Site icon PinterPolitik.com

Perempuan dan Ketimpangan Hukum

Perempuan dan Ketimpangan Hukum

ketimpangan hukum

Adegan memilukan ini berawal di Lampung, April 2016 lalu. Umi Khalsum, istri anggota DPRD Muhammad Pansor melaporkan suaminya hilang kepada Polda setempat. Umi cemas sang suami tak kunjung pulang dan tak bisa dihubungi sejak pertengahan April.


PinterPolitik.com (A27 – R)

[dropcap size=big]D[/dropcap]i saat yang hampir berdekatan, warga Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatera Selatan tiba-tiba heboh karena menemukan potongan kepala, sepasang kaki, panggul, dan lengan kiri tubuh manusia yang tersangkut di ranting aliran sungai Desa Tanjung Kemala. Mabes Polri buru-buru mendatangi lokasi dan melakukan uji DNA. Setelah proses panjang, akhirnya terungkap tubuh tersebut rupanya milik Muhammad Pansor bin Abdullah Bakri, anggota DPRD Lampung dari fraksi PDI-P yang keberadaannya sudah dicari keluarga sejak lama itu.

Hasil penelusuran selanjutnya, entah mengejutkan atau tidak, menyeret polisi sebagai pelaku kekerasan. Senin (10/4) lalu, kasus yang sudah bergulir tepat setahun ini, menjatuhkan hukuman mati kepada oknum polisi, Brigadir Medi Andika, yang terbukti melakukan mutilasi sekaligus penembakan (pembunuhan berencana) terhadap Muhammad Pansor.

Muhammad Pansor (foto: istimewa)

Kejadian yang tak kalah mengiris hati terjadi pula di Bone, Sulawesi Selatan. Pertengahan tahun 2016 lalu, di malam hari pukul 21.00 WITA, Bripda Muhlis menjemput Hermawati, kekasih yang berprofesi sebagai bidan di kos-kosannya. Ia berniat menyudahi hubungan dengan gadis yang baru dikenalnya beberapa bulan. Hal ini dilakukannya karena ternyata si polisi muda hendak menikahi gadis idaman lain yang juga berprofesi sebagai bidan. Namun, Bripda Muhlis terbakar cemburu tatkala Arma, sapaan dekat Hermawati, lebih tertuju pada ponselnya. Seseorang menghubunginya terus menerus. Muhlis lantas melempar ponselnya dan langsung mengutarakan niatnya.

Hermawati, korban pembunuhan Bripda Mukhlis (foto: istimewa)

Arma tak terima dan marah. Muhlis gelap mata mencekik Hermawati sampai meninggal akibat kehabisan napas. Beberapa hari kemudian jasad Hermawati ditemukan oleh warga di perkebunan tebu. Tak lama setelahnya, Briptu Muhlis menyerahkan diri ke Kepolisian Resort Bone, Sulawesi Selatan.

Berbeda dari kisah mutilasi Muhammad Pansori, pelaku yang membunuh Hermawati hanya diganjar hukuman empat tahun penjara dari tuntutan 12 tahun. Martina Majid dari Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak (LPPA) berkomentar bahwa hukum yang dijatuhkan masih ringan dan tidak memihak korban, “Harusnya pelaku dihukum maksimal dan diberikan sanksi pemecatan karena sudah menghilangkan nyawa orang dan merusak citra petugas.” Sementara pakar hukum Bone mengatakan Jaksa Penuntut Umum seharusnya mengajukan banding karena vonis yang dijatuhkan pengadilan tidak sesuai dengan perbuatan pelaku. Namun belum ada kejelasan apakah jaksa akan melakukan naik banding.

Bripda mukhlis, pelaku pembunuhan Hermawati dalam reka ulang kejadian (foto: Tribun)

Peristiwa buruk yang menimpa anggota DPRD Lampung dan bidan muda di Bone itu harus sama-sama dilihat dalam kacamata yang adil. Tugas dan amanat yang diemban oleh seorang anggota DPRD, tak mengurangi kepentingan pekerjaan seorang bidan yang tiap harinya memberi pelayanan kesehatan hingga melakukan asuhan kesehatan kepada masyarakat. Namun, menimbang pernyataan dari lembaga LPPA dan pakar hukum, ternyata penerimaan hukuman terhadap pelaku yang sama-sama oknum anggota kepolisian kepada seorang anggota DPRD dan seorang bidan, bisa sangatlah timpang.

