Site icon PinterPolitik.com

Peretasan Tempo-Tirto Bentuk Pembredelan?

Peretasan Tempo-Tirto Bentuk Pembredelan

Presiden Joko Widodo (Jokowi) di hadapan para awak media di Istana Negara, Jakarta. (Foto: Kantor Staf Presiden)

Aksi peretasan terhadap media pemberitaan daring Tempo dan Tirto beberapa waktu lalu masih menimbulkan pertanyaan mengenai siapa pelaku dan apa motifnya. Meski kemudian jamak yang skeptis akan kebebasan pers dan seketika melontarkan tanya tersebut pada pemerintah. Lantas, benarkah pemerintah telah melakukan pembredelan?


PinterPolitik.com

Sorotan sampai saat ini masih terus tertuju pada insiden peretasan terhadap portal daring dua media massa di tanah air, yakni Tempo dan Tirto yang terjadi hampir bersamaan pada pekan lalu.

Portal dua media tersebut, plus Kompas menjadi target peretasan berupa serangan Distributed Denial-of-Service (DdoS) atau membanjiri lalu lintas jaringan internet, upaya doxing serta peretasan server media, termasuk penghapusan artikel berita tertentu.

Ihwal yang membuat publik mengernyitkan dahi, serangan tersebut ditujukan pada konten spesifik terkait obat Covid-19 yang dikembangkan Badan Intelijen Negara (BIN), TNI dan Universitas Airlangga. Dan jika ditarik sedikit lebih dalam, peretasan tersebut beriringan pula dengan serangan pada akun twitter milik Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono yang sangat aktif mengkritik isu yang sama.

Kekinian, media yang berbasis di Britania Raya, Reuters juga mengangkat isu peretasan tersebut. Kate Lamb dan Stanley Widianto memberi tajuk dalam sebuah publikasi di Reuters bahwa serangan digital yang terjadi terhadap Tempo dan Tirto meningkatkan kekhawatiran akan semakin terancamnya kebebasan pers di Indonesia.

Perhatian dari media sekelas Reuters agaknya tidak dapat dipandang biasa saja mengingat pilihan berita yang diangkat tentu merupakan isu esensial dan signifikan. Terlebih berita tersebut turut dimuat ulang di berbagai media daring negara lain seperti Bangkok Post di Thailand serta CNN News18 di India.

Tak ayal, bermacam narasi mengemuka sebagai respon atas serangan dan peretasan tersebut seperti upaya pembungkaman nilai aktivisme dan jurnalisme hingga pembredelan pers 2.0 atau jilid kedua.

Frasa “pembredelan” sendiri memang masih lekat dalam ingatan publik atas represi terhadap media atau pers pada era Orde Baru (Orba) silam di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

“Spesial” bagi Tempo, serangan peretasan terakhir seperti melengkapi berbagai bentuk represi terhadap salah satu entitas media terkemuka tersebut sejak era Orba. Ya, ketika masih mengandalkan surat kabar, Tempo tercatat pernah dua kali mengalami pembredelan karena kritis terhadap rezim Soeharto.

Lantas, pantaskan peretasan tersebut disebut sebagai bentuk pembredelan? Dan mengapa media yang konsisten dengan karakteristik kritis, khususnya Tempo acapkali mengalami bermacam represi atau serangan tertentu, sementara media lain dengan karakteristik yang mungkin serupa tidak demikian adanya?

Tempo, “Bandel” Namun Melegenda

Berbeda dengan era Orba di mana terlihat jelas siapa pihak yang melakukan represi terhadap pers, berbagai serangan dan peretasan yang terjadi pada beberapa media belakangan ini dinilai masih dan dianggap akan terus menjadi misteri.

Seperti halnya konteks serupa namun tak sama, yakni kasus Ravio Patra, peretasan yang terjadi agaknya hanya akan menguap begitu saja tanpa diketahui pihak mana yang bertanggung jawab di baliknya.

Dalam sebuah publikasi berjudul Vicious Circles and Infinity: A Panoply of Paradox, Patrick Hughes dan George Brecht mengemukakan infinite regress sebagai salah satu hukum paradoks di mana terciptanya benturan dua premis saling kontraproduktif yang tak berujung.

Singkatnya, dengan sifat anonimitas yang cukup sulit dideteksi, pihak manapun dapat saling menuding dan dituding berada di balik peretasan dua media dengan karakteristik analisa kritis tajam terhadap berbagai kebijakan pemerintah tersebut.

Oleh karenanya, frasa “pembredelan” yang secara harfiah menaruh tudingan peretasan pada pemerintah menjadi abu-abu dan agaknya kurang elok dikemukakan, kecuali tuntutan jaminan kebebasan pers dan mempertanyakan peran negara pada penegakan salah satu dari empat pilar demokrasi.

Khusus bagi salah satu media “korban” peretasan, Tempo, serangan peretasan terakhir juga seolah melengkapi pengalaman asam garamnya dalam bermacam bentuk represi terhadap pers.

