HomeNalar PolitikPercumakah Indonesia Jadi Presiden G-20?

Percumakah Indonesia Jadi Presiden G-20?

Indonesia mendapat giliran menjadi Presiden G-20 untuk tahun 2022. Pemerintah dan banyak pengamat berharap kepemimpinan ini bisa digunakan Indonesia untuk membawa kepentingan negara-negara berkembang lainnya. Pertanyaannya, apakah memang mungkin suara kita didengar oleh para negara ekonomi besar yang terlibat dalam G-20? 


PinterPolitik.com 

Pada tahun 2022 ini, Indonesia akhirnya mendapat kesempatan menjadi “presiden dunia” untuk pertama kalinya. Ya, kita akan menjabat sebagai Presiden, sekaligus tuan rumah pertemuan G-20, ini adalah perkumpulan dari 19 negara ekonomi besar dunia dan Uni Eropa yang utamanya membahas permasalahan ekonomi dan keuangan global. Presidensi ini kita laksanakan sejak tanggal 1 Desember 2021 sampai 22 November 2022 nanti. 

Mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan, setidaknya ada tiga isu utama yang dijadikan prioritas dalam pertemuan G-20, yaitu; isu kesehatan atau penanganan pandemi Covid-19, penanganan perubahan iklim dan mekanisme pembiayaannya, serta perpajakan internasional.  

Dengan membawa tiga pembahasan utama ini, Jokowi berharap presidensi G-20 Indonesia mampu digunakan untuk membangun tata kelola kesehatan dan ekonomi dunia yang lebih berkeadilan. Masa kepemimpinan ini menurutnya juga adalah momentum bagi Indonesia untuk berperan lebih besar dan menentukan arah pemulihan perekonomian dunia. 

Selain itu, Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno Marsudi mengatakan, peran tambahan yang juga akan diemban oleh Indonesia adalah sebagai penyalur suara dari negara-negara berkembang dan least developed countries (LDC) atau negara terbelakang. Karena itu, untuk kali pertama, Indonesia mengundang negara-negara kepulauan kecil di kawasan Pasifik dan Karibia sebagai tamu dalam pertemuan G-20. 

Menariknya, Retno menyebutkan, dalam pertemuan G-20 tahun ini, target utama yang sesungguhnya ingin dicapai Indonesia adalah bagaimana negara-negara besar yang terlibat dalam kelompok ini, seperti Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, dapat berbuat lebih untuk negara yang lain, terutama untuk negara berkembang. Menurutnya, G-20 sebagai kelompok negara ekonomi terbesar harus mampu menjadi katalis bagi kerja sama yang konkret dan bermanfaat bagi negara berkembang. 

Tujuan ini mendapat dorongan dari pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah. Melalui pertemuan G-20, Indonesia bisa mewujudkan dirinya sebagai jembatan antara negara maju dan negara berkembang, karena pada dasarnya pertemuan seperti ini adalah untuk mengatasi krisis dunia dengan pendekatan yang kolaboratif 

Indonesia jelas membawa agenda yang mulia dengan Presidensi G-20. Lantas, pertanyaannya kemudian adalah, apakah kita benar-benar mampu membawa perubahan dalam pertemuan bergengsi tersebut? 

Baca juga: Mungkinkah Dunia Dalam Satu Pemerintahan?

Meraba Daya Tawar Indonesia 

Pengamat ekonomi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Zamroni Salim dalam artikelnya Indonesia in the G20: Benefits and Challenges Amidst National Interests and Priorities, menyebutkan bahwa daya tawar negara dalam pertemuan G-20 ditentukan oleh apa yang disebut sebagai structural power. 

Structural power dijelaskan oleh pengamat ekonomi internasional, Susan Strange, sebagai kekuatan untuk membentuk dan menentukan struktur ekonomi politik global, di mana daya tawar suatu negara dan usaha ekonomi mereka berjalan sesuai perbandingan kapasitasnya dengan negara lain, tentunya, pandangan power seperti ini memisahkan negara mana yang dominan dan mana yang tidak. Ada banyak hal yang mempengaruhi structural power, tetapi dalam konteks G-20, yang paling diutamakan adalah kapasitas ekonomi suatu negara. 

Baca juga :  Kabinet Prabowo Rasa Jokowi

Zamroni menyebut kekuatan ekonomi politik negara suatu negara dipengaruhi oleh Produk Domestik Bruto (PDB) dan PDB per kapita. PDB adalah ukuran yang baik untuk melihat kekuatan ekonomi, tetapi tidak mampu mencakup pembangunan ekonomi, hal itu lebih baik diukur dengan PDB per kapita. 

Lantas, bagaimana structural power Indonesia dalam G-20? 

Well, berdasarkan data dari Trading Economics, meskipun PDB Indonesia pada tahun 2020 cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara anggota G-20 lain, yaitu menempati posisi ke-5 dari paling bawah dengan nilai US$ 1,58 triliun, PDB kita masih di bawah rata-rata total PDB anggota G-20 yaitu sekitar US$ 3,4 triliun. Untuk PDB per kapita kita jelas tidak mendekati rata-rata karena menempati posisi ke-2 paling bawah di atas India, dengan nilai US$ 3.757. Sementara, yang menempati posisi paling tinggi dari PDB dan PDB per kapita adalah AS. 

