Di tengah ramainya pembicaraan seputar peran negara atau pun aktor asing di balik konflik Papua, pemerintah berharap Amerika Serikat (AS) mendukung Indonesia dalam persoalan ini. Permintaan ini kembali memperkuat sinyal bahwa untuk 5 tahun ke depan Indonesia dan AS sama-sama ingin serta butuh memperkuat hubungan bilateral.
PinterPolitik.com
Harapan agar AS mendukung upaya Pemerintahan Jokowi dalam menangani konflik Papua disampaikan oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko ketika ia bertemu dengan Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik David R. Stilwell.
Permintaan ini cukup kontroversial mengingat akhir-akhir ini konflik Papua menjadi isu yang sangat sensitif baik di level domestik maupun internasional.
Terlebih lagi ketika yang “dimintai tolong” oleh pemerintah adalah negara adidaya sekelas AS.
Jika melihat gambaran yang lebih luas, dukungan dari AS mungkin juga menjadi bagian dari kontenstasi regional, mengingat saat ini di Asia-Pasifik AS sedang berebut pengaruh dengan partner perang dinginnya saat ini, yaitu Tiongkok.
Lalu, seperti apa pernyataan Moeldoko ini harus dimaknai?
Strategi Penyeimbangan AS
Menurut Paul, Wirtz dan Fortman, dalam bukunya yang berjudul Balance of Power, istilah balancing alias penyeimbangan adalah strategi atau kebijakan yang dilakukan suatu negara untuk mencegah hegemoni negara lain.
Strategi inilah yang sejak tahun 2009 dilakukan oleh AS, di mana ia sedang berusaha membendung pengaruh Tiongkok khususnya terhadap negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Sejak awal masa kepemimpinan Jokowi, sudah ada beberapa bentuk penyeimbangan, baik yang diinisiasi oleh Indonesia maupun oleh AS.
Pada tahun 2015, ketika Jokowi memenuhi undangan Presiden AS saat itu, Barrack Obama, kedua negara sepakat untuk memperdalam kerja sama di berbagai bidang, mulai dari pertahanan, maritim, ekonomi, hingga hubungan antar masyarakat.
Kemudian dalam dokumen Strategi Keamanan Nasional yang dirilis pada akhir 2017, disebutkan bahwa bagi AS, Indonesia adalah “mitra keamanan dan ekonomi yang semakin meningkat”.
Keseriusan AS untuk memperkuat hubungan bilateral dengan Indonesia terlihat dengan dicalonkannya Sung Yong Kim sebagai Duta Besar (Dubes) AS yang baru untuk Indonesia.
Bukan tanpa alasan, Kim adalah sosok diplomat yang cukup berprestasi. Ia sebelumnya menjadi Dubes di Korea Selatan dan Filipina.
Kim juga menjadi ketua delegasi AS dalam penbahasan program nuklir Korea Utara dan menjadi sosok penting di balik pertemuan pertama Presiden AS dengan Pemimpin Korea Utara sepanjang sejarah.
Oleh sebab itu, mengirim seorang diplomat yang berhasil menangani berbagai isu-isu strategis ke Indonesia memperlihatkan bahwa di mata AS Indonesia adalah negara yang penting.
Masih terkait dengan Dubes, perluasan dan pembangunan gedung baru Kedutaan Besar AS di Jakarta juga diklaim sebagai bukti komitmen AS untuk mempererat kerja samanya dengan Indonesia.
Perlu diketahui bahwa perluasan ini terdiri dari dua tahap, di mana tahap pertama saja sudah memakan biaya sebesar Rp 3,7 triliun dan menjadikan Kedubes AS di Jakarta sebagai salah satu Kedubes asing terbesar di Indonesia dan salah satu Kedubes terbesar AS di dunia.
Dalam bidang pertahanan, jika melihat sejarah, Indonesia memang lebih dekat dengan AS. Dapat dikatakan Indonesia jauh lebih banyak melakukan latihan pernag bersama dan membeli persenjataan produksi AS dibanding Tiongkok.
Namun, bukan berarti penyeimbangan atau penguatan kerjasama tidak dilakukan oleh negara dengan julukan Paman Sam tersebut.
Pada tahun 2016, untuk pertama kalinya dalam 19 tahun Angkatan Udara Indonesia dan AS melakukan latihan bersama.
Kemudian AS juga melakukan normalisasi hubungan militernya dengan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang akan ditandai dengan latihan bersama tahun depan.
Sebagai catatan, sejak 1990-an pemerintah AS memang melarang militernya untuk melakukan kerja sama apapun dengan Kopassus karena pasukan khusus milik TNI AD ini dituduh terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM di Timor-Timor. Artinya, kini telah ada peningkatan hubungan yang cukup signifikan.
