Ukraina mulai kesulitan dapat bantuan dari Barat. Sementara, bahaya musim dingin semakin mendekat. Apakah ini momentum besar bagi Rusia?
“The sinews of war are infinite money” Marcus Tullius Cicero, negarawan Romawi
Tahun 2023 ini tampaknya bisa dikatakan telah menjadi salah satu tahun paling “panas” dalam sejarah modern peradaban manusia. Selain harus berhadapan dengan perang antara Israel dan Palestina yang kembali memanas pada 7 Oktober lalu, dunia juga masih belum bisa melupakan perang antara Ukraina dan Rusia yang sudah berlangsung selama 1 tahun dan 9 bulan.
Dan kini, Ukraina tampaknya sedang menghadapi babak baru yang akan sangat menentukan nasib mereka. Pada 17 November silam, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky membuat pernyataan ke publik bahwa pihaknya saat ini sedang membutuhkan bantuan yang cukup besar dari negara-negara Barat, namun menyadari hal itu kemungkinan tidak akan terjadi karena adanya peralihan fokus di negara-negara Barat kepada perang yang terjadi antara Israel dan Palestina di Timur Tengah.
Dan memang, kalau kita coba lacak ke belakang, ada dua poin yang sepertinya membuat Zelensky berkata demikian.
Pertama, belum lama lalu Uni Eropa mengisyaratkan bahwa mereka tidak mungkin memenuhi janji untuk mengirimkan satu juta peluru artileri ke Ukraina pada Maret mendatang. Selain itu, negara Uni Eropa yang juga bagian dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), yakni Lithuania, mengatakan tengah pertimbangkan untuk tidak kirimkan bantuan ke Ukraina. Sebelumnya, Slovakia bahkan sudah lebih dahulu berhenti memberikan bantuan.
Kedua, keragu-raguan pemberian bantuan ke Ukraina juga muncul dari sang negara adidaya, Amerika Serikat (AS). Saat ini, Kongres AS diketahui menahan rencana bantuan kiriman US$61 miliar atas pertimbangan untuk mengirim bantuan ke Israel.
Ketakutan Zelensky dan mulai tertahannya bantuan ke Ukraina ini lantas munculkan pertanyaan menarik. Mungkinkah ini adalah momen tepat bagi Rusia untuk merebut kemenangan dalam peperangannya dengan Ukraina?
Rusia Dapatkan Momen Besar?
Seperti kutipan dari Marcus Tullius Cicero yang dicantumkan di awal tulisan, keterbatasan bantuan dalam perang tentu akan sangat mempengaruhi hasil akhir dari peperangan tersebut, apalagi bila negara yang terlibat perang adalah negara yang sangat bergantung pada bantuan negara lain, seperti Ukraina.
Di sisi lain, bantuan dari negara Barat jelas dapat memberikan keuntungan strategis bagi Rusia. Dengan berkurangnya dukungan dari pihak Barat, Ukraina sudah jelas menjadi lebih rentan terhadap tekanan militer Rusia. Selain itu, ketidakpastian politik dan kurangnya komitmen dari negara-negara Barat dapat mengirimkan sinyal yang kuat kepada Rusia bahwa tindakan agresif mereka tidak akan mendapatkan reaksi yang kuat dan serius.
Selain faktor bantuan luar, kita perlu mengingat juga bahwa sebentar lagi Benua Eropa akan menghadapi musim dingin akhir tahun. Ancaman musim dingin menjadi faktor krusial dalam pertimbangan potensi kemenangan Rusia. Memang, kondisi alam ketika musim dingin akan menghambat kapabilitas alat perang baik dari kubu Ukraina, maupun Rusia, akan tetapi, kita tidak boleh melupakan bahwa Rusia memiliki catatan sejarah perang yang sangat baik dalam musim dingin.
Allen F. Chew dalam bukunya Fighting the Russians in Winter: Three Case Studies, sempat menyoroti fakta menarik tentang Rusia di mana mereka tidak pernah kalah dalam pertarungan musim dingin semenjak berperang dengan Swedia pada tahun 1708. Fenomena ini di Rusia bahkan sampai mendapat julukkan “Jenderal Musim Dingin”.
Mungkin akan ada yang berargumen bahwa jika keahlian Rusia dalam perang musim dingin memang benar, maka seharusnya mereka sudah memenangkan pertempuran pada tahun lalu. Namun, perlu kita ingat bahwa tahun lalu dukungan internasional kepada Ukraina sedang tinggi-tingginya. Kalaupun Rusia memang mampu menang, mereka perlu mengeluarkan tenaga dan uang yang ekstrem.
Bagi Ukraina, sebagai negara yang militernya secara teknis belum memiliki pengalaman memenangkan pertempuran saat musim dingin, mereka akan menghadapi tantangan besar dalam mengelola konflik ini dalam dua bulan ke depan.
Kondisi alam ketika musim dingin dapat mempersulit logistik dan mobilitas pasukan Ukraina, sementara pasukan Rusia, yang lebih terbiasa dengan kondisi tersebut, dapat memanfaatkannya untuk melancarkan serangan yang lebih efektif. Selain itu, ancaman terhadap infrastruktur kritis, seperti pasokan listrik dan sistem transportasi, dapat meningkat selama musim dingin, menambah kesulitan bagi Ukraina dalam mempertahankan posisinya.
Namun, bila memang Rusia berkemungkinan besar akan mengakhiri peperangannya dengan Ukraina di momen musim dingin ini, akan seperti apa skenarionya?
Tidak Akan Berakhir “Damai?”
Bagi orang awam, mungkin mudah untuk membayangkan akhir yang damai antara Rusia dan Ukraina, terlebih lagi, dalam beberapa minggu terakhir Presiden Rusia, Vladimir Putin, memang mulai melempar pernyataan bahwa pihaknya siap untuk negosiasi perdamaian.
Namun, kalau kita coba bangun skenarionya, sepertinya solusi damai akan sangat sulit untuk dicapai. Utamanya, ini karena perang Rusia-Ukraina dimulai berdasarkan rasa kekhawatiran Rusia atas potensi bergabungnya Ukraina ke dalam NATO. Kalaupun Rusia benar-benar ingin berdamai, ketidakpercayaan mereka kepada NATO bisa jadi tetap akan tinggi.
Karena itu, konsep “perdamaian” yang akan diterima oleh Rusia kemungkinan besar akan sangat merugikan NATO dari aspek geopolitik, seperti permintaan membangun buffer zone atau zona bantalan baru di mana perbatasan antara negara NATO dan Rusia terpisah cukup jauh. Tentunya, skenario perdamaian seperti ini tidak akan dibiarkan oleh NATO karena filosofi pertahanan mereka selama berdekade-dekade terakhir adalah mereka selalu ingin “mengontrol” musuh mereka.
Dengan demikian, ada kemungkinan sebetulnya Rusia akan mengakhir perang ini dengan hard power demi mengontrol penuh Ukraina tanpa adanya peluang untuk adanya perbedaan pendapat. Bila benar di musim dingin ini bantuan dari Barat masih minim untuk Ukraina, maka bisa jadi Putin saat ini sebetulnya sedang menyiapkan satu serangan besar untuk mengakhiri perang pada Desember-Februari.
Tapi tentu, ini hanya asumsi belaka. Layaknya di dunia politik, situasi perang bisa berubah sewaktu-waktu. Yang jelas, besar harapannya perang yang sudah kelamaan ini berhenti mengakibatkan semakin banyaknya kematian warga sipil. (D74)