Garis Besar Haluan Negara (GBHN) diwacanakan akan dihidupkan kembali guna menciptakan kesinambungan perencanaan dan pembangunan negara. Apakah urgensi dari GBHN tersebut?
PinterPolitik.com
“We all get on and off in timely order” – Wale, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Dinamika politik Indonesia kini bisa dibilang menunjukkan berbagai kejutannya. Setelah Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto bertarung dalam Pilpres 2019, keduanya justru terlihat akrab satu sama lain dalam beberapa kesempatan.
Banyak yang bilang keakraban tersebut menunjukkan adanya kemungkinan pembagian posisi-posisi strategis kabinet Jokowi 2.0. Tentunya, kemungkinan tersebut menimbulkan reaksi beragam dari partai-partai politik lain, seperti Nasdem dan PKB.
Belum lagi, PDIP berencana mengusulkan paket pimpinan MPR yang turut melibatkan Gerindra. Pucuk kekuasaan MPR tersebut dinilai menjadi bagian dari deal politik antara Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo.
Belum selesai persoalan penentuan jatah posisi-posisi tersebut, partai-partai politik kini mulai berfokus pada wacana lain. Salah satu wacana yang digulirkan adalah menghidupkan kembali fungsi dokumen Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Kembali ke UUD 45 model Orde Baru, membuka peluang ke dalam (1) rezim yg sentralistis, (2) tak jelasnya penghargaan kepada hak-hak asasi, (3) masuknya unsur rasialisme, (4), tak adanya batasan masa jabatan presiden, (5) berkurangnya hak rakyat memilih. #GBHN
— goenawan mohamad (@gm_gm) August 13, 2019
Agar kesinambungan pembangunan tidak kandas di tengah perjalanan seperti hubungan Sebastian-Mia di film La La Land, GBHN mungkin diperlukan. Pasalnya, GBHN nantinya akan menjadi acuan bagi arah pembangunan negara di masa mendatang.
Pertanyaannya, apa sebenarnya GBHN tersebut? Perlukah sebenarnya GBHN tersebut diberlakukan kembali? Lalu, apa dampak dari pemberlakuan tersebut?
Urgensi GBHN
Rencana-rencana pembangunan seperti GBHN sebenarnya ditujukan untuk menjadi panduan bagi arah pelaksanaan dan pembangunan negara. Di negara-negara lain, panduan-panduan seperti ini disebut sebagai directive principles.
India misalnya, memiliki directive principles yang dimasukkan dalam konstitusinya. Prinsip-prinsip tersebut dituangkan guna menjadi panduan bagi pelaksanaan kebijakan kerakyatan untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare state).
Prinsip-prinsip tersebut dituangkan ke dalam konstitusi – sehingga membuat lembaga pemerintahan manapun memiliki tanggung jawab politik guna mengikuti panduan itu. Namun, prinsip-prinsip tersebut hanya mengandung poin-poin yang transformatif tanpa mengharuskan dilaksanakannya kebijakan yang nyata.
Tarunabh Khaitan dalam tulisannya yang berjudul Directive Principles and the Expressive Accommodation of Ideological Dissenters menjelaskan bahwa, meski prinsip-prinsip tersebut ditujukan sebagai panduan kebijakan, poin-poin yang ada di dalamnya masih bersifat terlalu luas – membuat implementasinya tidak dilaksanakan secara pasti bagi pengambil kebijakan.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia memerlukan acuan pembangunan serupa?
Bila ditilik kembali, UUD 1945 yang telah diamendemen sebenarnya telah memiliki unsur directive principles – di mana tertuang dalam Pasal 33 yang menginstruksi negara untuk memanfaatkan sumber-sumber ekonomi bagi kemakmuran rakyat. GBHN pun disebut-sebut dapat menjadi pemenuhan prinsip-prinsip tersebut.
Di sisi lain, sebenarnya, dokumen acuan pembangunan Indonesia tidak lah hanya sebatas bentuk directive principles. Sistem perencanaan Indonesia telah mencakup perencanaan lebih menyeluruh yang diatur dalam perundang-undangan.
Perubahan ketiga dari UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 2001 memang meniadakan dokumen formal GBHN dalam pelaksanaan kenegaraan. Namun, sebenarnya, fungsi arah perencanaan seperti GBHN tidaklah sepenuhnya hilang.
Justru, GBHN telah digantikan dengan adanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004. Share on XJustru, GBHN digantikan oleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004. RPJP ini disusun sebagai rencana pembangunan nasional dalam jangka 20 tahun – dilengkapi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam periode lima tahunan.
Seperti GBHN, RPJM juga disusun guna menentukan rencana pembangunan dalam periode waktu lima tahun dengan mengacu pada RPJP. Bahkan bila dibandingkan dengan GBHN, sistem perencanaan yang diatur oleh UU No. 25/2004 telah menerapkan strategi perencanaan dalam jangka panjang melalui RPJP.
Di beberapa negara seperti Australia dan Amerika Serikat (AS), perencanaan dengan model GBHN justru tidak digunakan. Di AS misalnya, kebijakan-kebijakan pembangunan lebih didasarkan pada wilayah negara bagian dan isu yang dibutuhkan, seperti kebijakan New Deal pada tahun 1933-1936.
