Peristiwa ditangkapnya beberapa perempuan Indonesia yang akan menjadi pelaku bom bunuh diri, membuat banyak pihak terkejut. Benarkah tren perempuan pelaku terorisme sudah mulai menjamur di Indonesia?
pinterpolitik.com
“Inilah caraku berbakti pada agama dan pada kalian, orangtuaku. Jangan pernah kalian membenci jalanku ini…” ~ Dian Yulia Novi
Sabtu, 10 Desember 2016. Matahari baru akan tergelincir ke ufuk Barat, saat delapan pria berbadan tegap mendatangi seorang tukang ojek yang sedang mangkal di kawasan Bintara, Bekasi, Jawa Barat. “Mas, tahu rumah perempuan itu tidak?” tanya salah satu pria tersebut, seraya menunjuk perempuan bercadar yang telah berjalan agak jauh di depan mereka.
Perempuan yang menggunakan jilbab hitam syar’i dan menggendong tas ransel hitam itu, baru saja turun dari mobil bernomor polisi B 1578. “Tidak tahu Pak, ikuti saja, sepertinya dia ngekos tidak jauh dari sini,” jawabnya, ragu-ragu. Tukang ojek itu tidak tahu kalau delapan pria tersebut adalah Tim Datasemen Khusus (Densus) 88 yang tengah mengikuti seorang tersangka teroris.
Selang beberapa menit kemudian, tim tersebut pun menangkap perempuan bercadar yang ternyata bernama Dian Yulia Novi, di kamar kosnya di Jalan Bintara Jaya VIII RT 04/09 Kelurahan Bintara Jaya Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi. Di tempat itu, mereka menemukan sebuah bom aktif yang tersimpan di dalam tas ransel hitam dan rencananya akan diledakkan di Istana Negara.
Di tempat terpisah, Tim Densus juga berhasil meringkus Nur Sholihin dan Agus Supriadi. Keduanya merupakan dua pria yang berada di dalam mobil dan mengantar Dian pulang sebelumnya. Nur Sholihin kemudian diakui Dian sebagai suaminya, walaupun mereka baru tiga kali bertemu. Sholihin inilah yang mempersiapkan segala keperluan Dian untuk meledakkan diri di Istana Negara.
Doktrin Amaliyah
Dian adalah perempuan pertama Indonesia yang rencananya akan menjadi pelaku bom bunuh diri. Martir perempuan ini kemudian disebut sebagai “pengantin”, karena umumnya mereka tidak bertugas sendirian, akan selalu ada laki-laki yang mendampingi dalam pelaksanaannya tersebut.
Setelah menangkap Dian, Densus 88 pun membekuk Ika Puspitasari alias Salsabila di Purworejo dan Jumiatun Muslim alias Atun alias Bunga alias Umi Delima, yaitu istri Santoso, pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang tewas tertembak pada operasi Tinombala. Ketiga perempuan ini telah berbaiat ke Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi yang bermarkas di Irak.
Menurut polisi, tertariknya para perempuan tersebut menjadi pengantin karena doktrin Daulah Islamiyah, yang tak lain adalah ISIS/NIIS. Kepala Bagian Mitraropenmas Divhumas Mabes Polri, Kombes Pol Awi Setiyono menjelaskan, doktrin ini meyakinkan soal aksi amaliyah (serangan langsung ke sasaran) kepada pengikutnya. Intinya, jika belum mampu ke Suriah, maka bisa melakukan amaliyah di negerinya masing-masing.
“Itulah yang memotivasi para teroris di Indonesia,” kata Awi yang mendapatkan keterangan tersebut melalui proses penyidikan. Dian sendiri mengaku tidak pernah berkomunikasi secara langsung dengan para pendukung NIIS/ISIS di Indonesia. Ia baru tertarik dengan kegiatan para jihadis saat bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW), tepatnya ketika bekerja di Taiwan.
Direkrut Melalui Media Sosial
Perempuan berusia 27 tahun asal Cirebon ini juga banyak belajar agama melalui internet, termasuk Facebook. “Seperti anak muda lain, saya juga senang membuka Facebook,” aku Dian yang pernah bekerja di Singapura dan Taiwan. Di media sosial inilah, ia menemukan akun para pejuang ektrimis yang diakunya memberikan inspirasi mengenai jihad.
“Saya tidak bergabung di grup itu, hanya membacanya sekilas saja karena penasaran,” lanjut Dian yang kemudian mencoba mengirim pesan ke mereka. Salah satu dari sedikit yang merespon, adalah seorang perempuan yang mengaku tinggal di Suriah. Dari perempuan itulah, Dian berkenalan dengan Nur Sholihin yang tinggal di Solo dan bersedia membantunya melakukan amaliyah.
