Site icon PinterPolitik.com

Performa Ekonomi: Meneropong Janji Jokowi

Presiden Jokowi (sumber: istimewa)

“Saya memiliki keyakinan kuat bila kepercayaan diri tidak bisa dilindungi selain dengan keberadaan prinsip yang jujur dan tegas; hal-hal samar dan tak bermakna dapat mengecoh ketidakpercayaan sementara waktu, dapat mempengaruhi pemilihan ini dan itu, tetapi hal semacam itu pada akhirnya akan menimbulkan kegagalan, jika dibuat tidak ditaati atau jika tidak konsisten dengan kehormatan dan sikap pembuatnya.”  –

Sir Robert Peel, (Tamworth Manifesto, 1984)


PinterPolitik.com

 

[dropcap]S[/dropcap]aat Presiden Joko Widodo (Jokowi) memenangkan Pilpres 2014, banyak pendukungnya yakin bila ia mampu membawa Indonesia ke arah pemerintahan dan pembangunan baru. Harapan ini datang dari latar belakang Jokowi yang jauh dari dunia militer dan juga elit politik terdahulu. Serta tentunya bombardir janji timses Jokowi di masa kampanye.

Setelah menggengam kemenangan, proses realisasi janji Jokowi di masa kampanye bisa dilihat dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. RPJMN adalah rancangan target yang hendak dicapai pemerintah yang berisi lebih dari 200 target dalam enam sektor.

Secara selintas, RPJMN punya ambisi seperti menaikkan pertumbuhan PDB dari angka 5% di tahun 2014 ke angka 8% di tahun 2019. Pertumbuhan ekonomi juga ditargetkan menempati angka 7% dalam rerata tahun 2015-2019. Rencana pertumbuhan ekonomi yang signifikan ini, juga diharapkan mampu mengurangi angka kemiskinan dari 11% di tahun 2014, menjadi 7-8% di tahun 2019.

Tak hanya dari segi perekonomian, pemerintah juga menetapkan komitmen untuk meningkatkan pertumbuhan di bidang infrastruktur dalam rancangan RPJMN. Tak main-main, rancangan ini hendak mencapai peningkatan kapasitas pembangkit listrik sebesar 35 gigawatt dan menambah panjang jalan tol sampai 1000 kilometer.

Tujuan dan Rintangan

Namun kurang dari setahun hingga pemilihan presiden tahun depan, kemungkinan besar pemerintah sangatlah kecil untuk mencapai target-target yang sudah ditetapkan dalam RPJMN tersebut.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 2015-2017 hanya mencapai 5%, dan sebagian besar pengamat ekonomi memperkirakan pertumbuhan PDB akan masih rendah, yakni di bawah 6% di tahun 2018 dan 2019. Akibatnya, jurang antara target PDB pemerintah dengan IMF diekspetasikan akan berada di angka 9,1% di tahun 2019. Hal ini makin berimbas pada makin kecilnya pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah.

 

TINGKAT PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA. Garis hijau tua (performa) garis hijau muda (prakiraan) abu-abu (target pemerintah)

Dengan demikian, tantangan untuk mereduksi angka kemiskinan juga semakin sulit. Jika proses ini terus berlanjut, tingkat kemiskinan diperkirakan akan berada di angka 9,6% di tahun 2019, atau membengkak sekitar 1,6-2,6% dibandingkan dengan target awal pemerintah. Dari angka kemiskinan tersebut, berarti akan ada sekitar 4,2 – 6,9 juta lebih warga hidup di bawah kemiskinan di tahun 2019.

TINGKAT KEMISKINAN INDONESIA. Garis hijau tua (performa), garis hijau muda (ekstrapolasi), abu-abu (target pemerintah)

Di bawah pemerintahan Jokowi, beberapa proyek infrastruktur yang sebelumnya terhambat dalam fase perencanaan selama bertahun-tahun, kini telah memasuki fase pembangunan. Namun begitu, kelanjutan dari pembangunan proyek infrastruktur ini juga mengalami berbagai kendala, sehingga target RPJMN makin sulit diraih.

Sebagai contoh, pemerintah dipastikan menemui hambatan mencapai target meningkatkan kapasitas pembangkit listrik sebesar 35 gigawatts. Pada Desember 2017 saja, kapasitas listrik yang tersedia hanya 1,041 megawatt, alias sekitar 3% dari keseluruhan target yang ditetapkan. Jika semua proyek yang saat ini tengah berjalan diteruskan hingga akhir 2019, akumulasi penambahan kapasitas listrik dari 2015-2019 angkanya hanya mampu mencapai setengah dari target. Angka setengah itu pun masih belum bisa dipastikan teraih semua.

