Seri pemikiran Fareed Zakaria #33
Prioritas vaksinasi Covid-19 agaknya akan menemui kendala yang cukup menyulitkan bagi pemerintahan baru AS di bawah Presiden Joe Biden. Lantas, apakah hal itu menggambarkan proyeksi intrik tertentu dari signifikansi AS sebagai produsen vaksin global dan korelasi persaingannya dengan Tiongkok?
Eksistensi dan ketersediaan vaksin Covid-19 secara global yang masih menemui tanda tanya, tak lantas menyurutkan ambisi sejumlah negara untuk menganggap vaksinasi merupakan juru selamat dan andalan paling logis demi keluar dari pandemi beserta dampak turunannya.
Indonesia pun tak ketinggalan. Dinamika program vaksinasi Covid-19 nasional – yang dianggap menjadi game changer pemulihan ekonomi – kini mengarah pada kembali dibukanya opsi vaksinasi mandiri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sontak wacana ini menuai reaksi yang mayoritas cenderung skeptis dan bermuara pada presumsi komersialisasi vaksin, yang dinilai justru akan melenceng dari tujuan kekebalan kelompok (herd immunity) secara tepat, hingga diskursus mengenai asas kesetaraan dan keadilan.
Tidak hanya di Indonesia, isu vaksinasi Covid-19 juga menjadi pembicaraan cukup hangat yang kini tengah mengemuka di Gedung Putih, Amerika Serikat (AS).
Di bawah administrasi baru Joe Biden, agenda dan hasil program vaksinasi Covid-19 negeri adidaya itu dinilai akan punya dampak signifikan, tak hanya secara domestik namun juga secara global.
Mengingat selama ini, penanganan pandemi Covid-19 di AS dianggap menjadi sampel negatif akibat statistik yang menempatkan negeri Paman Sam di puncak daftar negara dengan kasus dan tingkat kematian tertinggi di dunia.
Baca juga: Ribka-Jokowi, Drama Vaksin PDIP?
Hal itu tergambar dalam sebuah survei Pew Research Center di 13 negara, di mana 84 persen responden sepakat bahwa AS selama ini telah ceroboh dalam penanganan pandemi, dan percaya penanganan di negara mereka masih lebih baik.
Dalam sebuah kolom tulisan terbarunya di The Washington Post, Fareed Zakaria juga menyoroti hal serupa. Dengan mengutip kolumnis Irish Times, Fintan O’Toole, digambarkan sikap baru dunia yang punya persepsi “aneh” terhadap negeri Paman Sam, yakni bukan lagi kekaguman atau kebencian, tetapi lebih kepada sikap “kasihan” terhadap AS untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.
Impresi itu yang kemudian dianggap menambah urgensi dan prioritas yang harus dilakukan Biden di awal masa kepemimpinannya. Mulai dari keniscayaan menangani pandemi, memulai kembali ekonomi, membangun kembali kredibilitas AS di panggung dunia, dan bersaing secara efektif dengan Tiongkok.
Menurut Zakaria, ada satu hal yang dapat dia lakukan dan dinilai dapat menjadi kunci untuk mengatasi semua masalah itu sekaligus, yakni memvaksinasi semua warga AS secepat mungkin. Tujuan Biden saat ini untuk melakukan vaksinasi satu juta orang per hari untuk mencapai 100 juta orang dalam 100 hari, dianggap terlalu sederhana.
Walaupun dengan berbagai kendala yang secara realistis memang harus dihadapi, hal itu memang mau tak mau harus diupayakan Biden. Upaya dan strategi vaksinasi disebut harus setara dengan wartime effort atau langkah-langkah pada masa perang.
Dan memang, satu hari setelah dilantik Presiden Biden langsung meminta setiap lembaga federal dan lembaga pendukung lainnya untuk menggunakan semua kewenangan dan instrumen hukum yang tersedia.
Biden juga “mengerahkan” Defense Production Act untuk meningkatkan suplai vaksin, produksi dan distribusinya, plus diperkuat dengan lima executive order-nya.
Zakaria menganggap jika pemerintahan Biden berhasil menunaikan urgensi vaksinasi Covid-19 sebagai ihwal yang paling mendesak saat ini, ke depannya hal itu akan memberikan impresi bahwa America is back atau Amerika telah kembali.
Namun pertanyaannya, mungkinkah hal itu dapat terjadi dengan realita dan kecenderungan yang ada?
Biden Akan Gagal?
Kiranya pemimpin negara memang sedang berkejaran dengan waktu untuk dapat keluar dari pandemi dan kemudaratan multi aspek yang ditimbulkannya saat ini. Itu pula yang bisa saja terjadi pada Biden, yang ditambah lagi baru saja memulai pemerintahannya.
Dalam publikasi di Foreign Affairs yang berjudul A Perilous Presidential Handoff, Timothy Naftali menjabarkan bahwas secara historis, semua pemerintahan baru AS pasti menghadapi godaan tersendiri — terutama di tengah krisis — untuk mempercepat dimulainya era yang baru.
Naftali mencontohkan transisi dari Dwight Eisenhower yang agresif kepada John F. Kennedy yang lebih lunak, kemudian berujung pada inkonsistensi manuver AS pada isu krusial kala itu, seperti di krisis Teluk Babi, hingga operasi militer di Asia Tenggara, khususnya di Laos dan Vietnam. Yang mana AS kemudian harus menerima konsekuensi minor di dua kesempatan tersebut.
