Site icon PinterPolitik.com

Perda Syariah, Grace Menuju Ahok?

Grace Natalie saat berikan pidato pada HUT PSI ke-4 (Foto: IDN Times)

Pernyataan Grace Natalie yang menyatakan sikap politik PSI terkait Perda berlandaskan agama kembali menimbulkan polemik. Hal itu dianggap rugikan Jokowi-Ma’ruf, dan kemungkinan akan bernasib seperti Ahok?


Pinterpolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]ernyataan Grace Natalie saat HUT Partai Solidaritas Indonesia (PSI) beberapa waktu lalu terkait Peraturan Daerah (Perda) Syariah menimbulkan perbincangan yang cukup panas. Dalam kesempatan tersebut, Grace menyatakan bahwa partai yang dinahkodainya itu akan menolak Perda yang berlandaskan agama. Bola panas kemudian bergulir hingga berbuntut pelaporan atas dirinya ke polisi.

Persoalan Perda Syariah ini sudah menjadi polemik beberapa tahun silam. Pangkalnya sama, beberapa kalangan menilai aturan itu cenderung diskriminatif dan tidak pas jika diterapkan, sementara yang lain menilai peraturan itu perlu diterapkan untuk kepentingan umat Islam.

Pernyataan Grace Natalie tuai polemik, apakah senasib Ahok? Share on X

Isu ini kembali mengemuka dengan terjadinya pembelahan (polarisasi) terkait konteks Pilpres 2019. Bagi pihak Joko Widodo (Jokowi), sekalipun PSI adalah bagian dari koalisi, pernyataan Grace merupakan hal yang wajar dan menjadi hak partai politiknya.

Sementara bagi pendukung Prabowo, sikap PSI itu merupakan indikasi bahwa partai tersebut anti dengan Islam dan hal itu berbanding lurus dengan sikap politiknya di tubuh koalisi Jokowi.

Lantas, dengan potensi penggorengan isu tersebut, pertanyaannya adalah mungkinkah kisah Grace ini akan mengulang apa yang terjadi pada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)? Apakah dengan demikian ini juga akan merugikan Jokowi-Ma’ruf sebagai paslon yang didukung oleh PSI?

Anomali Grace Natalie

Grace natalie, Ketua Umum PSI, merepresentasikan segala sesuatu yang berbeda dalam lanskap politik Indonesia.

Ia adalah perempuan yang penuh anomali ketika laki-laki mendominasi ruang politik praktis di negara ini. Grace juga mewakili kelompok minoritas, ia hadir dengan atribut latar belakang Tionghoa non-Muslim. Dua predikat ini yang ketika menguatnya politik identitas, tertekan oleh kelompok-kelompok konservatif.

Selain itu, Grace juga hadir dari kelompok sipil, yang tidak mewakili elite politik maupun kelompok oligarki mana pun. Ia adalah sosok yang lahir dari kelompok kelas menengah, membangun karirnya dari jurnalistik – dimulai dari SCTV, ANTV hingga TVOne – serta pernah pula menjadi salah satu pimpinan di Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), sebuah think tank sekaligus lembaga survei.

Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menganggap PSI sebagai partai baru yang membutuhkan modal finansial yang kuat. Dari beberapa kegiatan politiknya, partai ini menunjukkan dirinya memiliki dukungan finansial yang besar.

Oleh karenanya, tidak heran jika ada beberapa pihak yang menyebut atas dasar latar belakang Grace tersebut, membuat PSI memiliki kedekatan dengan para pebisnis media, misalnya dengan pemilik SCTV, Eddy Kusnadi Sariaatmadja.

Di samping Edy, ada juga sosok Jeffry Geovanie, yang adalah pebisnis sekaligus menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina PSI.Jeffrie Geovanie juga dikenal sebagai politisi “kutu loncat” yang kerap berpindah-pindah partai. Ia sempat berada di PAN, Golkar, Nasdem, Perindo, PKB, hingga akhirnya kini berada di PSI.