KAPASITAS LISTRIK INDONESIA. garis hijau muda (angka kumulatif), garis hijau tua (ekstrapolasi), garis abu-abu (target pemerintah).

Dibandingkan dengan dua proyek lainnya, pembangunan jalan tol lebih terlihat menjanjikan, walau masih belum juga bisa dipastikan mencapai target RJPMN atau tidak. Laju pembangunan jalan tol memang dipercepat dalam paruh pertama pemerintahan Jokowi, di samping keberadaan rencana pengoperasian jalan tol di akhir tahun 2019. Tetapi hasil pembangunan sepanjang lebih dari 600 kilometer tersebut, belum tentu bisa langsung tersedia dan digunakan dalam 18 bulan ke depan.

PANJANG RUAS TOL INDONESIA. Garus hijau muda (angka kumulatif), hijau tua (ekstrapolasi), garis abu-abu (target pemerintah)

Proyek infrastruktur besar lainnya, seperti Jakarta light rail transit atau LRT dan kereta cepat Jakarta – Bandung, juga diekspetasikan meleset dari tenggat waktu pemerintah.

Angan-Angan Belaka?

Mengingat kampanye capres dan cawapres akan berlangsung beberapa bulan ke depan, keberadaan data-data di atas, bila dipelajari oleh kelompok oposisi, dan menjadi senjata untuk menyerang kekuatan Jokowi.

Menghadapi situasi ini, sangatlah penting bagi para pemilih untuk menginterpretasi kesenjangan yang ada antara hasil yang dicapai dengan target yang berhasil dicapai pemerintah.

Tentu saja pemilih akan kecewa jika mendapati banyak hasil pembangunan pemerintah yang tidak memenuhi target. Tetapi perlu diketahui dan disadari pula bahwa kinerja pemerintah di berbagai bidang saat ini, punya peningkatan dan jauh lebih baik bila dibandingkan dengan pemerintahan sebelum-sebelumnya.

Bila ingin mencari siapa yang melakukan kesalahan, maka hal itu terletak pada target-target pemerintah yang terlalu ambisius. Kebanyakan target yang dipasang oleh pemerintah dalam RPJMN, lebih terlihat seperti angan-angan dibandingkan target yang diperhitungkan matang-matang.

Mengingat pola perkembangan dan pertumbuhan produktifitas ekonomi Indonesia beberapa waktu belakangan, serta demografi dan keadaan ekonomi global, sulit untuk membayangkan tingkat pertumbuhan GDP Indonesia akan meningkat walau hanya 3% hanya dalam waktu lima tahun mendatang.

Bahkan, jika pertumbuhan ekonomi telah berakselerasi, elastisitas pertumbuhan kemiskinan juga sangat rendah dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini makin menyulitkan pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Target ini semakin bertambah sulit, bila harus diselesaikan hanya dalam beberapa tahun saja.

Reformasi kebijakan infrastruktur yang terus berjalan maju, pada akhirnya menemui hambatan implementasi. Kesulitan ini sebetulnya bukanlah hal baru, sebab di masa Orde Baru, pemerintah juga menghadapi hal yang sama. Sektor infrastruktur pemerintah saat ini berhadapan dengan masalah perebutan lahan dan keuangan.

Di atas polemik yang ada, masalah utama memang terletak pada target pemerintah yang terlalu ambisius. Konstruksi jalan tol yang berjalan dari 2015-2019 saat ini, 38% lebih panjang dibandingkan dengan pembangunan jalan tol yang dibangun sejak 1978, tahun di mana permbangunan jalan tol pertama kali beroperasi di Indonesia. Begitu pula target penambahan kapasitas listrik, yang serupa dengan percobaan ekspansi pemerintah pada 15 tahun yang lalu.

Ongkos Ambisi yang Tak Murah

Keberadaan target kelewat ambisius ini sebenarnya mampu menjadi modal memenangkan suara rakyat dalam kampanye Pilpres mendatang dan mempertahankan dukungan. Tetapi perlu dilihat pula bagaimana hasil kinerja pemerintah bertemu dengan target dan realita. Melihat hasilnya, pemerintah perlu menyesuaikan target pembangunannya.

Menteri PUPR dan Presiden Jokowi (sumber: infopresiden)

Namun kenyataannya, Jokowi terlihat tidak terbujuk dengan ‘saran-saran’ yang datang dari beberapa kementerian dan memilih untuk mempertahankan target ambisiusnya. Sebagai contoh, Menteri Keuangan, Menteri ESDM, dan Dewa Energi Nasional (DEN) gagal merubah dan menyesuaikan target penambahan listrik 35 gigawatts.

