara sah. Anggaran tersebut juga telah masuk dalam APBN-P 2017.
Metode memberi ‘subsidi’ kepada parpol seperti ini adalah hal yang umum di negara demokratis. Gagasannya, dana parpol ini lahir dengan semangat untuk menghapus ‘sponsor’ swasta kepada parpol, dengan memindahkan beban pendanaan kampanye, operasional, dan lain-lain kepada negara. Tentu, ada anggaran negara yang dipertaruhkan di sini, utamnya terhadap integritas dan transparansi partai politik.
Akan tetapi, bercermin kepada Pemilu 2014, menurut Direktur Program Transparency International Indonesia (TII) Ibrahim Fahmi Badoh, KPU dan Bawaslu sendiri belum bertindak tegas dalam menyikapi laporan keuangan partai politik. KPU dan Bawaslu hanya mengimbau agar partai menyerahkan laporan keuangan, yang kemudian diserahkan oleh partai secara formalitas dan seadanya saja.
Ini semua menjadi pekerjaan rumah KPK di kemudian hari. Banyak kasus-kasus korupsi yang bermuara kepada kepentingan partai dan orang-orang di belakangnya. Sehingga, siapapun yang menjabat dan di manapun posisinya, potensi korupsi dapat terjadi karena ada motif kepentingan partai di belakangnya.
Dalam pendanaan partai melalui anggaran negara, KPK jelas harus berperan. Logika ‘uang negara’ yang harus diamankan oleh KPK dapat berjalan. KPK harus mampu mengawasi dana parpol yang bergulir setiap tahunnya terlebih dahulu.
Sementara itu, menghadapi aliran bantuan dari swasta—yang tetap tak dapat dihindari—KPK tidak dapat menggunakan logika ‘uang negara’ tersebut. Mekanisme transparansi akan dibebankan kepada KPU atau Bawaslu, sebagai penyelenggara ‘perlombaan’ partai politik dan momentum partai menggalang bantuan dana.
Sementara itu, intervensi yang dilakukan KPK tidak dapat terlalu jauh kepada, misalnya, aktor-aktor yang mendanai sebuah parpol. Terhadapnya, KPK tentu hanya bisa bertindak preventif, misalnya dengan memberi pendidikan antikorupsi maupun membentuk sistem mandiri antikorupsi di internal partai. Hal yang sama yang dilakukan KPK di lembaga-lembaga pemerintah.
Dengan sistem yang baik yang didorong oleh KPK di internal partai, sistem yang menuntut korupsi akan semakin tergerus. Dengan sendirinya upaya ini akan menghapus budaya korupsi partai politik di kemudian hari.
Tentang KPK, Parpol dan Swasta
KPK dan partai politik memang terpisah jauh secara institusional. Yang pertama adalah komisi yang dibuat pemerintah khusus untuk urusan korupsi. Sementara yang kedua adalah badan non-pemerintah, namun bekerja untuk ‘merebut’ pemerintahan, dan ujungnya kerap melakukan korupsi.
Tentu masih menjadi perdebatan, tentang perlu atau tidaknya KPK mengawasi parpol sampai lini terdalamnya. Ada dilema, bahwa bila pendanaan dari swasta tidak diawasi, tetap akan ada korupsi jabatan di kemudian hari (seperti memfasilitasi kepentingan swasta di dalam parlemen, dan lain sebagainya). Namun, daya dan aturan KPK tidak didesain untuk mengawasi uang-uang swasta.
Sehingga, upaya primer dan yang terbaik yang dapat dilakukan KPK adalah mengawasi pejabat-pejabat partai politik di dalam pemerintahan. Alasannya karena merekalah yang akan menjadi ‘sapi perah’ dan tangan korupsi partai politik. Bila terus sukses menciptakan sistem yang mencegah korupsi (baca: transparan) di seluruh badan pemerintah, pejabat partai tak akan mampu menggerogoti uang negara untuk kepentingan partai sepihak.
Pada akhirnya, bantuan swasta yang turut menyokong partai, tidak akan merugikan negara. Swasta akan turut dipaksa ‘bermain’ dalam ranah profesional yang jujur, misalnya dalam kompetisi tender proyek. Dengan sistem yang baik, tidak akan ada politisi yang bisa menjadi tangan swasta dalam pemerintahan.
Begitu pula dalam Munsalub Golkar. KPK paling tidak hanya berkapasitas melakukan screening para calon ketum untuk melihat potensi korupsi politiknya di kemudian hari. KPK tidak dapat menindak, namun hanya memberi rekomendasi.
Dengan demikian, KPK memang tidak dapat menindak swasta bila mereka tidak merugikan keuangan negara. KPK hanya dapat mengawasi dan menindak pejabat negara dari partai politik, untuk menghindari tumpangan swasta dalam perumusan kebijakan negara.
Melakukan pencegahan dengan turut hadir dalam Munaslub, tentu boleh-boleh saja. (R17)