Baik kubu Jokowi maupun Prabowo, kemungkinan besar akan memilih cawapres yang dekat dengan para ulama. Akankah Pilpres nanti menjadi perang pengaruh bagi ulama?
PinterPolitik.com
“Di antara politisi, penghargaan terhadap agama itu membawa keuntungan.” ~ Benjamin Whichcote
[dropcap]M[/dropcap]emasuki Agustus, kesibukan kedua kubu koalisi – baik Pemerintah maupun oposisi semakin tinggi. Apalagi pembukaan pendaftaran calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung di Pemilihan Presiden 2019 sudah akan dibuka pada tanggal 4 hingga 10 Agustus mendatang.
Bila di pihak petahana, Joko Widodo dan kesembilan partai politik pendukungnya menyatakan telah sepakat dengan satu nama yang hingga kini masih dirahasiakan. Di pihak Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra tersebut sepertinya masih dipusingkan dengan siapa yang sebaiknya ia pilih untuk mendampinginya berlaga nantinya.
Usai meraih tambahan dukungan suara dan logistik yang besar dari Partai Demokrat, sebelumnya banyak pihak menduga mantan Danjen Kopassus itu akan juga meminang Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapresnya. Apalagi, putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini diakui memiliki elektabilitas cukup tinggi.
Namun situasi berubah, setelah Prabowo datang ke acara Ijtima GNPF Ulama yang berlangsung Jumat (27/7) lalu. Sebab kelompok yang merupakan pentolan dari Persaudaraan Alumni 212 tersebut mengeluarkan rekomendasi dua nama cawapres yang diharapkan dipilih oleh Prabowo, yaitu Salim Segaf Aljufri atau Abdul Somad.
#2019PrabowoPresident08
Pasangan Prabowo Subianto – Abdul Somad Batubara yg di rekom ijtima’ ulama adalah antisipasi terhadap Jokowi yg berpasangan dgn siapapun..!
Sami’naa wa atho’naa…— Pelosok Desa #2019GantiPresiden (@Syahab29885285) August 1, 2018
Sebagai capres pilihan GNPF Ulama, rekomendasi cawapres tersebut tentu membuat
Prabowo harus mengkomunikasikan kembali pada parpol pendukungnya, yaitu PAN dan Demokrat. Sedangkan PKS merupakan yang paling diuntungkan dengan rekomendasi tersebut, sebab Salim Segaf merupakan Ketua Majelis Syuro PKS.
Banyak pihak menilai, rekomendasi GNPF Ulama tersebut membuat posisi Prabowo terjepit. Mengingat secara moral, ia memiliki utang budi pada gerakan 212 yang berhasil memenangkan partainya di Pilkada DKI Jakarta lalu. Namun di sisi lain, baik Salim Segaf maupun Abdul Somad bukanlah tokoh yang bisa mendongkrak elektabilitasnya.
Sementara di kubu Jokowi, ada begitu banyak sosok yang tak hanya dekat dengan ulama dan umat Islam, namun juga memiliki elektabilitas dan kapabilitas yang tinggi. Beberapa nama yang disinyalir sempat dipertimbangkan oleh Jokowi, adalah Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Romahurmuziy, Mahfud MD, Ma’ruf Amin, dan Tuan Guru Bajang (TGB).
Berkaca dari strategi Jokowi, kemungkinan besar GNPF Ulama juga menginginkan agar Prabowo mengusung cawapresnya dari kalangan ulama, bukan AHY yang berasal dari parpol berideologi nasionalis. Sehingga, bila Prabowo bersedia menerima rekomendasi tersebut, mungkinkah Pilpres nanti juga akan menjadi pertarungan antar ulama?
Ulama, Umpan Penarik Elektoral
“Agama adalah hal sempurna untuk membuat masyarakat awam bungkam.” ~ Napoleon Bonaparte
Kaisar Prancis yang namanya cukup legendaris, Napoleon Bonaparte, dikabarkan memilih menjadi seorang Muslim setelah membaca kitab suci dari semua agama yang ada di dunia. Menurutnya, Alquran berisi ajaran-ajaran yang sangat ‘membumi’ dan mengajarkan kedamaian bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil alamin).
Walau tidak banyak diceritakan, namun keyakinan Napoleon untuk menghayati Islam dan menjadi seorang Muslim, tentu tidak begitu saja ia lakukan. Bisa jadi hidayah tersebut, ia dapatkan setelah sempat dikalahkan oleh Pasukan Turki di era Ustmani, di mana saat itu tak sedikit ulama yang ikut berperang mempertahankan kedaulatan negerinya.
Di tanah air, peran ulama dalam kehidupan politik nasional, juga diakui ikut berpengaruh sejak perjuangan dalam meraih kemerdekaan. Fakta ini dibuktikan dari banyaknya pahlawan nasional yang tak hanya seorang pejuang tangguh, tapi juga pembela agama maupun ulama yang sangat dihormati di daerahnya.