Melihat hal ini, penting menelisik faktor yang membuat Jokowi tetap teguh berpegang pada target-target ambisiusnya.

Target-target ini bisa digunakan sebagai penanda bahwa sang presiden ingin memutus rantai dari tradisi yang ada. Jokowi percaya bahwa target-target ambisius ini akan membuat pejabat negeri meninggalkan ‘cara lama’ dalam mengerjakan sesuatu dan mulai menganut cara ‘revolusi mental’. 

Terlebih lagi, ‘mengalah’ atau berkompromi terhadap target yang sudah disusun, tentu akan melukai tanggung jawab utama presiden yang kekuatan politiknya sudah dianggap lemah di awal masa pemerintahan. Menyesuaikan target atau ‘mengalah’ pada target pembangunan infrastruktur bisa jadi tak terpikirkan oleh Jokowi sebab inilah yang menjadi sorotan utama dalam pemerintahan serta kampanyenya dulu: meningkatkan, memperbaiki, dan membangun infrastruktur.

Namun bagaimana pun, selalu ada biaya tak murah dari ambisi yang kelewat tinggi.

Semakin ambisius target yang tersusun, maka semakin kompleks pula proses implementasi yang ada. Mengejar target ambisius tanpa mekanisme koordinasi yang mapan hanya akan memperuncing konflik antar pemangku kepentingan.

Sebagai contoh, akselerasi atau perkembangan industri tertentu bisa menimbulkan efek tak diinginkan seperti ketimpangan dan kerusakan alam. Dalam kasus perkembangan infrastruktur, setiap kementerian juga memiliki konsentrasi masalah yang berbeda, seperti kecepatan pembangunan, efek pada iklim fiskal, serta legal dan prosedur teknis.

Lebih jauh lagi, jika pemerintah hanya berfokus pada pencapaian target yang terlalu ambisius dan memprioritaskan percepatan penyelesaian proyek, hal tersebut akan mengancam kualitas pembangunan’ serta keselamatan pekerjanya.

Kita sudah bisa lihat sendiri rentetan kecelakaan yang terjadi di lahan konstruksi di awal tahun. Beberapa kecelakaan bisa saja dicegah bila pemerintah bersedia menekan dorongan agresif pembangunan infrastruktur dan lebih melakukan evaluasi menyeluruh.

Kekhawatiran lainnya adalah, saat target-target yang disusun tak bisa dicapai dalam tenggat waktu tertentu, maka rancangan yang tersusun di awal, hanya menjadi angan-angan belaka. Dengan kata lain. Target yang ada menjadi sia-sia. Jika para menteri memahami bahwa target-terget pemerintah yang hanyalah bentuk dari sikap optimisme berlebihan yang dibuat pada masa kampanye Pilpres, tentu mereka akan kehilangan motivasi untuk mengejar target-target yang ada.

Target yang tidak realistis juga akan melukai pemberi investasi. Bagi para investor, prioritas pemerintah dan kelayakan proyek tidak menemui titik temu yang jelas, apalagi saat dihubungkan dengan daftar panjang target dan proyek. Hal ini bisa dilihat dari pembatalan 14 dari 245 proyek strategis pemerintah.

Perlu Realistis, Tinggalkan Retorika

Siapapun yang memasuki Istana Kepresidenan di tahun 2019 kelak; dan sepertinya Jokowi akan kembali lagi nanti, wajib memasukan pemikiran realistis dalam perencanaan pembangunan jangka mediumnya. Kredibilitas kebijakan, keniscayaan, dan koherensi perlu dipikirkan secara serius agar tidak lagi hanya dianggap menjalankan mega proyek nan membingungkan, serta over ambisi.

Target yang realistis dapat mendorong dan menekan pejabat publik untuk maju bila perencanaan juga dibarengi dengan insentif yang pantas dan koordinasi seksama. Selain itu, rakyat juga akan sadar jika target-target kosong dan tidak realistis pemerintah, hanya menambah beban frustasi dari hasil pekerjaan yang tidak selesai.

Pemerintah juga tak boleh lupa, pemodal atau investor swasta mencari investasi bersama pemerintahan yang dapat dipercaya dan rancangan pembangunan yang dapat dipertanggungjawabkan. (A27)


Tulisan ini adalah terjemahan dari tulisan Kim Kyung Hoon berjudul Economic Pledges and Performances: Tracing Jokowi’s Promises

Exit mobile version