Jeffrie juga disinyalir memiliki kedekatan dengan konglomerat tertentu mengingat dirinya pernah menjabat sebagai Direktur Bank Artha Prima Jakarta, sekalipun peran Jeffrie sebagai pendana dibantah Grace Natalie.

Dalam platformnya, PSI hadir sebagai partai yang berkomitmen untuk berperang melawan korupsi dan intoleransi. Penyebabnya adalah dua poin tersebut memiliki urgensi yang harus ditangani.

Oleh sebab itu, isu terkait Perda Syariah juga turut menjadi konsen PSI jika duduk di DPR. Komitmen itu pada akhirnya disampaikan Ketua PSI Grace dalam HUT ke-4 PSI di Tangerang.

Grace mengatakan PSI memiliki misi untuk mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi, dan intoleransi di Indonesia. Karenanya, partai yang baru pertama kali akan berlaga pada Pemilu tahun depan ini tidak bakal mendukung Perda Syariah juga Perda Injil.

Dalam hal ini, PSI sebagai partai liberal cukup berani bersuara di tengah isu yang cukup sensitif. Bahkan koalisi di tubuh Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin tidak satu suara dengan PSI, misalnya saja PPP. Partai berlambang ka’bah tersebut memang salah satu partai Islam yang cukup getol menyuarakan Perda Syariah.

Selain itu, pernyataan Grace tersebut dianggap sebagai “keberanian yang putus asa” untuk mendongkrak suara PSI. Seperti diketahui, elektabilitas PSI hingga kini masih diangka nol koma dan diprediksi cukup sulit untuk lolos ke kursi DPR.

Dengan menjual isu yang kontroversial, diharapkan akan meningkatkan brand awareness PSI sehingga menigkatkan elektabilitasnya, terutama di kalangan pemilih liberal dan kelompok-kelompok minoritas.

Kemungkinan “di-Ahok-kan”?

Memang, problem besar bangsa ini masih seputar persoalan lama, yakni korupsi, intoleransi, dan antipluralisme. Terkait dua isu terakhir, kemunculannya merupakan barang yang “seksi”, sehingga dapat menimbulkan gejolak yang sangat tinggi. Isu SARA sangat mudah terbakar dalam peta sosial-politik Indonesia.

Hal ini cukup banyak disinggung dalam buku berjudul Politics of Shari’a Law tulisan Dr. Michael Buehler yang diluncurkan di School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London dan membahas peningkatan Perda Syariah di Indonesia.

Buehler melakukan penelitian lapangan antara lain di Sulawesi Selatan dan Jawa Barat maupun kawasan-kawasan lain, seperti Banten dan Aceh dan pada dasarnya mengkaji latar belakang dari peningkatan penerapan Perda Syariah di berbagai daerah di Indonesia, sekalipun perolehan suara partai-partai Islam justru menurun.

Perolehan suara empat partai politik Islam yang dikaji Buehler – PBB, PKS, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) dan PPP – menunjukkan tidak banyak perubahan dalam empat Pemilu antara 1999 hingga 2014.

Walau perolehan suara keempat partai itu pernah mencapai 18,9 persen – yang tertinggi pada pemilu 2004 – namun menurun kembali dalam pemilu 2014 menjadi 14,78 persen atau hanya lebih tinggi 0,14 persen dibanding Pemilu 1999.

Pada saat bersamaan, muncul 443 Perda Syariah yang diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia sejak tahun 1998.

Menurut Buehler, peningkatan Perda Syariah antara lain disebabkan oleh demokratisasi yang membuat partai-partai Islam – yang tidak memiliki kelembagaan yang baik – harus mengaspirasi jaringan pegiat Islamis sebagai dukungan politiknya.

Penerapan Pemilu yang demokratis menciptakan tekanan baru bagi elite yang berkuasa untuk memobilisasi dan membuat struktur wilayah pemilihan, dan oleh karena itu membuka peluang-peluang baru bagi pegiat Islamis untuk mempengaruhi kebijakan politik.

Perda Syariah di Indonesia tidak hanya menjadi pertanda dari pergeseran ideologis yang meluas dalam masyarakat Indonesia, namun lebih sebagai hasil dari politik pemanfaatan berbasis isu.

