HomeNalar PolitikPerang Jendral di Jabar

Perang Jendral di Jabar

Pilkada Jabar mempertemukan dua jenderal dari dua kubu ‘legendaris’, yakni PDI Perjuangan dan Partai Gerindra. Serangan apa yang kiranya akan dikeluarkan oleh para jenderal yang bertarung ini?


PinterPolitik.com

[dropcap]M[/dropcap]emasuki detik-detik akhir pendaftaran Pilkada Serentak, partai-partai politik sudah mantap memposisikan diri dengan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) pilihannya. Nah, jika berbicara Pilkada Jabar, pastinya harus membahas posisi PDI perjuangan dan Gerindra yang sudah terlanjur ditasbihkan sebagai rival ‘abadi’ di kawasan Jabar dan sekitarnya.

PDI Perjuangan sempat menunjukkan sikap yang buat Ridwan Kamil keki, sebab di saat-saat terakhir, Partai Banteng ini malah balik badan dan mengusung calonnya sendiri. Meninggalkan Emil, PDI Perjuangan memasang Mayjen (Purn) Tubagus Hasanudin atau yang lebih dikenal dengan TB Hasanudin.

Tak ingin kalah, Gerindra juga memasang ‘jenderalnya’, yakni Mayjen (Purn) Sudrajat. Partai yang dipimpin oleh Prabowo ini, menampilkan abang dari sang pemimpin partai di Akmil untuk berlaga di Pilkada dan, lebih spesial lagi, menghadapi TB Hasanudin.

Dengan demikian, perang jendral akan mewarnai Pilkada 2018. Tak hanya jenderalnya, punggawa kedua partai yang berhadapan mau tak mau juga akan turut serta.

Sepak Terjang dan Karir Kedua Jenderal

Sebelum membahas lebih jauh keberadaan dan latar belakang kedua jenderal yang bertarung, memang perlu diakui, nama TB Hasanudin dan Sudrajat, bukanlah apa-apa bila disandingkan dengan Ridwan Kamil. Nama Emil jauh lebih populer ketimbang dua tokoh TNI ini.

Tapi perlu diingat kembali, popularitas Emil tinggi karena memang sudah menjabat sebagai walikota Bandung sejak 2013 silam. Sudah begitu, ia juga sangat giat dan aktif di media sosial. Ketokohannya diidolakan berbagai kalangan karena citra dan kebijakan politik yang dibangunnya di Bandung. Dari segi umur, Emil pun juga lebih ‘unggul’, sebab ia berusia jauh lebih muda dibandingkan dengan TB Hasanudin dan Sudrajat.

Tapi tentu saja, bukan berarti tak akan ada kesempatan bagi TB Hasanudin dan Sudrajat untuk menyalip nama Emil di kemudian hari, sampai tiba masa pencoblosan. Nah, bila liganya kian dipersempit lagi, nama TB Hasanudin dan Sudrajat sebetulnya masih ‘asing’ bagi sebagian besar masyarakat Jabar dan sekitarnya.

Padahal, TB Hasanudin misalnya, sudah bercokol di PDI Perjuangan sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Jawa Barat sejak tahun 2012 hingga sekarang. Dirinya juga menjabat sebagai anggota Komisi I DPR RI sejak 2009 sampai 2014.

Perang Jenderal di Jabar
TB Hasanudin (sumber: istimewa)

Sebagaimana halnya jenderal lain, TB Hasanudin juga pernah menimba ilmu di Akademi Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Ia masuk AKABRI di tahun 1971 dan lulus tahun 1974. Selepas dari sana, ia berkecimpung sebagai instruktur dan pengajar militer, hingga menjadi ajudan pribadi Tri Sutrisno dan Habibie. Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati, ia menjadi sekretaris militer yang mendampingi kedua presiden tersebut.

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Sementara Sudrajat, masuk dan lulus AKABRI lebih dulu dibandingkan dengan TB Hasanudin. Bisa dibilang, Sudrajat adalah kakak kelas TB Hasanudin di AKABRI. Bila dibandingkan dengan TB Hasanudin, Sudrajat memang jauh tak dikenal. Namun sepak terjangnya lumayan banyak menuai kontroversi.