Rasmus Kleis Nielsen dalam The One Thing Journalism Just Might Do for Democracy: Counterfactual Idealism, Liberal Optimism, Democratic Realism menyebutkan konsep counterfactual idealism dalam jurnalisme sebagai level berikutnya dari sebuah idealisme lazim yang dianggap normatif.

Lebih lanjut, Nielsen menjelaskan pula bahwa counterfactual idealism dalam jurnalisme direpresentasikan di ranah praktis dan tidak hanya secara abstrak. Bahkan terkadang, cerminan dari counterfactual idealism meninggalkan impresi aliran kiri secara politik.

Mengacu pada salah satu ide pokok tulisan Nielsen di atas, ciri khas pemberitaan Tempo sejak lama tampak merepresentasikan sebuah counterfactual idealism. Karakteristik analisa tajam nan kritis plus sejumlah pemberitaan investigatif membuatnya menjadi salah satu yang terkena pembredelan era Soeharto.

Pada tahun 1982, liputan Tempo soal kericuhan pada kampanye Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta dianggap telah menyalahi larangan kode etik jurnalistik tentang “pers yang bebas dan bertanggung jawab”, dengan memberitakan konflik dalam pemilihan umum.

Jika tahun 1982 Tempo berhasil “selamat” berkat serangkaian lobi para redakturnya pada pejabat Orba, tahun 1994 cerita menjadi berbeda. Tempo yang menerbitkan laporan investigatif bernada minor pada pembelian kapal perang bekas, berujung penutupan media itu oleh pemerintah sebelum akhirnya bisa bangkit kembali setelah Soeharto tumbang tahun 1998 dan determinasi counterfactual idealism Tempo pun terus mewarnai demokrasi Indonesia hingga kini.

Ya, bisa dibilang hingga saat ini Tempo menjadi satu dari sedikit media formal arus utama level domestik yang memiliki berita dengan counterfactual idealism berupa laporan investigatif yang “menggigit”.

Hal ini berbanding terbalik dengan tren jurnalisme serupa di level global, utamanya yang beraliran informal atau watchdog reporting, yang justru meningkat meski tantangan kekinian membuat kalkulasi menjadi tidak imbang atas kemampuan sumber daya dan berbagai potensi risiko yang harus ditanggung.

Pada titik ini, perspektif sedikit terkuak mengenai nilai jurnalisme murni – yakni counterfactual idealisme plus independensi – yang berdasarkan rangkaian analisa di atas agaknya kian terkikis. Lalu, fenomena apakah yang sebenarnya sedang terjadi dan mengarah kemanakah pers, sebagai salah satu dari empat pilar penting demokrasi di tanah air saat ini?

Konglomerasi Media, Lampu Kuning Jurnalisme?

Tepat kiranya apa yang dikatakan oleh João Nunes dalam The Covid-19 Pandemic: Securitization, Neoliberal Crisis, and Global Vulnerabilization bahwa pandemi Covid-19 mengeskpos kerentanan multi sektoral hingga terkuaknya aspek negatif pada berbagai hal.

Tendensi tersebut juga tampaknya terjadi pada kondisi pers atau media di Indonesia pada pandemi Covid-19 saat ini. Hampir semua media memuat konstruksi narasi minor atas tindak tanduk pemerintah dalam menanggulangi pandemi.

Akan tetapi, peretasan yang hanya terjadi pada segelintir media dan tak terjadi pada media lainnya ketika mengekspos langkah minor pemerintah menimbulkan pertanyaan tersendiri.

Oleh karenanya meski pihak di balik peretasan masih abu-abu, salah satu praduga menjadi tidak dapat dihindarkan bahwa media menjadi “lebih aman” sepanjang berada di bawah naungan konglomerasi yang dekat dengan kekuasaan, dan tidak berlaku sebaliknya.

Simbiosis antara konglomerasi media dan kekuasaan sendiri menjadi semacam hal yang natural di Indonesia. Setelah pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 korelasi tersebut dianggap belum terlalu “akut”, Pilpres 2019 menyajikan aroma konglomerasi media di lingkaran penguasa yang lebih kental.

Pemenang kontestasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) setidaknya diusung oleh tiga sosok familiar yang menguasai bisnis media. Erick Thohir dengan Mahaka Media, Hari Tanoe dengan MNC Media, dan Surya Paloh dengan Media Group.

Fenomena ini oleh Ross Tapsell dalam Indonesia’s Media Oligarchy and the “Jokowi Phenomenon” bahkan dikatakan dengan nada skeptis sebagai bentuk representasi oligarki media di era kekuasaan Presiden Jokowi.

Karenanya, jika peretasan terhadap Tempo dan Tirto tidak segera direspon dengan serius oleh pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, preseden minor atas semakin terkikisnya nilai kebebasan pers dan demokrasi akan terus menumpuk dan justru mengancam legitimasi kekuasaan itu sendiri. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version