Karena ini, Zamroni mengatakan bahwa pengaruh kekuatan AS dalam G-20 akan tetap dominan dan hegemoninya hampir tidak akan bisa terganggu gugat oleh koalisi negara-negara yang nilai ekonominya tidak mendekati rata-rata PDB dan PDB per kapita total anggota G-20. Oleh karena itu, negara-negara maju masih menikmati manfaat yang lebih besar dari pembangunan global, di mana posisi negara-negara seperti AS, Uni Eropa, dan Jepang masih mampu mengendalikan kepentingan dari negara-negara berkembang. 

Meskipun begitu, Yulius P Hermawan dan kawan-kawan (dkk) dalam artikel The Role of Indonesia in the G-20: Background, Role and Objectives of Indonesia’s Membership, mengatakan bahwa PDB dan PDB per kapita bukan satu-satunya sumber kekuatan Indonesia dalam ekonomi politik internasional. Indonesia memiliki keunggulan strategis yang bisa dan perlu dimanfaatkan, yaitu posisinya sebagai salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia, dan doktrin politik luar negeri bebasaktifnya. 

Mengapa ini penting? Yulius dkk menyebut karena Indonesia perlu bertindak sebagai pembicara dari komunitas negara-negara yang mayoritas tidak terlibat dalam G-20, seperti Perhimpunan Negara-Negara di Kawasan Asia Tenggara (ASEAN), negara-negara Islam, dan negara berkembang secara umumnya. 

Dengan demikian, jika agenda-agenda presidensi G-20 yang sudah disiapkan Indonesia sungguh-sungguh ingin didengarkan oleh para negara besar, Jokowi harus juga memformulasikan kepentingan yang kolektif dari kelompok negara yang sudah disebutkan di atas. 

Tapi kemudian, pertanyaan besarnya adalah, memangnya negara besar G-20 membuka kesempatan untuk adanya perubahan?  

Baca juga: Demokrasi Indonesia Keteteran Kapitalisme?

G-20, Sebuah Revolusi Semu? 

Sejauh apapun kita memperdebatkan sejauh mana Indonesia dapat berpengaruh di pertemuan G-20, kita kembali harus merenungkan, sebenarnya mengapa negara-negara besar rela meluangkan waktu dan tenaga berkumpul untuk mendengar kepentingan dari negara berkembang? 

Baca juga :  Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Ahli bahasa sekaligus filsuf AS, Noam Chomsky dalam wawancaranya dengan media Democracy Now yang berjudul Noam Chomsky on the Global Economic Crisis, Healthcare, US Foreign Policy and Resistance to American Empire, menilai bahwa pertemuan G-20 sesungguhnya hanya berperan sebagai ilusi kebersamaan, yang tujuannya ingin menciptakan citra kerja sama dan harmoni antara negara maju dan negara berkembang.  

Baca juga: Siapkah Jokowi Bila ASEAN Bubar?

Chomsky mengatakan, dunia mungkin memiliki krisis besar yang perlu dihadapi bersama, seperti krisis pandemi dan perubahan iklim, dan G-20 seakan-akan mampu menjadi jembatan kita semua untuk berkomitmen mengatasi krisis semacam itu secara bersama-sama. Padahal, Chomsky menilai itu semua hanya gimik, karena kenyataannya alur acara G-20 hanya berjalan sesuai persetujuan dan keinginan dari para negara besar. 

Ini kemudian dibuktikan dari bagaimana negara seperti AS, Tiongkok, dan Rusia dalam setiap pertemuan G-20 selalu lebih mendapat sorotan akibat pertemuan sela acara yang mereka lakukan antara satu sama lain, yang diduga kuat membicarakan isu-isu geopolitik. Kemudian, tidak jarang juga justru pertemuan G-20 malah lebih banyak memperdebatkan hal yang tidak berkaitan langsung dengan ekonomi internasional, seperti pada pertemuan tahun 2020 ketika Uni Eropa mengecam dugaan pelanggaran HAM oleh Arab Saudi.  

Lebih lanjutnya, kalaupun memang ada kesepakatan yang tampak menguntungkan negara berkembang, draf-draf pertemuan G-20 tidak pernah bersifat mengikat, sehingga negara memiliki hak untuk tidak memenuhinya. 

Berangkat dari pandangan ini, Tom Chodor dalam tulisannya A Nébuleuse for a New World Order? The G20 From a Neo-Gramscian Perspective menilai bahwa pertemuan G-20 seperti hanya menjadi “revolusi pasif”, di mana dunia dijanjikan mendapatkan panggung untuk melakukan perubahan, padahal sesungguhnya hegemoni ekonomi global masih di tangan negara besar seperti AS. 

Tapi, ini bukan berarti Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa. Indonesia sering disebut sebagai negara menengah atau sebuah middle power. Laura Neack dalam tulisannya Searching for Middle Powers, menyebutkan bahwa negara seperti Indonesia memiliki keunggulan untuk menjaga eksistensialismenya dengan bermain secara “anggun” di antara kepentingan para negara maju.  

Oleh karena itu, politik luar negeri negara middle power harus diatur sekian rupa untuk kemudian mempersuasi ataupun mengintimidasi salah satu negara besar untuk lebih memberikan dukungan terhadap agenda yang sejalan dengan kepentingan nasional negara menengah ini. 

Berangkat dari realita ini, angan-angan Indonesia untuk menjadi pembawa perubahan global sepertinya adalah mimpi yang masih terlalu jauh. Namun, pertemuan G-20 memang bisa digunakan untuk menjamin survivabilitas Indonesia di panggung internasional. Pandangan seperti inilah yang paling nyata untuk diyakini oleh kita ataupun calon pemimpin Indonesia di masa yang mendatang dalam melihat pertemuan besar internasional. (D74) 

Baca juga: KTT Demokrasi AS, Pemicu Perang?

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?