Perseteruan Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet juga melibatkan perang operasi intelijen yang dilakukan oleh lembaga intelijen kedua negara, yakni CIA dan KGB. Menariknya, perang operasi intelijen tersebut ternyata pernah terjadi di Indonesia di era Presiden Soeharto. Lantas, seperti apa kisah perang operasi intelijen antara CIA dan KGB tersebut?
Pada tahun 1980-an dunia memasuki babak baru era Perang Dingin. Ronald Reagan terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dan meluncurkan Reagan Doctrine. Ini adalah program yang berfokus pada penguatan posisi AS di hadapan Uni Soviet dengan memberi bantuan – baik terbuka maupun terselubung – terhadap gerakan-gerakan anti-komunis.
Di tahun-tahun yang sama, Soviet melancarkan invasi ke Afghanistan yang di kemudian hari terbukti menjadi kebijakan yang memperparah kondisi ekonomi negara tersebut. Ujung akhirnya adalah kemunculan Mikhail Gorbachev sebagai pemimpin Soviet di tahun 1985 yang melalui kebijakan-kebijakannya membuat Soviet harus bubar di kemudian hari.
Namun, dari semua event-event internasional yang terjadi kala itu, ada satu peristiwa menarik yang terjadi di Indonesia di periode yang sama. Pada 4 Februari 1982, Corps Polisi Militer menangkap perwira angkatan laut Letnan Kolonel Johannes Baptista Soesdarjanto bersama seorang warga negara asing bernama Wito alias Sergei Egorov. Belakangan diketahui bahwa Egorov adalah seorang agen KGB.
Lalu, seperti apa kisah operasi KGB ini dan bagaimana aksi-aksi itu berbenturan dengan aktivitas CIA di Indonesia? Benarkah dua dinas intelijen ini – utamanya KGB – berupaya merekrut orang-orang Indonesia?
KGB dan CIA di Indonesia
Kisah soal operasi KGB dan CIA di Indonesia salah satunya ditulis oleh Kenneth Conboy dalam buku Intel: Inside Indonesia’s Intelligence Service. Disebutkan, aksi-aksi intelijen para agen KGB di Indonesia sempat membuat hubungan Indonesia dengan Uni Soviet memanas. Kita mengetahui bahwa di era kepemimpinan Soeharto, Indonesia menjadi sangat dekat dengan Amerika Serikat, sehingga lembaga intelijen Indonesia yang kala itu masih bernama BAKIN, mempunyai hubungan yang dekat dengan CIA.
Konteks kedekatan intel Indonesia dengan CIA ini bisa ditelusuri pasca tragedi 1965, di mana tokoh-tokoh intelijen Indonesia merasa perlu adanya satuan khusus untuk menangkal mata-mata asing, khususnya dari Uni Soviet. Maka berdirilah Satuan Khusus Pelaksana Intelijen (Satsus Intel) yang awalnya beranggotakan 60 anggota polisi militer. Unit ini bertanggungjawab pada Nicklany, yang kala itu menjabat sebagai Deputi II BAKIN.
Nicklany kala itu yakin bisa membiayai operasi satuan ini, setelah ia bertemu Ed Barbier dari CIA yang datang ke Markas Polisi Militer Indonesia. AS memang disebut memberikan bantuan keuangan secara rahasia untuk menggaji 60 personil unit tersebut, menyediakan kendaraan untuk pengintaian, biaya sewa safe house di Jalan Jatinegara Timur, Jakarta Timur, lalu menyediakan perlengkapan intel seperti tape recorder Sony TC-800 dan peralatan penyadap telepon.
Dukungan CIA juga diberikan melalui pelatihan bagi para anggota Satsus Intel dengan mengirim instruktur langsung dari Amerika Serikat. Di antaranya ada Richard Fortin yang datang ke Indonesia di tahun 1969.
Misi utama CIA melalui Satsus Intel ini adalah membendung pengaruh komunisme dan menjadi kontra spionase terhadap agen-agen intel dari negara-negara komunis. Dapat dikatakan, secara tidak langsung CIA sebetulnya “menanam” bibit agen di Indonesia yang ujung-ujungnya juga bekerja untuk kepentingan atau agenda AS.
