Site icon PinterPolitik.com

Perang Simbol Jokowi-FPI di Istiqlal

Perang Simbol Jokowi-FPI di Istiqlal

Presiden Jokowi (tengah) saat meninjau persiapan penerapan New Normal di Masjid Istiqlal Jakarta, Juni 2020 (Foto: Detik)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan renovasi besar-besaran Masjid Istiqlal, Jakarta. Renovasi itu disebut-sebut menelan biaya hingga Rp 511 miliar. Kendati terlihat sebagai proyek biasa, namun  jika kita mengingat konteks Jokowi sebagai Presiden yang kerap memainkan politik simbol, maka patut dipertanyakan apakah ada pesan tertentu yang ingin disampaikan Presiden terkait renovasi masjid terbesar di Asia Tenggara tersebut?


PinterPolitik.com 

Siapa yang tidak tahu Masjid Istiqlal? Ya, rumah ibadah umat Islam yang berlokasi di Jakarta ini memang punya pertalian sejarah yang cukup panjang. 

Tak perlu jadi warga Ibu Kota untuk bisa mengenal Istiqlal. Sebab saban tahun, para petinggi negara termasuk Presiden dan Wakil Presiden RI pasti menghadiri ibadah Salat Idul Fitri dan Idul Adha yang disiarkan secara langsung dari masjid ini. 

Pembangunan Masjid Istiqlal sendiri diprakasai langsung oleh Presiden pertama RI, Soekarno. Maka tak heran, selain berfungsi sebagai masjid negara, Istiqlal juga bisa dibilang telah menjadi simbol identitas keislaman masyarakat Indonesia. 

Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan langsung proyek renovasi Masjid Istiqlal. Pemugaran yang ditaksir menelan biaya hingga Rp 511 miliar dan melibatkan 1.000 pekerja ini disebut-sebut menjadi renovasi besar-besaran pertama Istiqlal sejak 1979. 

Dalam pidatonya, Presiden menyebut bahwa renovasi ini dimaksudkan agar masjid itu menjadi semakin megah, namun bukan untuk gagah-gagahan. Iya juga menekankan bahwa Masjid Istiqlal adalah simbol kebanggaan bukan hanya bagi umat Islam melainkan bangsa Indonesia.

Renovasi Masjid Istiqlal disebut-sebut merupakan ide Presiden Jokowi sendiri.  Proyek ini mulai dikerjakan sejak Mei 2019 dan rampung 100 persen pada Juli 2020. Namun, baru diresmikan Kamis, 7 Januari 2021 kemarin.

Sekilas, memang terlihat bahwa peresmian renovasi Masjid Istiqlal ini tak ada bedanya dengan peresmian proyek-proyek lain yang digarap negara. Namun hal ini bisa diinterpretasikan ke dalam banyak konteks jika kita mengingat Presiden Jokowi merupakan sosok yang amat mahir memainkan simbol-simbol politik.   

Kimly Ngoun dalam tulisannya yang berjudul What Southeast Asian Leaders Can Learn from Jokowi sempat memuji kemampuan Presiden dalam memainkan simbol-simbol politik. Ia berpendapat mantan Wali Kota Solo itu mampu mengkonstruksi seperangkat simbol yang membedakan dirinya dengan pemimpin-pemimpin lain di Asia Tenggara.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka patut dipertanyakan juga apakah renovasi Masjid Istiqlal yang diinisiasi oleh Presiden Jokowi ini juga punya makna politik tersendiri? Jika iya apa kira-kira pesan yang ingin disampaikan Presiden?

Politik Simbol ala Jokowi

Kimly Ngoun menilai cara Jokowi menumbuhkan kekuatan politiknya merupakan fenomena yang menarik untuk diamati. Menurutnya strategi yang dipakai Jokowi tidak hanya membawa perspektif baru ke dalam kehidupan politik Indonesia, tetapi juga menantang pemahaman yang ada tentang kekuatan politik di Asia Tenggara.

Ia menggaris bawahi bahwa sejak awal kemunculannya, Jokowi dinilai sudah mahir memainkan politik simbol. Misalnya memakai pakaian sehari-hari dan mengendarai mobil biasa untuk bekerja, hingga mengunjungi kelompok masyarakat kelas bawah di Jakarta dan mendengarkan masalah mereka. 

Jokowi, menurut Kimly, membiarkan tindakannya berbicara lebih keras daripada kata-kata. Gambaran dirinya sebagai orang yang jujur, peduli, transparan, dan pendengar yang baik memberinya dukungan populer yang sangat besar hingga membuatnya berhasil memenangkan Pilpres pertamanya di 2014.  

Graeme Gill dalam dalam tulisannya Symbolism and Politics juga pernah menjabarkan signifikansi politik simbol bagi penguasa. Ia menyebut bahwa untuk dapat berhasil mencapai makna dan tujuannya, simbol-simbol yang ada harus dapat beresonansi dengan perspektif masyarakat.

Bagi penguasa, simbol itu harus dapat selaras dengan dasar intelektual dan emosional masyarakat serta diarahkan untuk mendapatkan dukungan bagi rezim, plus, menjadi elemen kunci bagi proses politik yang berkelanjutan.

Sepanjang masa kepemimpinannya, Jokowi kerap diduga mengirimkan simbol-simbol politik di momen-momen krusial. Contohnya ketika Ia dan jajaran kabinetnya menggelar rapat  terbatas di atas geladak kapal perang Imam Bonjol di Laut Natuna medio 2016 lalu. 

Rapat ini dilakukan hanya selang lima hari setelah KRI Imam Bonjol menangkap 12 kapal Tiongkok yang nyelonong masuk teritorial Indonesia.

