Setiap bangsa punya ragam kebudayaan yang berbeda-beda. Tapi, semua perempuan tentu ingin mendapatkan hak yang sama.
PinterPolitik.com
“You educate a man; you educate a man. You educate a woman; you educate a generation.”
-Bringham Young-
Pada 3 Maret lalu, telah dilangsungkan aksi Women’s March atau peringatan kesetaraan gender yang berlangsung di sejumlah kota, mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, sampai Surabaya. Seluruh gelombang parade tersebut dilaksanakan untuk menyambut Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret mendatang.
Tanggal tersebut tidak diambil secara sembarangan, karena merupakan hari penting dalam sejarah pergerakan perempuan dunia. Pencetusnya adalah Sosialis Jerman Clara Zetkins yang mengajukan tanggal tersebut sebagai International Working Women’s Day, dalam International Conference of Working Women kedua yang berlangsung pada tahun 1910.
Gerakan ini juga yang kemudian mengilhami diselenggarakannya Women’s Suffrage March di Washington DC, Amerika Serikat (AS) pada 3 Maret 1913. Aksi yang mengundang lebih dari 5.000 perempuan itu punya signifikansi besar untuk hak-hak politik perempuan di AS. Hak memilih dan dipilih akhirnya didapatkan perempuan AS secara menyeluruh di tahun 1920, di seluruh negara bagian Paman Sam.
Hingga kini, perempuan AS masih terus berusaha menempatkan diri setara dengan kolega prianya. Kesadaran akan hak perempuan pun terus meningkat. Tak hanya di kalangan tertentu, tapi juga di tengah masyarakat luas. Kesadaran yang sama pun menyebar ke banyak bangsa di dunia, termasuk Indonesia.
Seiring zaman, aksi-aksi kesetaraan gender ini masih relevan untuk dikemukakan hingga kini, sebab di beberapa bagian dunia lainnya, masih banyak perempuan yang belum mendapatkan hak-hak yang sama dengan lawan jenisnya.
Bahkan di Pemerintahan AS saat ini, Presiden Trump kerap mengeluarkan pernyataan maupun menetapkan kebijakan-kebijakan yang kerap beraroma misoginis (ketidaksukaan atau diskriminatif terhadap perempuan). Begitu juga dengan pendukung-pendukungnya yang cenderung seksis, menjadi ancaman tersendiri bagi para aktivis kesetaraan gender.
Lalu, bagaimana evolusi gerakan feminisme di AS hingga momentumnya dapat menjalar ke Indonesia?
Sejarah Feminisme
Ada sejumlah perdebatan yang muncul mengenai the origin of feminism, awal mula feminisme. Namun setidaknya, sebelum lahir feminisme secara gerakan, feminisme secara pemikiran dapat dilacak dalam karya milik Christine de Pizan di Perancis, abad ke-15. Simon de Beauvoir menulis, bahwa Pizan adalah salah satu penulis feminis pertama yang secara terbuka mempertahankan seksualitas feminin di hadapan maskulinitas.
Kemudian, barulah pada abad ke-18, semangat perlawanan perempuan dimanifestasikan dalam sebuah buku traktat berjudul A Vindication of the Rights of Woman, karya Mary Wallstonecraft dari Inggris. “Traktat feminis” ini adalah yang pertama dan secara komprehensif menyerukan hak pendidikan untuk perempuan.
Feminisme dalam bentuk gerakan baru mulai muncul di pertengahan abad ke-19, salah satunya melalui Seneca Falls Convention tahun 1848. Konvensi tersebut berjalan beriringan dengan semangat anti-perbudakan. Gerakan feminisme bertujuan untuk menyelamatkan perempuan dari perbudakan—sistem yang menjadikan perempuan tertindas dua kali. Pada era ini, ada juga upaya penulisan ulang sejarah dari perspektif feminis.
Dari tiga milestones utama pemikiran feminisme di atas, dapat dipahami bahwa feminisme adalah sebuah kesadaran untuk mempertahankan hak-hak dasar manusia yang juga dimilikinya. Perempuan yang selama ini dianggap sebagai second sex kini juga memiliki hak seksualitas, pendidikan, maupun pekerjaan yang sama dengan lawan jenisnya.
Di awal abad ke-20, barulah mulai muncul pergerakan masif yang menyerukan pentingnya perempuan masuk ke dalam politik. Pada saat itu, perempuan AS menuntut haknya untuk bisa memberikan suara yang sama dalam pemilihan umum.
Diperolehnya hak politik penuh perempuan AS di abad 20 ini, merupakan titik awal gerakan feminisme Barat untuk terus berkembang. Selain di AS, titik pergerakan perempuan juga terjadi di Eropa. Gelombang-gelombang lanjutan terus tumbuh pada dekade-dekade selanjutnya. Pada perkembangannya, arah semangat feminisme pun semakin menjurus kepada bentuk-bentuk yang lebih mikro—dari hal yang bersifat politik – kolektif kepada hal yang lebih individual.
Gelombang-gelombang lanjutan feminisme terus terjadi di AS. Secara perlahan, Barat menjadi pionir dari feminisme global dengan kemunculan banyak pemikir-pemikirnya.
Gerakan feminis ini pun kemudian terus menjalar ke berbagai negara. Layaknya biji tanaman, ia akan tumbuh sesuai dengan karakteristik tempatnya bertumbuh. Di negara lain, gerakan feminisme ini pun demikian, buah pergerakannya akan menghasilkan corak dan karakteristik yang unik di setiap negara.
