Progres perusahaan-perusahaan bioteknologi yang didukung Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok semakin terlihat menonjol dalam penemuan vaksin Covid-19. Namun apakah “perlombaan” dua kekuatan berbeda kutub ini akan berdampak positif terhadap pandemi Covid-19 itu sendiri atau justru sebaliknya?
PinterPolitik.com
Esensi pernyataan sesungguhnya dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk berdamai dengan virus Corona (Covid-19) sama sekali tidak keliru ketika dilatarbelakangi fakta bahwa vaksin bagi mikroorganisme parasit tersebut yang belum juga ditemukan.
Apapun reaksi publik serta tanggapan klarifikasi setelahnya tetap tidak mengubah realita bahwa nyatanya seluruh dunia saat ini seolah bergantung pada seutas harapan yang tipis. Yakni harapan akan keberadaan sebuah “ramuan kebal” Covid-19 di tengah semakin luluh lantahnya berbagai aspek, khususnya perekonomian.
Akan tetapi, harapan itu sepertinya masih harus dipendam paling tidak selama 12 hingga 18 bulan mendatang. Paling tidak, jangka waktu tersebut adalah yang paling masuk akal menurut Ketua Global Outbreak Alert and Response Network, World Health Organization (WHO), Dale Fisher bagi sebuah vaksin untuk memadai secara uji klinis.
Periode tersebut bahkan belum termasuk produksi dan distribusi vaksin serta kemungkinan mutasi virus yang berpotensi membuat efektivitas vaksin berkurang. Hipotesa empirik ini setidaknya mau tidak mau harus dijadikan variabel proyeksi langkah kebijakan sebuah negara selama mengarungi pandemi Covid-19 ini.
Namun di sisi yang berbeda, cahaya optimisme terus berupaya “dinyalakan” dari laboratorium perusahaan-perusahaan bioteknologi pembuat vaksin Covid-19. Berbagai produsen vaksin seolah berlomba menjadi yang tercepat dengan riset dan uji klinis yang terus dilakukan.
Hal yang kemudian menjadi menarik ialah bahwa mayoritas produsen vaksin yang cukup progresif sampai saat ini berasal dari Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, dua kutub yang telah diketahui terlibat dalam berbagai tensi politik sebelum dan selama pandemi Covid-19.
Dari sisi Tiongkok, terdapat perusahaan bioteknologi Sinovac Biotech Ltd., Cansino Biologics Inc., dan Wuhan Institute of Biological Products yang memiliki progres terdepan dalam menyediakan vaksin Covid-19 sampai saat ini.
Sementara Pfizer, Moderna Therapeutics, Novavax Inc., dan Johnson & Johnson memperkuat squad negeri Paman Sam dalam menemukan vaksin virus yang bernama resmi SARS-CoV-2 tersebut.
Presiden AS, Donald Trump, yang sebelumnya acapkali menuduh Tiongkok sebagai biang keladi pandemi, juga telah memberikan pernyataan ambisius bahwa negaranya siap dengan 300 juta dosis vaksin pada akhir 2020. Sementara sebelumnya, Tiongkok meyakini kesiapan vaksin Covid-19 pada September 2020 yang khusus akan digunakan dalam keadaan darurat.
Sampai di titik ini, agaknya terdapat kontradiksi signifikan di antara estimasi WHO sebelumnya dengan dinamika percepatan penemuan vaksin yang dilakukan AS dan Tiongkok. Lantas akankah harapan negara-negara di dunia akan keberadaan vaksin yang dikaitkan dengan intrik perlombaan vaksin antara AS dan Tiongkok ini akan berdampak baik bagi meredanya pandemi atau justru akan “melestarikan”nya?
Persaingan Pasar Vaksin Covid-19
Jika mengacu pada kesan adanya perlombaan antara AS dan Tiongkok untuk menjadi siapa yang paling cepat menyediakan vaksin Covid-19, tentu hal tersebut lekat pula dengan atmosfer persaingan pasar.
Meskipun dengan berbagai tendensi ketidakpastian akan sifat serta transmisi virus sampai sat ini, vaksin Covid-19 tetap menjadi komoditi rasional yang paling dibutuhkan, nyaris oleh seluruh negara di dunia yang terdampak pandemi.
Nick Godfrey dalam sebuah publikasi berjudul “Why is Competition Important for Growth and Poverty Reduction?” menyebutkan bahwa adanya kompetisi atau persaingan dalam pasar akan berdampak positif bagi peningkatan produktivitas, efisiensi produk dan harga, serta peningkatan kualitas sebuah komoditi.
Kutipan Godfrey, yang berakar dari teori klasik persaingan pasar dalam “The Wealth of Nations” karya Adam Smith, tersebut dinilai memberikan hipotesa prospek yang baik atas perlombaan vaksin Covid-19 yang didominasi perusahaan biotekonologi AS dan Tiongkok.
Selain terobosan percepatan ketersediaan vaksin Covid-19 di pasar, persaingan ini juga agaknya akan memberikan variasi opsi bagi negara-negara di dunia yang belakangan diketahui memiliki kasus-kasus dengan karakteristik atau strain virus yang berbeda.
