HomeNalar PolitikPerjanjian FIR, Jokowi Dipermainkan Singapura?

Perjanjian FIR, Jokowi Dipermainkan Singapura?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja mengumumkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 109 Tahun 2022 tentang Pengesahan Persetujuan Flight Information Region (FIR) Indonesia dan Singapura. Pemerintah anggap ini adalah pencapaian besar, namun benarkah klaim tersebut?


PinterPolitik.com

Pada tanggal 8 September 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan dirinya baru saja meneken Peraturan Presiden (Perpres) 109 Tahun 2022 tentang Pengesahan Persetujuan Flight Information Region (FIR) Indonesia dan Singapura.

FIR ini adalah daerah dengan dimensi tertentu di mana pelayanan informasi penerbangan serta pelayanan navigasi penerbangan diberikan. Perjanjian FIR yang dijalin dengan Singapura mencakup ruang udara di sekitar Kepulauan Riau (Kepri) dan Natuna yang sejak tahun 1946 didelegasikan ke Singapura karena pada saat itu Indonesia belum memiliki teknologi navigasi penerbangan memadai.

Ya, sederhananya Perpres yang baru diteken Jokowi adalah tentang pengembalian kontrol udara wilayah teritorial Indonesia dari Singapura yang sebenarnya sudah diusahakan sejak tahun 1990. Karena itu, pantas bila Jokowi dan pemerintah membuat kabar ini sebagai sebuah kabar yang menggembirakan.

Tapi, apakah benar penandatanganan ini adalah sebuah kesuksesan bagi Indonesia?

Yang menarik dari perjanjian FIR Indonesia-Singapura adalah ternyata disebutkan bahwa masih ada pendelegasian kontrol navigasi udara kepada Singapura di wilayah-wilayah tadi, khususnya dalam ketinggian 0-37.000 kaki, sementara kekuasaan Indonesia hanya dari 37.000 kaki ke atas di Kepri dan Natuna.

Walau menjadi bahan kritikan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa itu tidak akan menjadi masalah karena Singapura masih membutuhkan approach-line ketika ada pesawat yang mau masuk ataupun keluar Singapura.

Kemudian, yang sedikit tertutup dibalik Perpres FIR adalah perjanjian dengan Singapura sebenarnya tidak hanya semata terkait FIR saja. Tetapi berdasarkan pertemuan di Pulau Bintan Januari lalu, terdapat dua perjanjian lagi yang turut akan diratifikasi oleh Indonesia dan Singapura, yakni Perjanjian Ekstradisi dan Defense Cooperation Agreement (DCA), yang juga pantas untuk dikritik masing-masingnya.

Lantas, apakah penekenan Perpres FIR merupakan sebuah pencapaian besar bagi Indonesia, seperti yang dikatakan Jokowi, atau justru ada kekalahan tersembunyi yang tidak ditunjukkan ke publik?

image 36

Sebuah Blunder Diplomasi?

Sebelum kita bahas lebih lanjut, Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura adalah perjanjian yang bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana lintas negara, termasuk koruptor-koruptor Indonesia yang kabur ke Singapura.

Sementara, DCA adalah perjanjian pertahanan Indonesia-Singapura yang berisi sejumlah poin menarik, seperti peluang saling berbagi pengetahuan militer dan intelijen dan latihan militer bersama.

Untuk saat ini, Luhut menyebutkan bahwa Perjanjian Ekstradisi dan DCA Indonesia-Singapura tengah dalam proses ratifikasi di DPR. Tapi, dari mana datangnya Perjanjian Ekstradisi dan DCA tersebut, dan mengapa mereka menjadi hal yang penting dalam persoalan kesepakatan FIR Indonesia-Singapura?

Well, dua perjanjian tersebut sebenarnya sudah lama diperbincangkan, setidaknya sejak 1998, tapi keduanya baru pertama kali disepakati oleh mantan Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2007. Namun sayang, kala itu perjanjian-perjanjian tersebut ditolak dan tidak diratifikasi oleh DPR lantaran banyak yang melihat bahwa DCA akan mengancam kedaulatan Indonesia.