Setelah kemerdekaan diraih, organisasi massa Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga tak pernah absen untuk ikut berperan dalam kehidupan politik. Hanya saja, selama ini ormas dan para ulama lebih ditekankan hanya untuk penarik suara elektoral bagi partai politik.
Peran ulama yang mampu membentuk opini masyarakat ini, berdasarkan penelitian Clifford Geertz, adalah karena ulama dianggap sebagai perantara antara doktrin atau dogma agama dalam kehidupan masyarakat. Tak terkecuali di sektor politik, di mana ulama juga harus mampu menerjemahkan isu-isu politik berdasarkan ajaran agama.
Sehingga walau tidak masuk dalam pemerintahan, menurut Noah Feldman dalam buku The fall and rise of the Islamic state, posisi ulama sebagai panutan dan simbol pengikat masyarakat, menjadikannya memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi ketaatan masyarakat terhadap penguasa, baik melalui fatwa maupun ajaran-ajarannya.
Hal senada juga disampaikan Meir Hatida dalam ʿUlamaʾ, Politics, and the Public Sphere. Menurutnya, ulama secara tak langsung memiliki kendali dalam opini publik dan merupakan perwakilan informal masyarakatnya. Akibatnya, sangat wajar bila parpol maupun para elit politik kerap menggunakan ulama untuk dapat mendulang suara.
Namun di sisi lain, berbekal kepercayaan dari masyarakat tersebut, ulama juga memiliki fungsi kontrol terhadap setiap kebijakan penguasa. Ulama tak hanya mampu menjadi stabilisator dan penengah antara penguasa dengan rakyat, tapi juga sebagai penggerak gerakan massa apabila penguasa dianggap lengah dalam melaksanakan tugasnya.
“Perang” Komodifikasi Ulama
“Ketika agama dan politik berkendara di gerobak yang sama, angin puyuh akan menerpa.” ~ Frank Herbert
Bagi Novelis Frank Herbert yang terkenal lewat karyanya, Dune, agama dan politik akan sulit bila harus berada dalam satu ‘kereta’. Baginya, agama merupakan ajaran yang lebih mengutamakan pada etika sosial dan moralitas. Sementara politik, lebih banyak berada di sisi yang berseberangan dari dua unsur tersebut.
Pernyataan Herbert ini, tentu bertentangan dengan pernyataan Immanuel Kant yang mengatakan kalau agama merupakan pengantar bagi tugas suci yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin. Bagi Kant, agama harus terlibat dalam politik agar tercipta kepemimpinan yang bersih dan amanah.
Idealnya, keterlibatan agama dalam politik memang seharusnya seperti yang diinginkan oleh filsuf era pencerahan tersebut. Namun dalam kenyataannya, agama malah lebih sering sekedar dijadikan alat bagi para politikus untuk mendapatkan kekuasaan dengan mudah. Dalam hal ini, tentu tak lepas dari bantuan penggiringan opini dari para ulama.
Contoh dari kekuasaan informal luar biasa yang dimiliki para ulama, telah dibuktikan pada Pilkada DKI Jakarta lalu. Tak heran bila kekuatan itu pun langsung dipelihara dan dilembagakan melalui PA 212, agar kekuasaan yang lebih besar akan dapat dengan mudah diraih pula pada kontestasi kepresidenan tahun depan.
Demi menghadapi kekuatan besar itu pula, pada akhirnya Jokowi sebagai petahana harus memilih cawapres yang mampu menangkal serangan religius kelompok oposisi. Dengan mendekati para ulama dan memberikan porsi cawapres dari kalangan Muslim, Jokowi berharap mampu bertahan dari serangan oposisi yang menggunakan isu-isu agama.
Strategi Jokowi yang diperkirakan akan memberi porsi cawapres pada tokoh Muslim inilah, diperkirakan menjadi pendorong bagi GNPF Ulama dalam merekomendasikan cawapres versi mereka pada Prabowo. Apalagi, usai Pilkada DKI lalu, Prabowo memiliki perjanjian tak tertulis untuk mengakomodir keinginan pentolan PA 212 tersebut.
Terlepas dari siapa nantinya cawapres yang akan dipilih oleh Jokowi maupun Prabowo, namun menurut Greg Fealy, bentuk pertukaran pengaruh dan kepercayaan rakyat pada ulama dengan kursi cawapres ini, diistilahkan sebagai komodifikasi ulama. Dalam hal ini, keimanan dan simbol-simbol ulama ditransaksikan demi mendapatkan kekuasaan.
Menariknya, baik kubu Jokowi dan Prabowo mendapat dukungan dari kelompok ulama yang berbeda pula. Bila Jokowi mendapat dukungan dari para ulama tradisional dengan gerakan Islam damai, pihak Prabowo lebih banyak didukung oleh para ulama modern yang dikenal vokal dan cenderung ekstrim, bila tak bisa dibilang radikal.
Sehingga bisa dibayangkan, di Pilpres tahun depan kemungkinan para ulama pun akan saling ‘bertarung’ demi memenangkan capres dukungannya masing-masing. (R24)