Baca juga: Vaksin Ditantang, Jokowi “Menendang”
Khusus bagi Biden, sumber godaan yang cukup besar saat ini bagi administrasi Biden dan timnya di Gedung Putih disebut ialah urgensi de-Trumpification, atau menghilangkan ide, pengaruh, dan kebijakan pendahulunya, Donald Trump.
Kecenderungan itu yang kiranya terlihat pula dari kebijakan vaksinasi Covid-19 Biden, di mana ia mencanangkan 100 juta dosis vaksin tersuntikkan dalam 100 hari pertamanya. Tampak berupaya kontras dengan lambatnya vaksinasi di bawah kendali Trump sejak 14 Desember yang masih ada di kisaran belasan juta injeksi.
Namun, Naftali menyiratkan bahwa, berkaca pada Trump yang juga punya pendukung loyal serta faktor simetris dan asimetris lainnya, kecenderungan kebijakan domestik ataupun luar negeri berbasis de-trumpification itu bisa jadi bumerang jika tidak dicermati dengan baik.
Dan khusus untuk masalah vaksinasi Biden, sebuah tulisan di Global Times yang berjudul Pandemic may reach 2022 if Biden’s vaccine plan fails, menyebutkan sejumlah variabel yang bisa saja membuat ambisi vaksinasi Biden punya ganjalan besar dan tak menemui tujuan akhirnya.
Pertama, terkait dengan yang Naftali katakan, efek narasi anti-sains mantan Presiden Trump membuat sejumlah warga AS, baik yang memilih Trump atau tidak, mungkin enggan untuk divaksinasi. Mulai dari yang disebabkan kekhawatiran tentang efektivitas dan keamanan vaksin, hingga penolakan atas dasar hak mereka atas “kebebasan”, termasuk kalangan antivaxxer.
Kedua, AS yang sejauh ini hanya menggunakan vaksin lokal yakni Pfizer dan Moderna, tengah dihantui kekhawatiran resistensi atas efek samping yang terjadi pasca injeksi di Israel dan Norwegia, bahkan di AS sendiri.
Ketiga, berdasarkan catatan, cakupan vaksinasi flu di AS sendiri telah lebih rendah dari 50 persen selama bertahun-tahun. Sebuah statistik yang tak menutup kemungkinan punya torehan serupa dengan persentase vaksinasi Covid-19 yang mungkin sulit pula mencapai angka 50 persen. Mengingat vaksinasi Covid-19 tidak menjadi kewajiban bagi warga AS sampai saat ini. Muaranya, tentu kekebalan kelompok yang merupakan tujuan akhir vaksinasi mungkin tak akan tercapai dan segala upaya menjadi sia-sia.
Baca juga: Misteri Efikasi Vaksin Sinovac
Belum termasuk kendala dari ancaman mutasi virus yang lebih cepat menular, serta faktor kendala distribusi dan koordinasi level negara bagian, hingga kota atau county yang di dalam negeri AS sendiri masih menjadi pertanyaan.
Jika beberapa variabel itu menemui kenyataan, ambisi akselerasi vaksinasi Covid-19 Biden tak menutup kemungkinan akan terhambat atau bahkan gagal. Plus, di saat yang sama, harapan Zakaria bahwa America is back boleh jadi tak akan menemui realitanya dalam waktu dekat.
Lalu, jika itu terjadi adakah dampak bagi program vaksinasi Covid-19 Indonesia yang juga ingin dieksekusi secara cepat oleh Presiden Jokowi?
Terimbas Perang Narasi?
Meskipun vaksinasi idealnya memang berbicara konteks kemanusiaan, preseden kompetisi kiranya tak bisa dikesampingkan begitu saja dari produksi dan distribusi vaksin Covid-19 secara global. Apalagi ketika realitanya produsen vaksin menjanjikan didominasi produsen asal AS dan Tiongkok.
Dalam The US, China and Asia after the pandemic: more, not less, tension, Ryan Hass dan Kevin Dong menyebut dua kekuatan itu terperosok dalam narrative warfare atau perang naratif sejak muncul narasi penyebab pandemi dan pembagian kesalahan atas kehancuran global yang ditimbulkannya, yang dinilai perebutan pengaruh adalah muaranya.
Hal itu pun disebut merembet hingga dinamika vaksin Covid-19 sampai saat ini. Sejumlah narasi tampak silih berganti tereksploitasi. Mulai dari keunggulan vaksin asal Tiongkok “di awal laga”, lalu munculnya vaksin asal AS dengan klaim efektivitas tinggi, impresi ekspor vaksin ke sejumlah negara, hingga dinamika efek samping yang muncul kini.
Disadari atau tidak, isu yang berkembang di balik adu narasi itu agaknya memang turut mempengaruhi kompleksitas rencana vaksinasi Covid-19 di Indonesia, mulai dari izin penggunaan darurat, estimasi waktu, hingga distribusinya.
Isu efek samping vaksin Pfizer misalnya, membuat anak buah Jokowi, yakni Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, turut angkat bicara dan menyebut pemerintah akan mengevaluasi pemesanannya.
Sebelumnya, diskursus persentase efektivitas vaksin Sinovac juga dinilai turut andil dalam penundaan eksekusi vaksinasi Covid-19 nasional yang sejatinya direncanakan berlangsung segera setelah tiba pada Desember 2020 lalu.
Oleh karenanya, Presiden Jokowi dinilai harus sangat cermat dan tak terlampau tergesa berkeputusan dalam kebijakan vaksinasi Covid-19 Indonesia. Tentu jika kembali berkaca pada kompleksitas isu dan potensi adanya perang narasi AS dan Tiongkok di baliknya. (J61)
Baca juga: Vaksin Covid-19, Indonesia Proyek Beta?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.