Lebih jauh, perlombaan yang menghasilkan kandidat vaksin Covid-19 dengan kuantitas bervariasi ini, diprediksi akan memperkaya referensi dan basis penelitian bagi bidang keilmuan virologi dan epidemiologi bagi tantangan wabah di masa yang akan datang.
Namun demikian, berbagai prospek cerah perlombaan vaksin antara AS dan Tiongkok tersebut sepertinya memiliki cela, yakni yang terkait dengan aspek nilai moral ideal. Isu perilaku yang berlawanan dengan etika atau unethical behaviour menjadi sorotan tersendiri dalam publikasi Carmen Nobel berjudul “When Business Competition Harms Society”.
Nobel menggarisbawahi tiga variabel antara lain terkait perbedaan perspektif, keuntungan jangka pendek, serta kepentingan bersifat politis yang menjadi pemicu unethical behaviour dalam sebuah persaingan pemenuhan kebutuhan pasar dalam aspek apapun.
Ragam hal ini pula yang sesungguhnya menjadi kekhawatiran tersendiri terhadap negara-negara di dunia atas hasrat dan keinginan besar mereka terhadap vaksin Covid-19 demi pulihnya keterpurukan multi aspek akibat pandemi.
Ambisi untuk segera memenuhi kebutuhan pasar dengan apapun motif di baliknya, dinilai akan memicu prematurnya riset vaksin Covid-19. Hal ini misalnya terlihat dari riset yang dilakukan oleh salah satu perusahaan bioteknologi AS, Moderna, yang mendapatkan otorisasi darurat dari Badan Federal Obat dan Makanan (FDA) untuk melakukan akselerasi uji klinis manusia dalam waktu singkat.
Berbagai indikasi dan temuan awal dari implikasi negatif perlombaan vaksin Covid-19 antara AS dan Tiongkok tersebut seolah menguak potensi merugikan yang berbahaya. Terlebih jika eskalasi rivalitas dan kepentingan politik antara dua raksasa era kontemporer yang sangat rentan ini meningkat ke level dengan tensi yang lebih panas.
Ajang Proxy Competition?
Berkaca dari masifnya dampak pandemi Covid-19 serta ketidakpastian terkait karakteristik virus yang terus bermutasi di berbagai negara, dapat menjadi peluang tersendiri bagi AS dan Tiongkok untuk memberikan pengaruhnya dalam domain penyediaan vaksin.
Oliver Braganza dalam “Proxyeconomics, the Inevitable Corruption of Proxy-Based Competition” menjelaskan efek negatif dari sebuah konsep persaingan yang dinamakan proxy-based competition.
Dalam konteks ini, Braganza menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan “hegemoni” yang abstrak, orientasi sebuah kompetisi proxy membutuhkan situasi yang memiliki efek merugikan atau detrimental effect pada subjek kepentingannya. Detrimental effect dalam kompetisi berorientasi proxy ini sendiri menjadi sebuah alat evaluasi yang tersembunyi.
Jika mengacu kepada poin Braganza di atas, perlombaan vaksin Covid-19 antara AS dan Tiongkok dinilai sangat berpeluang menjadi ajang proxy-based competition. Indikasi ini dapat publik ketahui dari aspek sponsor utama sekaligus pendana riset perusahaan-perusahaan bioteknologi itu sendiri.
Perusahaan biotekonologi dan lembaga penelitian yang sejauh ini memiliki progres positif pengembangan vaksin Covid-19 dan berasal dari AS dan Tiongkok, diketahui disokong oleh pemerintahnya masing-masing. Johnson & Johnson, Moderna Therapeutics, dan Novavax Inc. jika ditelusuri penyokong utamanya ialah U.S. Department of Health and Human Services (HHS).
Selain itu, dua badan militer AS yang berhubungan dengan senjata biologi, yakni Defense Threat Reduction Agency (DTRA) dan Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) juga terlibat mendukung Inovio Pharmaceuticals.
Sementara di sisi Tiongkok, Cansino Biologics Inc., Sinovac Biotech Ltd., Wuhan Institute of Biological Products masing-masing mendapat dukungan dari Beijing Institute of Biotechnology dan Academy of Military Medical Science.
Namun, jika menengok ke proxy war pada Perang Dingin, selain detrimental effect terdapat pula implikasi positif berupa inovasi luar biasa dari teknologi termutakhir di bidang militer dan non militer.
Akan tetapi, implikasi positif itu sepertinya akan sulit terjadi karena akselerasi pembuatan vaksin oleh perusahaan-perusahaan bioteknologi tersebut kemungkinan besar akan membuat vaksin yang dihasilkan bersifat prematur. Selain itu, pandemi juga dinilai akan menjadi arena unjuk kekuatan yang memperlihatkan unethical behaviour seperti tulisan Nobel sebelumnya.
Dengan isyarat yang cenderung “merugikan” tersebut, tentu diharapkan eskalasi adu kepentingan yang menjelma menjadi skenario proxy-based competition antara AS dan Tiongkok dalam perlombaan vaksin Covid-19 ini tidak terjadi. Dan perlombaan vaksin di antara keduanya diharapkan justru membawa sinergi baru berupa perdamaian.
Tentu kita berharap, alih-alih bersaing, kedua kekuatan besar dunia tersebut dapat menjalin sinergi agar vaksin yang dihasilkan benar-benar berkualitas. Itulah harapan peradaban manusia yang saat ini sedang diuji. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.