Nah, seperti yang sudah disinggung di awal, benturan kemudian terjadi di tahun 1980-an. Ini adalah periode ketika agen-agen KGB melaksanakan operasi yang cukup masif untuk mendapatkan informasi di Indonesia. Letnan Kolonel Johannes Baptista Soesdarjanto, misalnya, adalah perwira Angkatan Laut Indonesia yang tergiur untuk menjual dokumen-dokumen rahasia Indonesia kepada KGB dengan iming-iming uang.
Seperti dikutip dari Historia, sejak tahun 1976 Soesdarjanto sudah berhubungan dengan orang Soviet bernama Vladimir yang meminta dokumen seperti laporan dan perjanjian survei Selat Malaka. Vladimir juga meminta rencana kerja Jawatan Hidro Oseanografi TNI AL dan laporan bulanan survei Hidros. Untuk dokumen-dokumen itu, Soesdarjanto mendapat bayaran sebesar Rp600 ribu.
Soesdarjanto kemudian berhubungan juga dengan Robert alias Alexander Finenko, dan kemudian dengan Sergei Egrov. Dokumen-dokumen yang diminta umumnya berhubungan dengan informasi survei di wilayah perairan Indonesia. Mereka juga mencoba menggali informasi soal dugaan AS memasang Early Warning System atau EWS di Indonesia.
Namun, pertemuan mereka di bulan April 1982 diketahui oleh polisi militer Indonesia. Robert dan Sergei Egrov diusir dari Indonesia. Sementara Soesdarjanto divonis 10 tahun penjara.
Pasca kejadian ini, Gugus Tugas Intelijen Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Kopkamtib diminta melakukan pengawasan intensif kepada para diplomat Uni Soviet. Salah satu di antaranya adalah Sekretaris Ketiga Kedutaan Uni Soviet bernama Aleksei Bobrov. Bobrov diketahui bertemu 3 kali dalam 2 bulan dengan seorang pemuda Indonesia di dalam Museum Nasional Jakarta.
Agen itu Bernama Mamat
Agen-agen intel Indonesia pun melakukan penyelidikan terhadap pemuda tersebut yang diketahui merupakan seorang mahasiswa jurnalistik dari Jawa Tengah. Dalam laporan, pemuda itu diberi nama Mamat. Kecurigaan muncul bahwa Mamat akan direkrut menjadi agen KGB.
Satsus Intel menginterogasi Mamat dan melarangnya untuk memberitahukan hal itu pada Bobrov. Satsus Intel bahkan merekrutnya menjadi agen dengan nama sandi Kemuning. Ia ditugasi untuk menjaga kontak dengan Bobrov.
Bobrov memberi penugasan pada Mamat, misalnya mengumpulkan artikel koran terkait kunjungan Soeharto ke luar negeri, juga menjalin hubungan dengan staf Indonesia yang bekerja di perpustakaan Keduataan AS di Indonesia. Ia diberi honor Rp40 ribu per bulan. Satsus Intel melaporkan hal ini kepada CIA.
CIA kemudian berencana menggunakan Mamat untuk mengorek informasi soal KGB di Indonesia. Bobrov pada akhirnya memang menawari secara terbuka kesempatan untuk menjadi mata-mata Soviet pada Mamat. Setelah Bobrov pindah, ia digantikan oleh Vladimir Yaravoi yang juga memberikan penugasan yang sama kepada Mamat.
Pada akhirnya, Satsus Intel memang memerintahkan Mamat untuk mundur dari relasinya dengan Soviet. Ini juga karena tak ada penugasan illegal yang diberikan pada Mamat kala itu.
Hingga tahun 1989, Satsus Intel mencatat ada 102 kejadian di mana diplomat Soviet mencoba merekrut orang Indonesia menjadi mata-mata. Di antaranya para personil militer Indonesia menjadi sasaran yang paling banyak menarik perhatian Soviet.
Apapun itu, yang jelas kisah ini membuktikan bagaimana operasi intelijen asing juga terjadi di Indonesia di era Soeharto. Keberpihakan politik Indonesia juga menjadi kunci misi intelijen seperti apa yang terjadi di negara ini.
Selain itu, kekayaan sumber daya alam dan posisi geopolitik yang strategis juga ikut menentukan bagaimana negara seperti AS dan Soviet kala itu memandang Indonesia. Mungkin di waktu-waktu saat ini kita juga perlu lebih berhati-hati.