“Jadi saat ini kita menuju pada sebuah istilah yang kami namakan perang total,” Moeldoko, Ketua Harian TKN Jokowi-Ma’ruf
Pinterpolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]eski tak bersenjata, Pilpres 2019 tampaknya memang sudah serupa dengan medan perang bagi para pendukung kandidat yang berlaga. Segala jenis sumber daya akan ditembakkan sebagai peluru untuk melemahkan kekuatan lawan. Memang, perang yang dimaksud bukanlah perang fisik. Tetapi, suhu dan intensitasnya tergolong sangat tinggi.
Anggapan Pilpres serupa perang ini tampak akan meningkat eskalasinya seiring dengan strategi perang total yang diwacanakan oleh Ketua Harian Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin, Moeldoko. Mantan Panglima TNI tersebut menyebutkan bahwa segala jenis sumber daya akan dikerahkan untuk memenangkan Jokowi dalam perang total tersebut.
Moeldoko tak merinci secara jelas strategi perang total yang disebutnya itu. Ia hanya menyebut bahwa pihaknya sudah mengetahui center of gravity kubu lawannya, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, untuk menjalankan strategi perang total tersebut.
Lalu, apa maksudnya strategi perang total yang akan dijalankan oleh Moeldoko tersebut? Adakah keuntungan atau konsekuensi dari strategi yang lazim dikenal dalam dunia militer tersebut?
Demi 70 Persen
Dalam politik Indonesia, rasanya tak ada yang membahas perang total saat berkampanye sebelum Moeldoko menyebutnya. Meski tak lazim, jika melihat latar belakang militer Kepala Staf Kepresidenan itu, hal ini tentu tidak mengherankan.
Sebagaimana disebut di atas, strategi ini akan dijalankan karena TKN Jokowi-Ma’ruf mengaku sudah mengetahui center of gravity kubu lawannya. Dalam dunia militer, center of gravity ini merujuk pada titik pusat kekuatan lawan.
Strategi ini disebut-sebut digunakan karena kubu Jokowi-Ma’ruf mengincar kemenangan hingga 70 persen. Pada titik ini, mereka seperti tengah menjawab kepercayaan diri lawannya yang menyebut bisa menang dengan suara sekitar 60 persen.
Meski mengejar suara, kubu Jokowi menampik bahwa strategi ini dijalankan karena elektabilitas suara mereka stagnan. Jika merujuk pada berbagai hasil survei, memang suara Jokowi nyaris tak bergerak terlalu banyak. Tetapi, menurut Moeldoko, langkah ini diambil justru untuk mengoptimalisasi kemenangan.
Langkah ini akan dijalankan dengan mengerahkan tim kampanye dan kekuatan yang ada di daerah dengan target yang jelas dan konkret. Jika merujuk pada Moeldoko, strategi ini akan berkoordinasi dengan pemimpin-pemimpin yang ada di daerah.
Menurut TKN, strategi ini digunakan untuk memaksimalkan perolehan suara Jokowi di zona-zona merah. Zona ini merujuk pada wilayah di mana perolehan suara Jokowi di Pilpres 2014 kalah atau menang dengan suara kecil.
Sepintas, perang total ini seperti melengkapi strategi TKN yang sudah diutarakan terlebih dahulu. Beberapa waktu lalu, Ketua TKN, Erick Thohir menyebutkan bahwa mereka akan memasuki mode menyerang. Dalam kadar tertentu, perang total ala Moeldoko ini bisa dianggap sebagai langkah lanjutan dari mode menyerang ala Erick tersebut.
Perang Total
Istilah perang total atau total war memang cenderung lebih lekat dengan dunia perang dan militer. Jika merujuk kepada kamus Oxford, perang total berarti perang yang tak memiliki batasan dalam hal penggunaan senjata, wilayah atau kombatan yang terlibat, atau tujuan yang dikejar. Digambarkan juga bahwa aturan-aturan yang disepakati dalam perang diabaikan.
Istilah ini disebut-sebut bersumber dari karya ahli militer Prussia, Carl von Clausewitz yang menyebutnya dengan absoluter Krieg. Terminologi tersebut sebenarnya kerap dianggap dekat dengan perang absolut alih-alih perang total. Tetapi, kedua hal tersebut sebenarnya kerap dianggap setara. Selain itu, karya jenderal Jerman di Perang Dunia I, Erich Ludendorf juga dianggap menjadi sumber utama dari istilah perang total.
Dengan ini kami ingin mempertanyakan pak Moeldoko apa maksud bapak dengan ucapan bapak siap untuk "PERANG TOTAL" itu…?@GeneralMoeldoko@jokowi
Mohon penjelasan agar tdk membuat rakyat dan umat Islam RESAH. Mau Pemilu kok Pakai kalimat Perang Perang? TOTAL lagi.
Terimakasih.— tengkuzulkarnain (@ustadtengkuzul) February 17, 2019
Sebenarnya, istilah perang total juga dapat digunakan untuk menggambarkan strategi perang di zaman yang lebih awal. Merujuk pada Janice J. Terry dan kawan-kawan, Genghis Khan di era Mongol kuno dianggap melakukan strategi tersebut. Menurut Terry dan kawan-kawan, mereka melakukan perang total dengan memobilisasi seluruh sumber daya, termasuk personil militer, pekerja non-kombatan, intelijen, transportasi, uang, dan perbekalan.