Bukan berarti, sang pelaku harus mendapat hukuman mati pula, namun dalam proses pengambilan keputusan hukum, secara empiris memang terjadi ketimpangan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh oknum polisi Bripda Muhlis dan yang menimpa Brigadir Medi Andika.

Kurangnya Perspektif Perempuan

Brutalitas yang dilakukan anggota kepolisian, memang sudah jamak sekali didengar, Tidak hanya menimpa anggota DPRD saja, teman-teman Papua juga lebih familiar mendengar kerabat atau keluarganya mati di tangan para polisi. Pula yang terjadi pada Herawati, tak bisa hanya secara enteng dilihat sebagai kasus kriminal cinta segitiga. Di dalamnya tak hanya terdapat brutalitas aparat kepolisian, tetapi juga ketimpangan hukuman yang menderanya.

Selain itu, perlu diingat pula bahwa aksi kekerasan dan kebrutalan yang dilakukan oknum kepolisian memiliki kemungkinan lebih besar terjadi atas dasar relasi kuasa dan dukungan kepemilikan senjata tajam oleh negara. Memang Hermawati tidak mengalami peristiwa penembakan seperti yang dialami oleh Muhammad Pansori, namun proses peradilan dan hukum sebagai fitur pengukur kekerasan, tidaklah adil. Pelaku yang membunuh Hermawati mendapat ganjaran penjara selama empat tahun. Sedangkan pelaku yang membunuh Pansori mendapat hukuman seumur hidup.

Selain itu, relasi kuasa timpang juga hadir dalam kasus pencekikan dirinya oleh sang pacar yang juga pelaku pembunuhan. Seorang anggota kepolisian paling tidak memiliki jurus dasar membela diri yang secara khsusus dilatih dalam institusi kepolisian, sedangkan Hermawati sama sekali tidak memiliki pertahanan tersebut.

Hukum yang memiliki perspektif perempuan memang masih sangat langka terjadi. Selain belum atau tidak pernah pernah diberlakukan, kultur maskulin yang terlampau kuat masih mendominasi cara hukum meneropong permasalahan perempuan. Prof. Sulistyawanto Irianto mengungkapkan pentingnya hukum memiliki perspektif perempuan atau yang juga dikenal dengan feminist jurisprudence atau feminist legal theory. Poin penting yang dapat dipetik adalah adanya stand point dari pengalaman perempuan.

Dalam kasus Hermawati, ketiadaan perspektif perempuan tersebut tidak menghiraukan pengalaman dirinya sebagai seseorang yang berada dalam hubungan ‘beracun’, atau hubungan yang mengandung kekerasan secara emosional. Hal tersebut terlihat dari sikap Bripda Muhlis yang cemburu dan curiga tidak setia terhadapnya. Kekerasan tersebut diperparah dengan ancaman yang dilakukan oleh Bripda Muhlis dan pembunuhan yang dilakukannya.

Institusi hukum memberi potongan masa hukuman kepada laki-laki yang membunuh istri, pacar, atau anggota keluarga perempuan lain, dibandingkan jika laki-laki membunuh orang asing lain. Bripda Muhlis, seperti yang disebutkan oleh Myrna Dawson, seorang profesor dari University of Guelph, mendapatkan apa yang dinamakan diskon keintiman atau intimacy discount. Hal ini terjadi hampir di seluruh dunia. Memandang perempuan sebagai sebuah objek kepemilikan atau properti, lewat status istri, pacar, adik perempuan, dan lainnya, sehingga pembunuhan terhadap mereka dianggap tidak seserius pembunuhan lainnya.

Hal tersebut pula yang akhirnya melahirkan aksi ‘honour killing’ atau pembunuhan terhormat yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan (keluarga, pasangan, kerabat, dll) dengan dalih mengembalikan kehormatan yang hilang akibat kelakuan perempuan. Aksi ini terjadi di Paksitan terhadap Qandeel Balouch. Ia dicekik sampai mati oleh sang kakak laki-laki akibat menolak berhenti menggunggah fotonya ke Facebook. Mengejutkan atau tidak, sang kakak setelahnya bebas melenggang tanpa jeratan hukuman apapun, karena hukum di Pakistan mengizinkan keluarga korban memaafkan pelaku pembunuhan, yang ironisnya banyak dilakukan oleh kerabat keluarganya sendiri.

Muhammad Waseer, Pelaku pembunugan sekaligus kakak laki-laki Qandeel Balouch (foto: Daily Mail)

Ketimpangan hukuman yang didapat pelaku pembunuhan perempuan, juga dinyatakan oleh Dawson, bahwa aksi tersebut dipandang oleh lembaga hukum sebagai hal yang spontan atau tak direncanakan. Dalam hal yang lebih buruk, pembunuhan terhadap perempuan dianggap sepele, karena hukum menganggap korban adalah pihak yang memprovokasi terlebih dahulu.