Baca juga :  Flashback Bittersweet Memories Jokowi-PDIP

Nah, ketika Jokowi kembali membahas FIR dengan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong pada Januari lalu, perbincangan tentang Perjanjian Ekstradisi dan DCA ini kembali muncul, dan turut disepakati oleh kedua negara. Akan tetapi, bisa diinterpretasikan bahwa ini sebenarnya merupakan suatu kesalahan diplomasi yang cukup besar. Mengapa?

Pertama, DCA mampu menjawab salah satu keresahan terbesar Singapura dalam aspek pertahanan, yakni kekurangan wilayah untuk instalasi, latihan, dan field-of-view militernya. Namun bagi Indonesia, apa yang kita dapatkan dari DCA mungkin tidak sepadan dengan yang kita berikan pada Singapura.

DCA tersebut memang menyebutkan bahwa akan ada keterbukaan dialog dalam aspek pertahanan dan peluang transfer teknologi, namun Singapura mendapatkan akses aktivitas militer luas yang sebelumnya mungkin belum pernah mereka rasakan. Terlebih lagi, dengan mengizinkan militer Singapura untuk melakukan latihan militer di wilayah Indonesia, Indonesia tampak merelakan risiko ancaman kedaulatan hanya demi mencapai kesepakatan FIR.

Brandon J. Kinne dalam tulisannya Defense Cooperation Agreements and the Emergence of a Global Security Network menilai bahwa meski DCA adalah perjanjian pertahanan yang fleksibel, -karena tidak menuntut negara yang terlibat untuk membela satu sama lain dalam polemik internasional- DCA sesungguhnya adalah salah satu bentuk perjanjian pertahanan yang berbahaya.

Ini karena DCA memiliki keuntungan yang dimiliki pakta pertahanan pada umumnya, yakni berbagi informasi, penggunaan wilayah, dan teknologi, tetapi DCA tidak memiliki “asuransi” yang dimiliki pakta pertahanan konvensional, yakni kekuatan untuk mengikat pihak-pihak yang bersangkutan jika muncul ancaman kedaulatan yang mengancam salah satu negara.

Lalu, Brandon juga menyebutkan tidak ada jaminan bahwa informasi yang didapatkan melalui DCA tidak dieksploitasi hanya untuk kepentingan salah satu negara saja.

Kedua, terkait perjanjian ekstradisi. Pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana mengatakan perjanjian yang disebut tengah diusahakan diratifikasi oleh DPR tersebut sebenarnya tidak menguntungkan Indonesia. Hal tersebut karena besar kemungkinannya para buronan yang diincar melalui Perjanjian Ekstradisi justru sudah kabur terlebih dahulu ketika pertama kali desas-desus perjanjian tersebut dibunyikan.

Terlebih lagi, pengamat pertahanan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, pada Januari lalu sempat mengatakan bahwa Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura hanya berlaku pada kasus-kasus setelah tahun 2004, sementara untuk sebelum itu, tidak termasuk dalam perjanjian.

Jika hal ini masih benar, maka bisa dikatakan bahwa PM Lee sesungguhnya telah melakukan manuver diplomatik yang sangat cerdik. Pertama, karena kita menukar risiko kedaulatan dengan buronan yang mungkin sudah kabur, dan kedua, karena sebagian kasus besar koruptor yang kabur ke Singapura sebenarnya terjadi sebelum tahun 2004. Pada akhirnya, perjanjian yang disepakati dengan Singapura ini berlaku layaknya sebuah kado kosong.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa paket tiga perjanjian Indonesia dan Singapura ini sebenarnya akan berujung pada dua skenario:

Pertama, jika Indonesia meratifikasi, Singapura akan menang, dan Indonesia berpotensi dirugikan (karena pergadaian kedaulatan di DCA demi FIR dan Ekstradisi).