Dalam kadar tertentu, istilah perang total juga tergolong identik dengan sosok Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Jerman pada tahun 1943. Salah satu pidatonya “Sportpalast” yang berarti perang total, dianggap sebagai pidato Goebbels yang paling terkenal.
Dalam pidatonya tersebut, Goebbels mengajak warga Jerman untuk melanjutkan peperangan meski jalannya akan sangat lama dan menyulitkan. Kala itu, Jerman beserta aliansinya dalam Blok Poros memang tengah mengalami kesulitan karena kalah dalam beberapa pertarungan penting dengan pasukan Sekutu. Untuk menghadapi itu, memang sempat ada instruksi bahwa Jerman akan mobilisasi besar-besaran untuk membalikkan keadaan.
Jika disarikan, memang ada kesamaan antara strategi yang disebutkan oleh Moeldoko dengan perang total sebagai strategi militer. Sebagaimana disebut oleh Moeldoko, perang total mengandung unsur memobilisasi seluruh sumber daya untuk memenangkan pertarungan.
Konotasi Negatif
Jika melihat kondisi di atas, strategi perang total memang memiliki potensi untuk memudahkan kemenangan suatu perterumpuran Dalam konteks tersebut, meski lebih lazim untuk militer, strategi untuk memobilisasi seluruh sumber daya juga bisa saja berhasil untuk dunia politik.
Meski memiliki potensi, strategi ini bukannya tanpa risiko. Jika melihat penggambaran perang total di era-era terdahulu, strategi ini berpotensi memiliki konotasi negatif. Tak hanya dari pelakunya seperti Mongol kuno dan Jerman di Perang Dunia II, strategi ini berpotensi dicap negatif dari praktiknya itu sendiri.
Apa maksud dari perang total ala Moeldoko? Share on XJika mengambil konteks Goebbels misalnya, pidato Sportpalast ia keluarkan ketika Jerman dan aliansinya baru saja ditimpa kekalahan di beberapa pertempuran. Pada titik ini, wajar jika kemudian publik ada yang mengartikan bahwa strategi perang total diambil karena elektabilitas Jokowi yang cenderung stagnan.
Selain itu, sebagaimana disebut di atas, ada unsur di mana strategi ini bisa mengabaikan aturan perang yang sudah disepakati. Ada unsur di mana tak ada batasan dalam senjata, pelaku perang, dan teritori dalam strategi ini yang dapat membuatnya ditafsirkan negatif.
Memang ada praktik perang total yang hanya menyoroti mobilisasi sumber daya saja. Akan tetapi, ada unsur di mana perang ini seperti menghalalkan segala cara untuk memenangkan pertarungan. Pada titik tersebut, publik mungkin akan bertanya-tanya, apakah strategi menghalalkan segala cara ini juga akan dilakukan?
Pak @GeneralMoeldoko inikah yg bapak maksud dengan perang total? Seperti inikah demokrasi kalian maknai?
Atau perang total seperti apa yg kira2 bapak maksudkan?
Hei kalian @bawaslu_RI masihkan kalian punya hati demi sumpah jabatan? pic.twitter.com/keWRhv93ui
— ??FERDINAND HUTAHAEAN?? (@FerdinandHaean_) February 16, 2019
Memori tentang perang yang dilakukan oleh Genghis Khan di Mongol kuno terlampau sulit untuk dilepaskan dalam konteks ini. Mobilisasi besar-besaran dalam perang yang dilakukan salah satu pemimpin paling besar sepanjang sejarah itu berdampak amat buruk kepada daerah yang diserang karena semua objek yang ada jadi sasaran serangan.
Apalagi, sebagaimana disebut oleh Moeldoko, pihaknya telah berkoordinasi dengan pemimpin-pemimpin di daerah. Jika melihat polanya, pemimpin-pemimpin ini tergolong rawan melakukan pelanggaran Pemilu. Mobilisasi massa dan imbauan kerap terjadi ketika pemimpin-pemimpin daerah ini terlibat secara aktif dalam kampanye.
Pada titik ini, istilah perang total yang digunakan Moeldoko berpotensi merugikan banyak pihak. Jika benar perang yang dilakukan adalah menghalalkan segala cara, maka citra Pemilu Indonesia yang adil dapat terganggu. Sementara itu, bagi kubu Jokowi sendiri, strategi ini terlanjur dekat dengan citra menghalalkan segala cara, sehingga kampanyenya di tahun ini menjadi ternoda.
Pada akhirnya, patut ditunggu seperti apa perang total ini akan bekerja. Akan tetapi, berbagai tudingan elektabilitas dan kekhawatiran menghalalkan segala cara terlanjur sudah bergulir. Jika tidak dieksekusi dan diterjemahkan dengan baik, strategi ini bukan tidak mungkin berujung pada hal yang membahayakan. (H33)