Rapat di tengah laut itu pun mengundang perhatian media asing. Time di hari itu juga langsung membuat headline dengan judul cukup provokatif ‘Presiden Indonesia Jokowi Kunjungi Pulau Natuna untuk Mengirimkan Sinyal Kuat kepada Tiongkok.’

Sebelum itu, Jokowi juga disebut mengirimkan simbol politik kala Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI menggelar sidang perkara dugaan pencatutan nama Presiden dalam kasus ‘Papa minta saham’ yang dilakukan eks Ketua DPR Setya Novanto. Di tengah sengitnya persidangan tersebut, Jokowi mengundang para pelawak dalam negeri ke Istana negara. 

Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago menerjemahkan simbol itu sebagai cara Jokowi untuk menyampaikan bahwa Ia telah memprediksi putusan MKD terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan Setya Novanto akan melegakan dalam arti sesuai harapan publik.

Istiqlal Simbol Mumpuni

Sejak awal digagas, Masjid Istiqlal memang dibangun bukan hanya untuk sarana peribadatan, namun juga berperan sebagai simbol toleransi antar umat beragama. Tak hanya berlokasi dekat dengan Gereja Katedral Jakarta, Masjid Istiqlal bahkan dirancang oleh seorang arsitek non muslim bernama Friedrich Silaban

Kendati demikian, pemanfaatan Istiqlal sebagai simbol identitas keislaman nasional sebenarnya tak melulu berkutat pada bangunan fisiknya saja. Dalam beberapa kesempatan, pemerintahan Jokowi juga diduga kerap melibatkan Imam Besar Masjid Istiqlal yang saat ini dijabat oleh Nasaruddin Umar dalam sejumlah agenda-agenda penting. 

Misalnya pada masa libur Idul Fitri 2020 lalu, Nasaruddin Umar turut memberi imbauan kepada masyarakat untuk tak melakukan mudik di tengah pandemi Covid-19. Selain itu, mantan Wakil Menteri Agama era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu juga kerap dilibatkan dalam kegiatan sosialisasi protokol kesehatan hingga terkait vaksin. Hal ini membuktikan signifikansi dan peran sentral Istiqlal dalam diskursus politik keagamaan di Indonesia. 

Kendati demikian, Jokowi bukan lah satu-satunya pemimpin yang memanfaatkan rumah ibadah sebagai simbol politiknya. Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan terkait polemik pengembalian fungsi Hagia Sophia sebagai masjid dari sebelumnya sebagai museum. 

Seren Selvin Korkmaz dalam tulisannya yang berjudul Erdoğan and The Symbolic War over Hagia Sophia mengatakan bahwa Hagia Sophia telah lama menjadi arena ‘perang simbolik’ antara golongan sekularis dan Islamis di Turki. Seperti diketahui, bangunan tersebut memang memiliki sejarah panjang dan kerap berubah-ubah fungsi dari awalnya sebagai katedral, masjid, hingga menjadi museum. 

Selama bertahun-tahun, kubu konservatif Turki, yang bersandar pada Islamisme dan nasionalisme, telah bermimpi untuk mengubahnya kembali menjadi masjid, dan Erdoğan kini telah mewujudkan impian mereka. Namun, latar belakang keputusan itu diambil agaknya lebih dari sekadar keinginan untuk mewujudkan tujuan Islamis jangka panjang.

Seren mengatakan bahwa Erdoğan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) saat ini menghadapi tantangan politik domestik yang berat selama pandemi Covid-19. Jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan bahwa AKP akan kesulitan memenangkan mayoritas dalam pemilihan presiden mendatang. 

Dalam keadaan ini dan dengan tidak adanya kebijakan konkret untuk menangani masalah ekonomi dan politik negara, Erdoğan mencari keselamatan melalui politik identitas populis. Dia mendorong nasionalisme dan Islamisme Turki serta menargetkan tokoh-tokoh oposisi. 

Singkatnya, Seren ingin mengatakan bahwa ketika menghadapi kesulitan politik dalam negeri yang besar, Erdoğan sering mengeksploitasi polarisasi dan perpecahan sosial yang ada di Turki 

Kembali ke konteks dalam negeri, meski mungkin telah direncanakan, namun tak dapat dipungkiri peresmian renovasi Istiqlal oleh Presiden Jokowi tak lama setelah pemerintah membubarkan Front Pembela Islam (FPI) akhir tahun lalu membuatnya sulit untuk tak mengait-ngaitkan dua fenomena ini. 

Apalagi, FPI sendiri kerap memanfaatkan Istiqlal sebagai titik awal dari aksi-aksinya mengkritik pemerintah, katakan lah aksi 411, 212, hingga yang terbaru aksi 1310 yang menolak pengesahan Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). 

Singkatnya, di dimensi yang berbeda, peresmian renovasi ini bisa dipandang sebagai upaya Jokowi untuk merekonstruksi ulang image Masjid Istiqlal yang selama ini dijadikan titik awal bagi pergerakan-pergerakan golongan Islamis untuk menentang dirinya. Jika asumsi ini benar, maka Masjid Istiqlal, layaknya Hagia Sophia di Turki, merupakan area perang politik simbol antara Jokowi dan kubu FPI. 

Kendati begitu, kiranya tetap perlu disadari bahwa segala ulasan ini bersifat interpretatif semata yang tentunya terbuka untuk diperdebatkan lebih lanjut. Yang bisa mengonfirmasi apakah ada keterkaitan antara peresmian renovasi Istiqlal dengan pembubaran FPI beberapa waktu lalu hanya lah pihak terkait sendiri. 

Namun tetap saja, gaya kepemimpinan Presiden Jokowi yang kerap memainkan simbol-simbol politik tertentu merupakan objek interpretasi yang menarik untuk dibahas dalam diskursus politik nasional. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version