Sebagai sebuah organisasi yang mengkafirkan teknologi, perekrutan sukarelawan melalui media sosial seperti facebook, twitter, dan instagram, dirasakan sebagai kontradiktif. Apalagi para simpatisan itu sendiri kebanyakan mengetahui ISIS melalui internet semata, contohnya Nur Sholihin yang ikut tertangkap dengan Dian, tak lain adalah seorang blogger yang menyebarkan ajaran-ajaran Islam radikal.
Pola perubahan ini juga diamati Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irjen Arief Dharmawan. Menurutnya, ada gejala kalau perempuan dan anak-anak digunakan sebagai pelaku bom bunuh diri. “Bila kita cermati, di Indonesia selain Dian juga ada anak-anak usia 13 tahun yang sudah terpapar ide radikal ini, dan mereka beraksi saat usianya mencapai 15 atau 16 tahun.”
Di tahun 2000-an, terang Arief, kelompok Jamaah Islamiah (JI) memiliki struktur yang lebih jelas. Sebelum melakukan amaliyah, harus ada pelatihan, pendanaan, perencanaan, dan sasaran yang jelas. Terkoordinasi dengan matang, sehingga efek bomnya pun besar. “Kalau teror saat ini, sifatnya acak sekali. Istilahnya seperti mau maling motor, kalau ada motor di depannya tidak perlu mikir, langsung diembat.”
Proses rekrutmen pada anggota teroris saat ini juga tidak serumit masa lalu, seperti harus melalui proses baiat yang panjang, baik dari jalur biologis, ideologi, dan pernikahan. Selain itu, mereka juga percaya kalau lelaki melakukan jihad bom bunuh diri, maka akan mendapat ganjaran didampingi 72 bidadari di surga. Lalu bagaimana kalau perempuan yang bunuh diri, apakah ganjarannya akan sama?
Mengenai kasus Dian, Arief menyesalkan mengapa ia mau saja menurut dengan Nur Sholihin yang dianggap sebagai suaminya. “Dian hanya orang yang sedang semangat beragama, enak banget nikahnya online, tanpa wali,” kata Arief, kesal. Padahal dalam Islam, pernikahan baru dikatakan sah bila ada wali dari pihak perempuan.
Perempuan Lebih Militan
Tertangkapnya Dian, Ika, dan Atun sebagai pelaksana aksi bom bunuh diri, diakui beberapa ahli terorisme sebagai sebuah fenomena baru di Indonesia. Menurut Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris, tujuan teroris menyasar kaum perempuan sebagai pelaku aksi bunuh diri adalah untuk mengecoh aparat penegak hukum, karena sosok teroris di Indonesia selama ini selalu diidentikkan dengan laki-laki.
Alasan lainnya, perempuan juga dianggap lebih mudah dipengaruhi. “Terutama untuk kaum perempuan yang memiliki masalah dalam keluarga,” lanjut Irfan. Menurutnya, perempuan bisa menjadi lebih militan bila mereka merasa menjadi korban dalam konflik rumah tangga atau perceraian. Ketika sudah dicuci otak dengan pemahaman radikal, ia bisa menjadi militan dalam menjalankan misi yang diinstruksikan padanya.
“Melakukan bom bunuh diri, bukan berarti saya telah kehilangan harapan dan keinginan untuk mengakhiri hidup, tapi hanya untuk mendapatkan ridha dari Allah dan mendapatkan prioritas sebagai jihad fisabilillah (hanya karena Allah semata),” jelas Dian saat ditanya apakah ia tak takut dengan murka Allah karena tindakannya akan dapat melukai bahkan membunuh banyak orang.
Walau begitu, dalam surat wasiatnya Dian meminta maaf pada suaminya karena pernah membuat kesalahan. Dalam interogasi, kepolisian akhirnya mengetahui kalau keluarga Dian tengah mengalami masalah. Pengalaman Dian menjadi TKW selama 4,5 tahun pun menunjukkan kalau ia berasal dari keluarga kurang mampu. Belum lagi pemahaman agamanya yang kurang, membuatnya sangat mudah dipengaruhi.
Walau di Indonesia termasuk baru, namun pemanfaatan kaum perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri sudah bukan barang baru di luar negeri. Contohnya seperti dua anak gadis berseragam sekolah yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Nigeria, Jumat (9/12/2016) lalu. Bom itu menewaskan 30 orang dan melukai 57 orang lainnya di satu pasar kota Madagali, Nigeria kawasan timur laut.