Normalisasi sendiri akan dimulai dengan dilakukannya latihan bersama Kopassus dengan pasukan khusus AS tahun depan.
Konteks penyeimbangan yang berkaitan dengan persaingan AS-Tiongkok juga terlihat di level regional dengan dilakukannya latihan maritim bersama negara-negara ASEAN dengan AS di Laut Tiongkok Selatan.
Latihan ini dilihat sebagian pihak sebagai salah satu bentuk “direbutkannya” ASEAN oleh kedua negara dan respon terhadap latihan serupa yang dilakukan ASEAN dengan Tiongkok tahun lalu.
Namun, dengan semua “tradisi” kedekatan Indonesia dengan AS, selama periode pemerintahannya yang pertama Jokowi memang dinilai lebih condong ke Tiongkok, terutama dalam sektor ekonomi.
Pada tahun 2018, Tiongkok menjadi negara dengan investasi terbesar ketiga di Indonesia, sementara AS hanya menempati posisi ketujuh.
Selain itu pemerintah Jokowi juga tidak pernah terdengar menawarkan proyek terhadap AS, berbeda dengan Tiongkok yang ditawari 28 proyek infrastruktur dengan total nilai Rp 1.296 triliun.
Saling Butuh
Indonesia memang membutuhkan sekaligus pantas diperebutkan oleh kedua negara superpower ini.
Menurut peneliti asal Centre for Independent Studies, Jessica Brown, letak geografis Indonesia menjadikannya sebagai negara yang memiliki nilai strategis baik di mata AS maupun Tiongkok .
Letak geografis ini berkaitan dengan jalur-jalur pelayaran internasional yang melewati perairan Indonesia.
Dalam hal ekonomi diperkirakan 80 persen impor minyak dan gas bumi Tiongkok melewati selat Malaka. Sementara untuk AS, 14 persen perdagangan maritimnya juga melewati kawasan ini.
Selain itu Tiongkok dan AS juga menjadi mitra dagang dan tujuan ekspor utama bagi Indonesia.
Untuk tahun 2018, Tiongkok menyerap 15 persen dari total ekspor Indonesia. Angka ini menjadikannya sebagai negara tujuan ekspor utama Indonesia. Sementara AS ada di peringkat ketiga dengan angka 10 persen.
Lanjut ke bidang pertahanan dan militer, Selat Malaka juga menjadi jalur tercepat bagi kapal-kapal perang AS maupun Tiongkok untuk berlayar dari atau menuju Samudera Pasifik dan Hindia.
Hal ini menjadi penting karena AS dan Tiongkok sama-sama menyebar dan memiliki pangkalan militer di Asia dan Afrika.
Posisi geografis Indonesia semakin terasa bagi AS, di mana (melewati) Indonesia adalah jalur tercepat yang menghubungkan pangkalan-pangkalan militernya di Asia Timur dengan pangkalannya di Australia.
Menhan AS bertemu Menhan RI, ada apa ya? Selengkapnya dalam tulisan berjudul "Menguak Peran AS di Balik Jokowi" di https://t.co/xcS6dRiOpe pic.twitter.com/MPV9AyfaDR
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 4, 2019
Dihadapkan dengan rivalitas AS-Tiongkok pemerintah selalu menegaskan bahwa Indonesia tidak memihak ke satu negara manapun, alias netral.
Hal ini sesuai dengan prinsip kebijakan luar negeri bebas-aktif yang terus dijalankan sejak pertama kali digulirkan pada 1948.
Hingga saat ini, berdasarkan prinsip balancing nampaknya pengaruh Tiongkok dan AS di Indonesia cukup seimbang.
Dalam bidang ekonomi Indonesia jelas lebih dekat dengan Tiongkok, namun secara militer ataupun politik Indonesia lebih dekat dengan AS.
Kembali ke konteks Papua, dukungan negara adidaya seperti AS akan sangat menguntungkan bagi pemerintahan Jokowi yang saat ini banyak mendapat kritikan dari dalam maupun luar negeri.
Dengan demikian, konflik Papua bisa dijadikan sebagai pintu baru bagi AS untuk menjalankan strategi balancing-nya terhadap Indonesia.
Yang jelas, untuk lima tahun ke depan besar kemungkinan penguatan hubungan bilateral akan terus terjadi, apalagi dengan adanya keinginan Jokowi untuk mengundang Presiden Donald Trump ke Indonesia.
Kita lihat saja apakah dalam periode pemerintahannya yang kedua, Jokowi dapat menjaga keseimbangan yang ada atau dengan berbagai pertimbangan terpaksa memilih satu negara saja. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.