Feminisme, Bukan Hanya Produk Barat
Secara universal, feminisme punya semangat perjuangan yang sama, yaitu melawan sistem patriarki yang mengeksklusi atau meminggirkan kelompok marjinal dalam kehidupan sosial, politik, maupun ekonomi. Ketimpangan ini, pada akhirnya memang lebih banyak meminggirkan kaum perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Namun karena gerakannya lahir dari Barat, banyak yang menuding kalau feminisme adalah produk Barat dan bagian dari bentuk westernisasi. Tudingan ini kerap dimiliki masyarakat yang tinggal di negara-negara Asia atau Timur, termasuk Indonesia.
Padahal, tentu tidak demikian. Feminisme sebenarnya hanyalah semangat dan upaya untuk meningkatkan kesadaraan masyarakat akan pentingnya memberikan ruang kesetaraan perempuan dalam ruang sosial, politik, ekonomi, maupun budaya.
Namun semangat ini tentu saja tidak bisa diterima begitu saja, terutama pada masyarakat yang masih kental memegang budaya patriarkinya, termasuk Indonesia. Budaya ini, salah satunya telah terpatri dalam adat dan istiadat di sebagian besar suku bangsa.
Dalam masalah pernikahan saja misalnya, perempuan kerap dianggap sebagai ‘komoditas’ oleh keluarganya. Di beberapa wilayah Indonesia pun, masih ada yang melakukan praktik semacam ini, termasuk upaya penjodohan anak perempuan dengan laki-laki yang tidak dikenalnya.
Walau merupakan adat budaya yang berlaku, namun sebenarnya, tindakan ini menempatkan perempuan sebagai korban karena hak-haknya dikebiri. Kepemilikan tubuhnya bukan lagi menjadi hak dirinya sendiri, tapi telah dirampas bahkan oleh orang-orang terdekatnya. Di sinilah feminisme berperan untuk mencegah hal tersebut terjadi.
Budaya patriarki ini tidak hanya tergambar di pedesaan maupun pedalaman Indonesia saja, di perkotaan bahkan di metropolitan seperti Jakarta, menurut data Sensus Ekonomi Nasional tahun 2010, sebanyak 67 persen perempuan perkotaan tidak bekerja. Para perempuan yang tidak bekerja ini, menurut survei tersebut, karena sebagian besarnya berpendidikan rendah. Sementara, 33 persen perempuan yang bekerja, umumnya memiliki pendidikan relatif tinggi.
Survei tersebut memperlihatkan fakta bahwa kehidupan perkotaan yang sudah lumayan modern pun masih menyimpan budaya patriarki, di mana perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi dan bekerja karena perannya lebih banyak di rumah tangga.
Meski sebagian besar suku bangsa di Indonesia menganut budaya patriarki, namun ada juga beberapa wilayah yang menganut sistem matrilineal, di mana perempuan memiliki peran lebih dominan dibanding laki-laki. Hanya saja, kebiasaan secara umum telah menempatkan perempuan menjadi subordinat, terutama di budaya Timur yang lebih kuat dalam mempertahankan adat istiadat.
Budaya patriarki sendiri, menurut Nietzsche, tercipta karena adanya kejadian alam semesta yang salah satu faktornya menentukan pendorong hidup. Nietzsche berkesimpulan kalau laki-laki memiliki keyakinan bahwa perempuan merupakan pelengkap hidupnya dan akibatnya semua peran dan tugas dimainkan oleh laki-laki.
Akibatnya, budaya patriarki ini menenggelamkan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Perempuan tidak memiliki peran dalam sisi manapun, dikarenakan semua peran telah dimainkan oleh laki-laki yang keyakinannya sebagai pemilik mutlak kekuasaan.
Lalu bagaimana feminisme dapat melawan budaya patriarki, khususnya yang masih kuat di Timur? Elisabeth Croll, pakar feminisme Timur, dalam bukunya Feminism and Socialism in China menulis kalau pendobrakan yang dilakukan feminisme lebih kuat pada budaya, ketimbang agama. Bila feminisme di dalam agama dapat diperdebatkan dalam tafsir tekstual dan relevansi kontekstualnya, tidak begitu dengan budaya. Kebudayaan adalah suatu praktik yang terus diturunkan tanpa ada basis moral sekuat agama.
Feminisme, sekali lagi, harus dilihat sebagai sebuah paradigma atau pandangan untuk mendobrak hambatan struktural dan kultural yang menghalangi mereka untuk mendapatkan hak-hak setara di masyarakat. Feminisme tidak dapat dikaitkan begitu saja dengan budaya Barat dan sekularisme, namun dari bagaimana tiap kelompok masyarakat – bukan hanya perempuan, dalam mendapatkan liberasi dirinya sendiri.
Di Indonesia sendiri, sejak 1912-an, RA Kartini merupakan feminis pertama yang berani menyebarluaskan pandangannya melalui tulisan. Sementara di era reformasi saat ini, feminisme telah mendapatkan kebebasan identitasnya, nyaris bersamaan dengan gelombang keempat feminisme Barat yang menolak diskriminasi personal dan pelecehan verbal kepada perempuan.
Masuknya gelombang pergerakan baru ini, dipercepat dengan kemajuan teknologi informasi diberbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Gerakan feminisme di Indonesia dapat saling memberikan pengaruh dengan gerakan feminisme di Barat. Sehingga tak heran bila gelombang feminisme Indonesia dapat beriringan dengan pergerakan yang terjadi di Barat.
Diharapkan dengan semakin maraknya gelombang gerakan kesetaraan gender ini, akan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat maupun perempuan itu sendiri, atas hak-hak yang dimilikinya.
Selamat bulan perempuan internasional! (R17)