Pengesahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 menuai pertanyaan akan komitmen KPU dalam mendorong peningkatan keterwakilan perempuan di politik. PKPU ini membuka pertanyaan yang sudah terjadi sejak lama, yaitu mengapa sedikit sekali perempuan mampu merepresentasikan dirinya di arena politik?
PinterPolitik.com
Pendaftaran calon legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) telah dibuka oleh KPU sejak 1 Mei lalu. Bertepatan dengan prosesi tersebut, KPU resmi mengesahkan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 untuk menyempurnakan pengaturan mengenai keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024.
Secara umum, peraturan ini tetap mengatur alokasi 30 persen kursi legislatif untuk perempuan sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Namun demikian, peraturan ini justru menuai kritikan karena perubahan penghitungan alokasi 30 persen kursi perempuan, dengan hasil penghitungannya dilakukan pembulatan dua desimal ke bawah untuk suara di bawah 50 maupun dua desimal ke atas untuk suara di atas 50.
Perubahan ini memperkecil kesempatan perempuan dalam menduduki kursi legislatif karena hanya pemilik suara terbanyak yang bisa lolos menjadi anggota legislatif. Selain itu, pengaturan ini berpotensi menurunkan kuota 30 persen calon perempuan di setiap daerah pemilihan legislatif dan oleh karenanya, keterwakilan perempuan di alam legislatif akan sulit tercapai.
Polemik PKPU menjadi kasus terbaru dari permasalahan yang selama ini menghinggapi dunia pemilu Indonesia, yaitu representasi perempuan dalam politik. Sejak Pilkada 2018, perempuan yang berkiprah dalam politik terhitung lebih sedikit dibandingkan negara lainnya, di mana hal ini dibuktikan melalui persentasi perwakilan legislatif (kursi DPR dan DPRD) hingga kepemimpinan eksekutif (presiden hingga kepala daerah) yang masih didominasi oleh laki-laki.
Kondisi ini bukan berarti menihilkan sama sekali keberadaan perempuan dalam politik. Pada faktanya, keberadaan perempuan dalam politik masih dapat dilihat oleh publik dan tidak jarang kiprah mereka menjadi perhitungan bagi partai politik untuk menghadapi Pemilu 2024.
Sebut saja Khofifah Indar Parawansa, Puan Maharani, maupun Tri Rismaharini yang kapabilitasnya tidak bisa diragukan oleh masyarakat dan tak jarang nama mereka masuk bursa calon wakil presiden oleh berbagai lembaga survei.
Namun demikian, mereka yang berkiprah dalam politik saat ini dapat dikatakan kebanyakan berasal dari kalangan privilege dan sebab-sebab mereka terpilih pun juga tidak lepas dari kanal yang sudah dikuasai, seperti jalur keluarga, jaringan, hingga modal politik.
Oleh karenanya, maka tidak mengherankan apabila politisi perempuan yang tampil saat kebanyakan dari kalangan mapan dan jarang ada tokoh perempuan yang muncul di luar kelompok tersebut.
Hal ini memunculkan pertanyaan, mengapa perempuan begitu sulit memasuki dunia politik?
Kendala Dual-Parenting Menjadi Sebab?
Usut punya usut, alasan di balik sedikitnya perempuan memasuki dunia politik memang beragam dan faktor penyebabnya bisa terjadi secara berbeda antara negara satu dengan yang lainnya. Namun demikian, pada konteks politik Indonesia, alasan utama di balik sedikitnya perempuan yang memasuki dunia politik mengarah pada tiga faktor utama, yaitu faktor politik, faktor sosial-budaya, dan faktor psikologi.
Faktor sosial merujuk pada keberadaan pragmatic bias diantara masyarakat, dimana kondisi ini menggambarkan persepsi bahwa hadirnya perempuan dalam politik akan mengganggu peran tradisional yang melekat dalam diri mereka.
Corbett dalam artikelnya Pragmatic Bias Impede Women’s Access to Political Leadership menyebutkan bahwa sulitnya perempuan untuk menjadi pemimpin ialah keengganaan konstituen untuk memilih kader perempuan dan keengganaan ini berkenaan dengan anggapan bahwa perempuan tidak mampu memimpin.
Strukturasi gender dalam politik masih jamak terjadi di berbagai negara, terutama negara yang memiliki struktur sosial. Di Amerika Serikat, misalnya, itu tidak bisa dilepaskan dari kultur konservatisme. Sementara itu, pengaruh bias pragmatis di Indonesia lebih disebabkan oleh kultur patriarki yang mensyaratkan ketidakpercayaan pada kapasitas perempuan dalam memimpin dan kultur ini pada kenyataannya juga tertanam pada perempuan, sehingga konstituen perempuan justru tidak mendukung representasi dirinya dalam pemilu.