Di Australia, kerangka perencanaan pembangunan juga lebih diterapkan melalui peraturan perundang-undangan. Di wilayah Western Australia misalnya, perencanaan pembangunan dilakukan mengacu pada Planning and Development Act 2005.
Lantas, bila Indonesia telah memiliki sistem pembangunan jangka panjang berupa RPJP – serta bila berkaca pada kasus Australia dan AS, mengapa wacana kembalinya GBHN tetap digulirkan oleh MPR dan beberapa partai politik?
Konsekuensi Politik
Di Indonesia, GBHN pada mulanya menjadi wewenang MPR untuk disusun dan diberlakukan olehnya. Kembalinya wewenang tersebut bisa jadi memiliki konsekuensi politik tertentu.
Fungsi GBHN sebenarnya telah ada sejak era pemerintahan Soekarno. Dokumen perencanaan pembangunan tersebut pada awalnya menjadi tugas Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) – cikal bakal lembaga legislatif di Indonesia.
Namun, GBHN sendiri baru tersusun secara detail pada era Orde Baru di bawah Soeharto. Acuan pembangunan pada era tersebut banyak didasarkan pada nilai-nilai ekonomi kerakyatan dan ekonomi Pancasila.
Setelah fungsinya dihilangkan pada era Reformasi, terdapat rencana bahwa GBHN akan kembali digulirkan. Meski belum dapat dipastikan cara bekerjanya, bila mengacu pada versi UUD 1945 yang belum diamendemen, adanya GBHN turut disertai dengan supremasi lembaga MPR – berwenang menyiapkan GBHN setiap lima tahun.
Mengacu pada Pasal 1 UUD 1945 sebelum amendemen, MPR menjadi lembaga perwujudan kedaulatan rakyat – membuatnya menjadi lembaga negara berkedudukan tertinggi. Kedudukan tersebut pun luntur dengan dilakukannya amendemen ketiga pada tahun 2001.
Bila melihat pada UUD 1945 sebelum amendemen, kembali berlakunya GBHN disinyalir dapat mengembalikan kekuasaan tertinggi pada MPR. Dosen hukum Bivitri Susanti dalam tulisannya di Indonesia at Melbourne menjelaskan bahwa kembalinya GBHN berpotensi membuat presiden harus bertanggung jawab kepada MPR karena sifat formalnya sebagai mandat.
Model perencanaan GBHN ini boleh jadi mirip dengan model perencanaan lima tahunan Tiongkok, Five-Year Plan. Rencana pembangunan lima tahunan ala negara tersebut dimulai sejak tahun 1953 – setelah Mao Zedong meninggal dunia.
Pembangunan lima tahunan tersebut tersusun secara detail dengan menyesuaikan kebutuhan pembangunan terkini. Penyusunan rencana tersebut melibatkan anggota-anggota pemerintahan hingga Partai Komunis Tiongkok.
Dengan adanya peran partai tersebut, arah pembangunan turut menjadi sentralistik – menjadikan gagasan arah pembangunan terpusat. Uniknya, penyusunan tersebut juga harus didasarkan pada persetujuan Komite Pusat Partai Komunis Tiongkok yang berisikan pimpinan-pimpinan tertinggi partai tersebut.
Lantas, bagaimana dengan penyusunan GBHN di Indonesia?
Berbeda dengan GBHN, penyusunan RPJP dan RPJMN lebih banyak ditentukan oleh lembaga eksekutif. Dalam UU No. 25/2004, ditentukan bahwa menteri-menteri terkait memiliki wewenang untuk menyiapkan susunan perencanaan tersebut – membuat lembaga legislatif tidak memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah pembangunan.
Bila pemberlakuan GBHN berpotensi menghidupkan peran MPR dalam penentuan rencana pembangunan, bukan tidak mungkin partai politik akan lebih leluasa menentukan arah pemerintahan. Masalahnya adalah partai-partai politik di Indonesia bisa dibilang lebih banyak dipengaruhi oleh elite dan oligarki politik sendiri.
Yang menjadi masalah adalah, partai-partai tersebut kini tengah memperebutkan posisi pimpinan MPR. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa partai politik memang memiliki agenda spesifik terkait kembalinya GBHN di engeri ini.
Mungkin, seperti di Tiongkok, arah pembangunan yang disusun melalui GBHN akan lebih banyak dipengaruhi oleh pimpinan-pimpinan partai politik. Dengan begitu, kebijakan eksekutif – seperti Presiden Jokowi – akan lebih banyak dipengaruhi oleh dorongan dari partai politik.
Meski ada kemungkinan tersebut, gambaran di atas belum pasti akan terjadi. Yang jelas, GBHN bukanlah urgensi utama bagi pembangunan Indonesia – mengingat telah terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai RPJP dan RPJMN.
Boleh jadi, pihak-pihak yang mendorong wacana GBHN memiliki pandangan yang mirip dengan lirik Wale di awal tulisan. Pengaruh politiknya turut putus-nyambung dalam periode waktu tertentu, seperti dengan pergantian kepemimpinan eksekutif. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Mari lawan polusi udara Jakarta melalui tulisanmu. Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.