Kabar memilukan datang dari dalam negeri. Laporan Tahunan Perdagangan Orang Tahun 2021 yang dipublikasikan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat (Kedubes AS) sebut Indonesia sebagai negara tujuan transit sindikat perdagangan manusia. Nyatanya, masalah ini sudah menjadi masalah klasik. Lantas, bagaimana motif dan pola kejahatan ini bisa terjadi?
Kejahatan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) memang seringkali menjadi persoalan klasik negara. Menurut Laporan Tahunan Perdagangan Orang oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat (Kedubes AS), sistem pengaduan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menerima aduan dari para pekerja yang bekerja di luar negeri sebanyak 4.675 pada tahun 2018, 9.377 pada tahun 2019, dan 1.812 pada tahun 2020.
Data tersebut sekilas memperlihatkan bahwa ada penurunan yang pesat terhadap aduan kasus perdagangan orang, namun Indonesia masih berada pada tingkat kedua dari tiga tingkatan penindakan perdagangan orang. Artinya, Indonesia masih berada pada tingkat menengah dalam menindak perdagangan orang. Indonesia sudah memiliki aturan, namun dalam implementasinya masih perlu penyempurnaan.
Meskipun demikian, hal ini tidak menjadikan reputasi baik bagi Indonesia. Nyatanya, dilansir dari data yang sama, Indonesia menjadi salah satu negara asal utama, negara tujuan, serta transit jalur TPPO dunia. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD pun mengakui bahwa perdagangan orang memiliki akar masalah yang kompleks dari segi pendidikan, kemiskinan, dan rendahnya literasi.
Adapun data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), sejak tahun 2019 hingga 2021 terdapat setidaknya 1.331 korban TPPO. Berdasarkan data ini, sebanyak 1.291 atau 97 persennya didominasi oleh perempuan dan anak-anak. Keduanya padahal masuk ke dalam kelompok yang rentan.
Sebenarnya seperti apa realita yang terjadi sehingga sulit sekali untuk meminimalisir kasus perdagangan orang di Indonesia?
Perdagangan Orang Adalah “Berkah”?
Sebelum masuk kepada poin inti terkait berkah terselubung, kita perlu membahas penyebab mengapa kasus perdagangan orang seringkali terjadi.
Kita mungkin sudah familiar dengan “dark vibes” jika mendengar seseorang yang terjerat hutang yang besar. Nuansa ini dapat kita lihat pada salah satu potret perjalanan hidup Juno (penari) dengan tokoh petinju dalam film Kucumbu Tubuh Indahku. Film ini bisa dibilang menarik karena kisah yang diangkat merupakan realita yang masih terjadi di era modern terutama pada budaya Jawa.
Ketika seseorang memiliki pendidikan yang rendah dan terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan, ia mungkin menjadi beban untuk generasi berikutnya, persis seperti konsep sandwich generation.
Ini menjadi sorotan yang lebih serius ketika terjadi pada orang-orang di desa atau daerah terpencil. Rendahnya keterampilan dan lapangan kerja membuat mereka sangat rentan untuk diiming-iming pekerjaan dan gaji.
Ini juga dapat dihubungkan dengan anggapan bahwa anak adalah hak milik orang tua sehingga dapat diperlakukan sesuai kehendak mereka. Tentunya, anak dianggap sebuah anugrah, tetapi bisa menjadi masalah ketika orang tua justru melihat mereka mengharapkan imbalan balik dari seorang anak sebagai bentuk bakti.
Fenomena sepert itu sesuai dengan konsep the gift paradox yang diungkapkan oleh Marcell Mauss, dimana pada umumnya tidak ada pemberian secara cuma-cuma. Semua bentuk pemberian pasti akan selalu diikuti oleh timbal balik atau imbalan. Menurutnya, ini adalah proses sosial yang dinamik dan menyeluruh di masyarakat. Bahkan si pengembali harus memberikan imbal balik yang melebihi apa yang dia terima sampai akhirnya terjadi proses tukar-menukar yang tiada habisnya.
Jika ingin lebih mencermati betapa beratnya permasalahan perdagangan orang, mungkin film ‘The Barcelona Vampiress’ dapat dijadikan salah satu rekomendasi yang harus ditonton. Film ini mengisahkan perdagangan anak yang dijual kepada elite. Bahkan, anak-anak ini diperdagangkan oleh mucikari.
Kedua film yang mengangkat isu perdagangan orang ini mungkin dapat dijadikan media untuk merefleksikan makna betapa berharga hak asasi seseorang, namun hal yang paling utama untuk disorot adalah memaknai adanya ‘keberkahan’ dalam kasus perdagangan orang.
Pada akhirnya, konsep ini tentu saja tidak sama dengan idiom “blessing in disguise”. Tidak mungkin suatu keberkahan memiliki risiko yang begitu tinggi hingga mengancam nyawa seseorang.
Lalu, bagaimana peran pemerintah dalam melihat fenomena kompleks ini?