Politisi yang butuh mobilisasi warga dalam konteks Pemilu, kini mengandalkan kelompok-kelompok yang mendorong penerapan Perda Syariah. Padahal, politisi-politisi yang mendorong penerapan Perda itu bukanlah pegiat Islamis.

Buehler juga berujar jika dirinya ragu para politisi itu benar-benar yakin pada Perda Syariah atau mengetahui banyak tentang hal itu. Politisi Indonesia yang menerapkan perda seperti itu, dengan kata lain, adalah Islam oportunis.

Jika menggunakan argumentasi Buehler, ada kemungkinan besar jika isu Perda Syariah tersebut akan dibawa turun ke jalan. Apalagi ada pihak-pihak – pegiat Islam dalam bahasa Buehler – yang memanfaatkan isu tersebut untuk kepentingan politisnya.

Bukan suatu yang baru sebenarnya melihat politisasi agama di Indonesia. Tentu publik masih ingat bagaimana isu mantan Gubernur DKI Jakarta, Ahok digoreng sedemikian rupa hingga menimbulkan demo berjilid-jilid dan mengirim dirinya ke balik jeruji besi.

Jika kondisi ini semakin meruncing, bukan tidak mungkin Grace akan “di-Ahok-kan”. Saat ini Grace sudah dilaporkan oleh Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Eggi Sudjana. Seperti yang diketahui publik, Eggi merupakan politisi PAN dan salah satu pentolan Aksi 212 di zaman Ahok.

Lebih lanjut, Eggi juga menyebutkan bahwa Grace bisa mendapatkan hukuman yang lebih berat dari pada Ahok, apalagi sebentar lagi akan diadakan Reuni Akbar 212. Jika isu ini bergulir semakin tajam, bukan tidak mungkin hal tersebut akan menjadi salah satu agenda acara reuni itu.

Blunder untuk Jokowi?

Di lain pihak, isu ini juga bisa merugikan Jokowi secara elektoral. Sebab, PSI merupakan salah satu partai pendukung Jokowi-Ma’ruf

Dalam perspektif Buehler di atas, disebutkan jika kondisi sosio-kultural Indonesia masih mendukung Perda Syariah, meskipun suara-suara partai Islam jeblok. Masyarakat dengan sendirinya akan menilai Jokowi sebagai sosok yang anti-Islam, dan tidak memperjuangkan kepentingan mereka.

Akan dengan sangat mudah masyarakat menilai bahwa sikap PSI itu merupakan sikap dari koalisi Jokowi-Ma’ruf Amin, meskipun beberapa pihak dalam koalisi tersebut telah menyatakan jika sikap tersebut murni sikap PSI sebagai partai resmi.

Meskipun begitu, sebenarnya ada dua sosok besar yang pernah menolak kehadiran Perda Syariah tersebut. Mereka adalah (alm) KH Hasyim Muzadi dan Ahmad Syafi’i Maarif atau Buya Syafi’i.

KH Hasyim Muzadi yang adalah mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terang-terangan menolak Perda Syariah pada 2006 lalu karena NU menerima Pancasila sebagai azas tunggal. Munculnya Perda Syariah membuat Hasyim berpikir ada berbagai kelompok yang berusaha untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara.

Sementara, Buya Syafi’I yang adalah mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah pernah menyatakan hal senada dengan Hasyim Muzadi pada 2006. Ia mengatakan Perda Syariah Islam tidak perlu ada sebab Indonesia telah memiliki Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam konteks hari ini, ada beberapa tokoh Islam yang sependapat dengan Hasyim dan Maarif, yakni Mahfud MD dan Yenny Wahid. Bisa saja suara Mahfud dan Yenny adalah upaya menghalau pandangan masyarakat terhadap Jokowi dan mencegah potensi Grace “di-Ahok-kan”.

Yang jelas, peluang kasus ini mendapatkan eskalasi dampak sangat mungkin terjadi. Jika isu ini mudah digoreng, sangat mungkin kita akan menyaksikan aksi-aksi berjilid terjadi beberapa waktu nanti. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (A37)

Exit mobile version