Kekerasan dan Ketidakadilan Perempuan

Kembali pada kasus Hermawati dan ketimpangan perlakuan hukum terhadapnya, kasus kekerasan perempuan hingga saat ini memang masih menempati angka yang tinggi. Azriana, Ketua Komnas Perempuan menyatakan, “sekali lagi ini masalah serius, dan harus diselesaikan secara serius. Harus kerjasama oleh berbagai pihak. Buat regulasi yang banyak tapi tidak ada upaya untuk edukasi masyarakat ya sama saja.” Ujarnya.

Di saat upaya hukum berspektif perempuan masih mengawang-awang dijalankan di pengadilan Indonesia, usaha meregulasi edukasi kepada masyarakat juga menjadi sebuah pekerjaan yang sungguh berat. Di tengah upaya dan hambatan tersebut, BPS pada Kamis (30/03) lalu, mengeluarkan angka perbandingan satu dari tiga perempuan mengalami kekerasan. Dengan begitu, 8,2 juta atau 9 persen perempuan dari seluruh penduduk Indonesia mengalami kekerasan. Perlu diingat bahwa hasil ini bisa saja belum meraih kasus kekerasan hingga menyebabkan kematian, karena hal tersebut lebih sering dikategorikan kriminal. Tetapi yang jelas, kasus Hermawati ini, salah satu yang menempati puncak-puncak gunung es yang menyimpan lebih banyak beban di bawahnya.

Membicarakan kekerasan yang terjadi, apalagi terhadap perempuan, tak bisa dipisahkan dari pembicaraan tentang patriarki. Sistem sosial yang mengistimewakan laki-laki ini, memiliki imbas maha dahsyat terhadap bagaimana masyarakat kita menilai dan memandang berbagai kekerasan yang terjad hari ini, terutama yang menimpa perempuan. Usaha melenyapkan patriarki harus terus dilakukan, selagi ketidakadilan masih terjadi, baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan.

Hari Kartini, Tegakkan Hukum Atas Kekerasan Perempuan

 “Keadilan tidak ada kaitanya dengan apa yang terjadi di ruang sidang; keadilan adalah apa yang keluar dari ruang sidang itu.”- Clarence Darrow

Jangankan Hermawati, bidan muda dari kelas menengah kota Bone. Seorang Raden Ajeng Jawa ningrat bernama Kartini tak luput dari sistem sosial patrarki yang menyiksa. Dirinya secara ironis harus hidup dan berkembang melewati hal-hal yang paling dibencinya dan selalu dikritiknya dalam surat-surat. Ia menikah dalam usia yang sangat muda, dan dipoligami pula. Dirinya tak berdaya dalam relasi kuasa tersebut, sekalipun pikirannya sudah melewati batas-batas zamannya saat itu, bahkan status seorang anak bupati Rembang tak banyak menyelamatkannya.

Wafatnya Kartini, tentu saja tidak mengundang investigasi penyebab kematiannya. Namun, satu hal yang harus kita ingat bersama melalui Hari Kartini ini, perempuan baik berasal dari kelas atas, kelas menengah, hingga paling bawah sekalipun, terus akan menghadapi ketimpangan relasi kuasa dan dominasi lelaki dalam bentuk dan wajah berbeda. Ini bisa berupa instansi kepolisian, lembaga hukum, keluarga, sosok suami, kekasih, kemiskinan, atau bahkan orang tua sendiri.

Hukum yang maskulin dan patriarkis, sangat kering perspektif perempuan dan sering tidak menghiraukan pengalaman perempuan, tidak akan mempan menangkap pelaku atau menjeratnya dengan hukuman yang adil. Dalam kasus Hermawati dan juga korban kekerasan lainnya, di mana pengalaman mereka tidak pernah diakomodir dan diperhitungkan, maka selama itu pula hukuman yang dijatuhkan oleh jaksa dan pengadilan, tidak akan pernah membuat para pelaku kejahatan benar-benar mengerti ‘harga’ dari kejahatan yang mereka lakukan.

Dan di hari Kartini ini, hal itu harus terus diperjuangkan. Dengan demikian, pengajuan naik banding oleh jaksa pengadilan di Bone, patut dan harus dilakukan demi Hermawati. (Berbagai Sumber/A27).

Exit mobile version