Namun demikian, selain faktor sosial-budaya yang menjadi sebab utama dari sedikitnya perempuan dalam politik, ada satu faktor yang tidak banyak diketahui namun berpengaruh besar bagi kesempatan perempuan untuk memasuki politik, yaitu faktor psikologis. Faktor ini merujuk pada dilema dual parenting, dimana dilema ini menggambarkan bahwa tanggung jawab mengasuh anak tidak lagi bertumpu pada ibu semata, namun bisa dibagi kepada suami atau pekerja rumah tangga.
Aronson dalam artikelnya Dual-Earner Couples menyebutkan pembagian ini jamak dilakukan oleh perempuan karir yang mampu mempekerjakan PRT dan peran dari PRT ditujukan untuk mengganti perannya dalam mengasuh anak di waktu kerja. Pembagian ini di satu sisi menjadi dampak langsung dari keberhasilan emansipasi perempuan yang membuka kesempatan bagi mereka untuk belajar dan berkarir demi menaikkan status sosialnya.
Namun di sisi lain, dual parenting hanya bisa dilakukan oleh perempuan mapan karena memiliki modal untuk membagikan perannya kepada PRT. Kemapanan ekonomi ini pun juga tidak tersebar secara merata pada semua perempuan – apabila merujuk pada banyaknya perempuan yang harus mengasuh anak seorang diri – dan kemapanan ini praktis hanya memberikan kesempatan berpolitik pada segelintir orang saja.
Politisi terkenal seperti Puan dan Khofifah menjadi contoh bagaimana posisi mereka yang mapan secara karir tidak memberikan beban yang signifikan untuk mengurus rumah tangga. Kemapanan ini pula yang dimanfaatkan untuk berkiprah dalam politik. Di sisi lain, tidak semua perempuan karier lainnya memiliki akses untuk memasuki dunia politik meski dapat membagi perannya dengan PRT dan akses ini seolah hanya “khusus” dimiliki sebagian perempuan saja.
Oleh karenanya, kemapanan ini juga menimbulkan pertanyaan, bagaimana kemapanan ekonomi dipadukan dengan akses yang eksklusif menguntungkan tokoh perempuan untuk berpolitik seperti saat ini?
Pemilu 2024 (Minus) Perempuan?
Tampilnya tokoh perempuan dalam politik saat ini pun juga tidak lepas dari bayang-bayang eksklusivisme yang melekat pada diri mereka oleh karena mayoritas politisi perempuan di parlemen saat ini berasal dari keluarga politisi ataupun memiliki jejaring organisasi tertentu. Itu kemudian membuat kemunculan politisi perempuan yang berjuang dari nol hampir tidak muncul ke permukaan.
Eksklusivisme yang dimiliki tokoh perempuan ternama seperti Puan dan Khofifah menjadi cerminan dari politik klientelisme yang masih kental dalam pemilu Indonesia, di mana meski 120 dari 575 kursi yang diperebutkan pemilu 2019 berhasil diisi oleh perempuan, namun perempuan tetap memiliki kekurangan akses sumber daya untuk berkontestasi bila dibandingkan dengan laki-laki.
Edward Aspinall dalam artikelnya Women Representation in Indonesia menyebutkan bahwa perempuan tidak bisa serta-merta langsung maju di pemilu hanya karena amanat 30 persen dikarenakan kentalnya budaya klientelisme sebagai akibat dari implementasi proporsional terbuka. Sistem ini “memaksa” para kontestan untuk merogoh kocek besar untuk mobilisasi suara kepada konstituen di tengah kompetisi elektoral yang semakin ketat.
Selain itu, mahalnya biaya politik praktis membuat setiap kandidat harus memiliki sumber daya ekonomi-politik yang mumpuni supaya terpilih, sehingga tak heran apabila banyak pejabat berasal dari kalangan “berada”. Pola ini juga terjadi pada perempuan, yaitu ketika mereka yang menjadi politisi nyatanya juga berasal dari kalangan yang mapan, maka terlihat bahwa mereka yang menjadi simbol dari keterwakilan perempuan justru ditopang oleh relasi klientelistik.
Selain karena mereka tidak memikul beban pengasuhan rumah tangga secara penuh, iklim politik yang klientelistik hanya mengizinkan mereka yang sudah mapan untuk berkontestasi dalam pemilu. Alhasil, mayoritas tokoh perempuan tidak benar-benar mewakili aspirasi konstituennya dan tak jarang mereka juga terjerembab dengan bisnis patron-klien yang “memaksa” mereka untuk mengesahkan peraturan yang menguntungkan pemodal.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi bukti bagaimana banyaknya politisi perempuan di DPR tidak mampu mempercepat pengesahan peraturan ini. Negosiasi yang alot memang menjadi persoalan utama, namun alasan sesungguhnya ialah kurangnya kekuatan perempuan dalam mengadvokasi konstituennya di parlemen sebagai akibat dari lanskap politik yang tidak berpihak pada perempuan.
Di tengah kondisi politik saat ini, bukan tidak mungkin pada Pemilu 2024 jumlah perempuan yang mencalonkan diri semakin sedikit apabila lanskap elektoral saat ini tetap tidak mengalami perubahan yang signifikan. (D90)