Pada tahun 1990-an, seorang perempuan Tamil meledakkan diri dengan bom yang di pasang di ikat pinggang. Bom itu meledak ketika ia membungkuk di depan Perdana Menteri Rajiv Gandhi, seolah-olah mau memberi penghormatan. Aksi ini merupakan balas dendam 330 perempuan Tamil yang tergabung dalam Female Black Tigers, atas perkosaan yang dilakukan Peace Keeping Force India di wilayah Tamil, saat PM India tersebut menjabat.
Mekanisme ‘pemaksaan perempuan’ juga menciptakan kelompok “Black Widow” yang menyerang sekolah di Rusia tahun 2004. Mereka adalah para perempuan yang suaminya dibunuh tentara Rusia pada Perang Chechnya. Di banyak kasus lain, suami, anak atau saudara laki-laki mereka disandera sampai mereka rela dijadikan bom bunuh diri.
Kekejaman sangat mungkin menempatkan perempuan menjadi korban untuk dijadikan pelaku bunuh diri. Di Irak, berdasarkan laporan Daily Mail, 80 orang perempuan dinodai, bukan hanya secara psikologis, tapi juga sosial – untuk kemudian dihadapkan pada pilihan melakukan bom bunuh diri demi mengembalikan kehormatan dirinya. Mereka menekankan bahwa inilah satu-satunya jalan untuk membersihkan dosa akibat diperkosa.
Di Indonesia, fenomena pemanfaatan kaum perempuan sebagai pelaku teror diperkirakan tidak akan berhenti dengan ditangkapnya Dian. Irfan berpendapat, perubahan pola rekrutmen ini harus diwaspadai, karena berpotensi dilakukan dalam jumlah besar. Beberapa tempat yang harus dicermati adalah sekolah, kampus, pesantren, dan lingkungan perkantoran.
“Mereka akan menyasar wanita muda yang mengalami kekecewaan,” ujar Irfan. Pola rekrutmennya sama, yakni para perempuan itu akan dijanjikan untuk dinikahi lalu dipengaruhi dengan ideologi-ideologi radikal. Jika sebelumnya perempuan hanya ikut pengajuan dan penyiapan logistik, sekarang dijadikan martir.
Fakta meningkatnya jumlah perekrutan perempuan di ISIS, juga terlihat dari hasil studi yang diterbitkan dalam Journal Science Advances and Involved, berjudul “Women’s Connectivity in Extreme Networks”. Studi yang melibatkan ribuan peneliti tersebut melihat, walau laki-laki lebih banyak berperan di garis depan namun faktor pengikat organisasi teroris ini sebenarnya adalah kaum perempuan.
Tim tersebut berhasil mengidentifikasi sekitar 24.883 pria dan 16.931 perempuan yang berdasarkan tingkah lakunya di dunia maya, memiliki keterlibatan dengan ISIS. Para analis itu juga kemudian menemukan, walau secara jumlah personel pria lebih banyak namun perempuanlah yang paling efektif dalam berkomunikasi. Sehingga kelompok-kelompok kecil yang menyebar di beberapa tempat itu, jadi memiliki ikatan yang kuat.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan hasil survei yang diadakan Saiful Mujani Research And Consulting (SMRC), ada sekitar 0,8 persen warga Indonesia mendukung kelompok ISIS. Walau jumlahnya kecil, namun para simpatisan di Indonesia ini dinilai berpotensi menjadi ‘martir’ dalam melakukan aksi terorisme di Indonesia.
Simpatisan ISIS di Indonesia, kabarnya memang termasuk yang terkuat di Asia Tenggara. Menurut SMRC hal ini karena mereka sudah canggih, terutama para master mind-nya. Para teroris ini tak hanya mengerti teknologi, tapi juga hubungan per orang, sehingga ada kemungkinan jumlahnya akan terus bertambah.
Perempuan Sebagai Korban
Dalam suatu wawancara, Sholihin mengaku menikahi Dian untuk menjadikannya pelaku istisyhadiyah (pelaku syahid) dengan cara apapun. Dian pun mengaku diminta Sholihin untuk melakukan amaliyah, atas petunjuk dari Bahrun Naim yang merupakan pimpinan kelompok Jamaah Anshorut Daulah Khilafah Nusantara (JADKN). Organisasi yang juga dikenal dengan Daurul Islamiyah ini, memiliki kaitan yang erat dengan ISIS.
Konsep pernikahan yang dilakukan Dian dan Sholihin, menurut Said Aqil, bertentangan dengan ajaran Islam. Tujuan pernikahan seharusnya dilandaskan dengan niat yang suci, yaitu dalam rangka menjaga dan melanjutkan keturunan demi kesinambungan kehidupan manusia. “Jika ada motif perkawinan dengan tujuan merusak kehidupan itu sendiri, tentu itu sudah jauh menyimpang dari ajaran Islam,” katanya.
Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amirrudin juga melihat, dalam kasus Dian, perempuan adalah sebagai korban. “Komnas sendiri sedang mengkaji dan melihat mereka sebetulnya korban. Sama dengan kasus narkoba, tapi masih perlu dikaji lagi. Makanya perempuan dijadikan agen karena mereka mudah sekali dan tunduk bahkan atas nama cinta mereka bisa melakukan apa saja,” kata Mariana, Kamis (15/12).
Perempuan umumnya terseret dalam jaringan terorisme karena faktor perkawinan, sehingga mereka tidak bisa melawan atau menolak suami, kelompok, maupun adat di lingkungannya. Kultur patriarki yang sangat kental dalam jaringan ini, membuat mereka juga harus menelan mentah-mentah doktrin kelompok, yaitu “sami’ma wa atho’na” yang berarti “kami mendengar dan kami taat” kepada suami.
Kombes Pol. Awi Setiyono menduga, maraknya perekrutan perempuan sebagai pengantin juga untuk memberikan efek kejut bagi para pria sehingga mereka terdorong untuk melakukan hal yang sama. Para perempuan ini seolah-olah mengirimkan pesan: “Di mana kamu wahai para lelaki? Haruskah kami, para perempuan yang bergerak. Sementara kalian hanya duduk-duduk manis di rumah?”
Beberapa penelitian menunjukkan, perempuan yang menjadi TKW mengalami banyak kekerasan psikis dan fisik. Kekerasan ini melahirkan patologi psikis berupa marah, gelisah, dan putus asa, sehingga mereka rentan terhadap pengaruh apa pun. Semakin intens pengaruh luar yang masuk, akan makin kuat diserap mentah- mentah.
Dian tampaknya mengalami hal sama. Saat berada dalam masa ketertekanan psikis ini, setiap manusia selalu butuh mekanisme pertahanan diri untuk bertahan atas tekanan yang dialami. Sayangnya, dalam kasus Dian, mekanisme pertahanan justru diperoleh dari jalan yang tak benar, yakni penolakan total atas apa yang selama ini dimiliki, serta beralih secara total ke pengaruh dan doktrin NIIS.
Mekanisme pertahanan ini pula yang mungkin dilakukan oleh Siti Aisyah, warga Indonesia di Malaysia yang kini tengah terancam hukuman mati. Statusnya kini telah sebagai tersangka pembunuhan Kim Jong-Nam, kakak tiri pimpinan Korea Utara, Kim Jong-Un. Kerasnya hidup di negara orang, kemungkinan membuat Aisyah mudah terbujuk untuk melakukan sesuatu hanya dengan iming-iming uang.
Dalam penyidikan, Aisyah sendiri mengaku dibujuk seseorang untuk ikut acara reality show dan iming-iming uang sebesar US$ 100. Acara yang ia pikir untuk lucu-lucuan ini, berakhir fatal dengan melayangnya nyawa Kim Jong-Nam. Walau bisa saja posisi Aisyah dikorbankan oleh konspirasi yang lebih besar, namun sebagai pelaku yang membuat hilangnya nyawa orang lain, Aisyah tetap harus berhadapan dengan meja hijau.
Posisi Aisyah atau pun Dian saat ini, menurut Direktur Jakarta’s Institute for Internasional Peace Building Siti Dorojatun Aliah, memperlihatkan kalau para TKW Indonesia di luar negeri berada dalam posisi rentan sebagai target perekrutan teroris. Jakarta’s Institute sendiri pernah mewawancarai lebih dari 50 orang perempuan jihadis.
“Tantangannya sekarang, kita masih sulit mengidentifikasi mereka. Bisa jadi masih banyak Dian lainnya di seluruh Indonesia, dan kita tidak tahu bagaimana menjangkaunya karena perekrutannya bersifat individul,” terangnya. Ia berharap pemerintah dapat memfasilitasi perwakilan ormas Islam di luar negeri untuk melakukan dakwah ke kantong TKI/TKW mengenai bahaya paham NIIS, sehingga terhindar dari hasutan dan doktrin radikalisme. (Berbagai sumber/R24)