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Kedua, jika tidak meratifikasi, Singapura akan status quo atau tidak berubah kedudukannya, tapi Indonesia berpotensi akan tetap kalah (karena FIR kemungkinan akan dipersulit).  

Padahal, dalam konsep game theory yang disampaikan Neumann dan Morgenstern dalam bukunya Theory of Games and Economic Behaviour, hasil yang seharusnya dikejar dalam perundingan diplomasi adalah antara menang total atau seri. Sementara itu, hasil yang harusnya paling dihindari adalah skenario di mana lawan runding kita tetap memegang bargaining power dan sanggup “mencekik” kita untuk merundingkan perjanjian yang serupa di masa depan.

Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa dalam polemik tiga perjanjian dengan Singapura ini Indonesia sebenarnya dalam posisi yang merugi, baik dalam skenario meratifikasi, atau menolak ratifikasi.

Lantas, jika skenario-skenario ini memang benar, kenapa perjanjian ‘fatal’ ini bisa terjadi?

image 37

Ada Masalah Prinsip Diplomasi?

Dalam diplomasi antar-negara, tentu yang menjadi aktor utama adalah presiden, sementara Menteri Luar Negeri (Menlu) hanya mengolah dan mengikuti arahan darinya.

Dan menurut Margarett G. Hermann dalam tulisannya Explaining Foreign Policy Behavior Using the Personal Characteristics of Political Leaders, kepribadian dan latar belakang seorang presiden sangat berperan besar dalam perilaku politik internasional sebuah negara. Karena itu, wajar bila identifikasi permasalahan diplomasi Indonesia dilakukan dengan menelusuri gaya kepemimpinan Jokowi itu sendiri.

Mohamad Rosyidin dalam tulisannya Gaya Diplomasi Jokowi dan Arah Politik Luar Negeri RI, menilai bahwa Jokowi memiliki pandangan politik luar negeri yang cenderung pragmatis dan perjanjian bilateralnya seringkali hanya diambil dari aspek untung rugi ekonomi.

Padahal, dalam politik internasional keuntungan ekonomi hanya salah satu hal yang perlu dikejar, namun masih banyak hal lain yang juga tidak kalah pentingnya, seperti aspek geostrategis, citra negara, dan perlunya menjaga bargaining power.

Beberapa orang menduga bahwa gaya diplomasi yang seperti itu mungkin berasal dari karakter Jokowi sebagai seorang pebisnis sebelum masuk ke dalam politik. Well, pandangan tersebut sebenarnya bisa dijustifikasi.

David Davenport dalam tulisannya Why Business CEOs Don’t Make Effective Political Leaders, di laman Forbes menyebutkan bahwa umumnya seorang pebisnis tidak memiliki jiwa kepemimpinan yang cocok dalam jabatan politik. Hal ini karena mindset seorang pebisnis umumnya adalah untuk menciptakan strategi agar ia mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, tanpa membuat dirinya terlihat buruk.

Sementara itu, sebuah jabatan politik membutuhkan seseorang yang mampu berpikir multidimensi. Boleh saja sejumlah kebijakan yang ditelurkannya menghasilkan keuntungan yang besar, tetapi pejabat publik tersebut juga harus memikirkan dimensi-dimensi lain yang bisa dikembangkan secara bersamaan dan tidak rusak akibat ambisi egosentrisnya.

Pada akhirnya, tentu ini semua ini hanya interpretasi belaka. Namun, jika memang benar bahwa beberapa hambatan diplomasi Indonesia muncul akibat gaya diplomasi seorang pebisnis, mungkin, di 2024 nanti Indonesia membutuhkan pembaruan dengan sosok kandidat yang memiliki spesialisasi dalam diplomasi dan geopolitik. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

2029 “Kiamat” Partai Berbasis Islam? 

Pilkada 2024 menjadi catatan tersendiri bagi partai politik berbasis Islam besar di Indonesia, yakni PKS dan PKB. Bagaimana partai-partai ini bisa membenahi diri mereka dalam menyambut dinamika politik lima tahun mendatang? 

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin?