Roy Suryo mengatakan bahwa kursi Menkominfo harus diisi oleh kalangan profesional, bukan parpol. Menurutya hal ini dilakukan untuk menjaga netralitas arus informasi, utamanya dari kepentingan bisnis. Himbauan tersebut mungkin cukup beralasan mengingat peran strategis Kominfo dan kondisi sebagian media Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu.
PinterPolitik.com
“Information, knowledge, is power. If you can control information, you can control people”.
::Tom Clancy, novelis asal Amerika Serikat::
Pernyataan politikus Partai Demokrat sekaligus Anggota Komisi I DPR ini cukup menarik untuk dibaca mengingat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) saat ini dijabat oleh Rudiantara yang bukan kader partai politik (parpol) manapun atau sering diistilahkan dengan “kalangan profesional”.
Anggkota Komisi I lainnya dari Partai Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi, juga mengatakan hal yang sama.
Menurutnya Menkominfo harus berasal dari kalangan profesional untuk menghindari konflik kepentingan politik ataupun bisnis di bidang telekomunikasi dan penyiaran.
Lalu, apakah pernyataan ini dikeluarkan Roy dan Bobby hanya sebagai pengingat atau saran saja kepada Jokowi? Atau jangan-jangan keduanya melihat saat ini ada parpol spesifik yang mengincar kursi Menkominfo tersebut?
Netralitas Arus Informasi
Pemberian kursi Menkominfo ke kader parpol memang pernah terjadi sebelumnya. Menkominfo periode 2001-2004, Syamsul Mu’arif, merupakan kader Golkar. Sementara untuk periode 2009-2014 Kominfo dipimpin oleh Tifatul Sembiring yang merupakan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Lalu, apa sebenarnya signifikansi atau nilai startegis yang bisa diperoleh seseorang atau suatu kelompok jika menduduki kursi Menkominfo?
Sebagai regulator, bisa dikatakan bahwa Kominfo memiliki power untuk mengendalikan arus informasi yang beredar di masyarakat.
Dalam beberapa kesempatan Kominfo memiliki hak untuk memblokir jaringan internet, media sosial, dan berbagai situs online yang dinilai melanggar aturan ataupun berbahaya bagi negara dan masyarakat.
Tidak hanya itu, Kominfo juga menjadi pihak yang memberikan ataupun mencabut izin penyiaran bagi media konvensional seperti televisi maupun radio.
Kominfo jugalah yang membentuk panitia seleksi anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang sering mengawasi konten dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi terhadap lembaga penyiaran.
Otoritas atas arus informasi ini bisa dimanfaatkan sebagai alat pengendalian informasi oleh kelompok kepentingan tertentu, salah satunya untuk membentuk persepsi publik melalui propaganda.
Menurut Herman dan Chomsky, dalam bukunya yang berjudul Manufacturing Consent, media massa dapat digunakan sebagai alat propaganda oleh kelompok kepentingan seperti korporasi, partai politik, ataupun pemerintah.
Sebagai alat propaganda, media digunakan untuk mempromosikan sudut pandang dan dukungan publik yang menguntungkan pemilik media tersebut, baik secara politik maupun ekonomi.
Jika kursi Menkominfo jatuh ke tangan yang salah, bisa saja posisi tersebut digunakan untuk mengatur arus informasi atau media apa yang boleh bersuara sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu.
Kekhawatiran ini juga berasal dari kondisi media arus utama (mainstream) Indonesia saat ini.
Perlu diketahui bahwa saat ini sebagian besar media TV dan cetak nasional dikuasai oleh setidaknya 8 konglomerat bisnis. Beberapa konglomerat ini juga secara jelas memiliki afiliasi ataupun kepentingan politik dengan partai tertentu.
Kondisi ini membuat beberapa pihak meragukan netralitas media arus utama di Indonesia. Dewan Pers misalnya mengatakan bahwa konglomerasi dalam beberapa kasus menjadikan media hanya sebagai alat kepentingan bisnis dan politik.
Oleh sebab itu, pandangan Roy dan Bobby bisa saja benar, bahwa Kominfo ditakutkan menjadi alat bisnis atau politik bagi kelompok tertentu.
Rudiantara saja, meskipun berasal dari kalangan profesional, tetap tidak lepas dari kontroversi seputar propaganda dan kenetralan informasi.
Pada peristiwa pembatasan akses media sosial ketika terjadi kerusuhan 21-22 Mei 2019 di Jakarta misalnya, Kominfo dituding terkesan otoriter karena memonopoli arus dan akses informasi publik.
Selain itu pada akhir 2016 lalu, Kominfo juga melakukan pemblokiran terhadap situs media online Suarapapua.com tanpa alasan yang jelas. Pemblokiran ini dinilai beberapa pihak sebagai pembatasan kebebasan pers, khususnya terhadap pemberitaan alternatif mengenai Papua.
Siapa Ingin Kominfo?
Terkait bursa menteri 2019-2024, sejauh ini hanya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang pernah secara terbuka mengincar kursi Menkominfo. Pernyataan ini dikeluarkan oleh ketua umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin pada November 2018 lalu.
Pada saat itu, ia mengatakan bahwa jika Jokowi menang dalam Pilpres 2019, PKB bisa mendapatkan kursi Menkominfo.
Selain PKB, tidak menutup kemungkinan partai lain juga mengincar kursi Menkominfo, terlebih ketika jatah kursi untuk parpol semakin sedikit karena Jokowi sudah menegaskan bahwa 55 persen kursi akan diberikan ke kalangan profesional.
Salah satu parpol yang juga mungkin mengincar kursi Menkominfo adalah Partai Nasdem.
Bukan tanpa alasan, Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh, memang memiliki ketertarikan sendiri dalam bidang media. Surya Paloh juga merupakan salah satu penguasa media di Indonesia melalui kelompok usaha Media Group miliknya.
Media Grup membawahi beberapa media, seperti Metro TV, Lampung Post, dan Media Indonesia.
Kekuatan Kominfo dalam mengendalikan arus informasi melalui pengawasan, pemblokiran, dan pemberian izin media online maupun konvensional memang menggiurkan. Tidak menutup kemungkinan ada partai lain selain PKB dan Nasdem yang mengincar kursi tersebut.
Ada pula nama Hary Tanoesoedibjo yang juga menjadi Ketua Umum Partai Perindo sekaligus konglomerat media melalui grup Global MediaCom (MNC). Terlebih lagi putri sulungnya, Angela Herliani Tanoesoedibjo, menjadi salah satu nama yang diisukan menjadi Menkominfo.
Namun, harus diakui bahwa kemungkinan Perindo mendapatkan kursi Menkominfo lebih rendah dibanding Nasdem karena partai tersebut tidak lolos ke Senayan. Selama beberapa bulan ke belakang, Perindo juga tidak agresif meminta jatah menteri dibanding parpol lain.
Meskipun Jokowi mengatakan bahwa penyusunan kabinet menteri sudah selesai, hingga saat ini ia belum membukanya ke publik.
Menkominfo tampaknya cukup berambisi memblokir banyak situs di Indonesia. pic.twitter.com/N01r4wDREm
Oleh karena itu nampaknya sah-sah saja jika kita berasumsi bahwa bursa menteri, khususnya Menkominfo, masih terbuka.
Lalu, bagaimana dengan nasib Rudiantara?
Terkait hal tersebut, Roy Suryo mengatakan bahwa selama menjabat, Rudiantara menunjukkan kinerja yang cukup baik. Jokowi pun sepertinya puas dengan kinerjanya.
Selama ini Jokowi tidak pernah terdengar menegur Rudiantara secara personal ataupun Kominfo secara institusi. Hal ini diperkuat dengan Rudiantara yang selamat dari empat jilid reshuffle kabinet.
Namun, jika berkaca pada sejarah, sejak jatuhnya Orde Baru tidak ada Menkominfo yang menjabat dua periode berturut-turut.
Jabatan Menkominfo memang strategis. Bisa jadi jika selama ini kelompok-keleompok kepentingan tertentu sudah menguasai konten pemberitaan, untuk lima tahun ke depan ada kelompok yang ingin melebarkan pengaruhnya dengan langsung menguasai pusat regulator konten, yaitu Kominfo. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.