Menelisik Peran Pemerintah sebagai “Guardian”
Beralih pada pembahasan terkait perlindungan dari sisi pemerintah, perspektif dari teori crime triangle yang diungkapkan oleh Rachel Boba bisa jadi satu kacamata yang sesuai. Teori ini melihat motif dan motivasi offenders alias pelaku TPPO yang juga menghubungkan aspek guardian, pihak yang seharusnya memberi perlindungan.
Perlu digarisbawahi bahwa teori ini tidak berusaha melihat faktor penyebab kriminalitas, pembahasan di atas sudah cukup menjelaskan hal tersebut dan mengamini bahwa aspek victim, alias target, memang memiliki kelemahan. Maka dari itu, fokus kali ini akan melihat aspek “guardian”, dalam hal ini pemerintah secara lebih lanjut.
Kembali merujuk kepada laporan Kedubes AS, pemerintah masih dinilai belum maksimal dalam menerapkan kebijakan terkait TPPO. Mungkin saja, pemerintah telah membuat gugus tugas, tetapi terdapat hambatan dari segi finansial, yaitu pemerintah mengurangi alokasi anggaran kantor koordinasi penanganan TPPO selama 5 tahun terakhir. Kantor ini sangat signifikan karena menjadi bagian dari tim gugus tugas.
Tentunya, hal ini juga berdampak pada kinerja karyawan, dimana angka penyidikan yang mengalami penurunan selama empat tahun berturut-turut. Selain itu, angka penuntutan dan putusan juga menurun dalam tiga tahun berturut-turut.
Dari segi regulasi, Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO yang menjadi salah satu payung hukum dalam memberantas kejahatan ini juga memiliki berbagai masalah, antara lainnya adalah, masalah pengaturan delik pidana yang tidak komprehensif yang mengatur semua perbuatan/proses perdagangan orang, tidak adanya penegasan terkait pengaturan persetujuan korban sehingga tidak menghilangkan penuntutan pidana, belum cukup kuatnya perlindungan pada anak, dan jaminan implementasi restitusi yang belum kuat.
Lantas, apakah pemerintah masih pantas dianggap sebagai guardian angel bagi mereka yang jadi korban perdagangan orang?
Belum Layak Disebut Guardian Angel?
Mungkin hal yang sangat mengecewakan adalah ketika pemerintah tidak berhasil menjadi sosok guardian angel bagi masyarakat. Apalagi bila hal tersebut sudah masuk pada ranah hak asasi manusia (HAM) seseorang.
Pada bulan April lalu, kita dikagetkan dengan kasus Bupati Langkat (nonaktif), Terbit Rencana Perangin-Angin yang melakukan aksi kerangkeng manusia. Kasus ini bahkan diperparah dengan adanya indikasi TPPO setelah diselidiki oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Adapun kasus TPPO di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang melibatkan pihak hukum. Seorang polisi berusaha membongkar dugaan TPPO sebuah perusahaan, namun polisi tersebut justru yang ditahan oleh Polda NTT. Selain itu, ada pula kasus TPPO yang tidak berjalan hingga kini, padahal sudah dilaporkan ke Polda Metro Jaya sejak tahun 2019. Ini menunjukkan bahwa dari segi penegakan hukum dan pengawasan masih perlu diperkuat.
Kemudian, beberapa laporan bahkan yang menyebutkan ada oknum-oknum yang juga terlibat dalam sejumlah kasus perdagangan manusia berasal dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sendiri, dan perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Ini menunjukkan bahwa sebagus apapun aturan yang dibuat, jika terdapat penyelewengan dari segi aparat dan oknum pemerintah yang bahkan bekerja sama dengan pihak penyalur, maka aturan tersebut tidak akan berguna.
Yang tidak kalah penting juga adalah persoalan mengenai pembekalan akhir pemberangkatan (PAP). Ini merupakan proses yang penting bagi TKI agar mereka dapat memperoleh pemahaman dan pendalaman terkait berbagai hal yang menyangkut hak dan kewajibannya sebagai TKI di luar negeri. Hal-hal tersebut meliputi peraturan perundang-undangan di negara tujuan, perjanjian kerja yang bersangkutan, dan materi lainnya yang diperlukan TKI.
Hingga kini, disebutkan bahwa ada sebanyak 60% TKI bermasalah dari segi non prosedural atau ilegal yang tidak mengikuti PAP.
Pada akhirnya, kita dapat melihat bahwa fenomena ini menjadi suatu hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Setiap orang berharga atas HAM-nya. Kita perlu melihat bahwa tindak pidana perdagangan orang bukan hanya didasari oleh faktor kurangnya pengawasan dan manajemen gugus tugas, tetapi juga didasari oleh budaya masyarakat itu sendiri.
Pemerintah selaku pelindung masyarakat juga perlu memperkuat perlindungan dan proses pemahaman TKI terhadap berbagai materi yang menyangkut dirinya melalui PAP. Ke depannya, semoga hal-hal ini bisa perlahan kita benahi agar persoalan perdagangan manusia tidak lagi menjadi momok yang terus menghantui para pekerja transnasional. (Z81)