Menyelesaikan pendidikan di AKABRI tahun 1974, ia berkarir di Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen). Di sana, ia dikenal sebagai perwira yang menentang ide Pangdam Wirabuana dan Mayjen Agus Wirahadikusumah tentang pengurangan jumlah Komando. Daerah Militer (Kodam) di Indonesia. Sudrajat menyebut usulan Agus dan bentuk otokritik lain yang datang pada Kapuspen merupakan pelanggaran Kode Etik. Sudrajat juga berselisih dengan Panglima TNI kala itu, yakni Laksamana TNI Widodo.

Daftar konflik Sudrajat belum berhenti. Selain berkonflik dengan atasan-atasannya di TNI, ia bahkan pernah juga berselisih pendapat dengan Mantan Presiden Gus Dur. Hal ini bermula saat Sudrajat menepis pernyataan Gus Dur yang menyebut jika Presiden adalah penguasa tertinggi AD, AL, AU, dan Kepolisian. Sudrajat menolaknya, ia berkata pernyataan yang sudah jelas-jelas tercantum dalam UUD itu, tak bisa serta merta diartikan demikian. Atas tepisannya itu, Sudrajat akhirnya dicopot Gus Dur dan digantikan Marsekal Muda Graito Usodo.

Selepas itu, Sudrajat banyak ditempatkan sebagai atase Republik Rakyat Tingkok (RRT) dan tak terlalu ‘beredar’ di dunia militer atau pun birokrasi pemerintahan. Namun, di tahun 2014 lalu, ia ditunjuk Susi Pudjiastuti sebagai CEO PT. ASI Pudjiastuti Aviation hingga saat ini.

Walau Sudrajat kelihatannya lebih banyak mengundang kontroversi, bukan berarti TB Hasanudin adalah sosok yang kalem dan adem ayem saja. Ia juga kerap melontarkan pernyataan nyeleneh.

Nah menariknya, jejaknya menuding Prabowo Subianto, sang pemimpin Gerindra, tercetak jelas ketika ia aktif berada di PDI Perjuangan.

TB Hasanudin dan Prabowo: Ada Apa?

TB Hasanudin bisa dikatakan sebagai sosok yang gemar berkomentar dan bercerita. Ini terlihat dari kisahnya – atau lebih tepat pengakuannya, saat bekerja sebagai ajudan Presiden dan Wakil Presiden RI kala itu. TB Hasanudin berkata jika Try Sutrisno memberikannya gaji tak sekali sebulan, namun tiap hari.

“Saya tidak pernah minta. Tetapi semua anggota kabinet memaksa saya menerima uang bulanan dari mereka,” ujarnya polos. Selain gaji yang diterima setiap hari, ia juga berkata diberikan hadiah non-tunai berupa mobil, kavling tanah, dan lain-lain. Karena waktu itu belum ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka apa yang diterima TB Hasanudin tidak dianggap sebagai gratifikasi.

Perang Jenderal di Jabar
Tri Sutrisno (sumber: istimewa)

Saat pensiun dan menapaki karir politik, ia mulai secara perlahan namun pasti, kerap melempar pernyataan bernada ‘mengejek’ kepada Prabowo, punggawa Partai Gerindra. Menarik memang, saat TB Hasanudin merasakan bekerja di bawah SBY dan Megawati secara langsung, ia memilih PDI Perjuangan yang diketuai oleh Megawati sebagai kendaraan politiknya.

Baca juga :  “Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Namun dari kendaraan itu, jelas terlihat kalau ia berani melemparkan pernyataan yang menyerang Prabowo. Dalam sebuah kesempatan, ia pernah menyebut Prabowo tak pernah sholat semasa menjalani pendidikan di AKABRI bersamanya. Sebagai info tambahan, Prabowo adalah senior yang lebih tua setahun di atas TB Hasanudin.

Tapi, di tengah menjalani pendidikan AKABRI, Prabowo pernah bertengkar hebat sampai dihukum oleh Sarwo Edhi Wibowo sehingga harus tinggal kelas. Jadilah ia menempati kelas yang sama dengan TB Hasanudin hingga lulus. Tak hanya itu, TB Hasanudin juga membandingkan pengetahuan militer Prabowo dengan Jokowi saat masa Pilpres 2014 berlangsung.

“Sebagai seorang mantan jenderal bintang tiga, mestinya Prabowo bisa melemparkan pertanyaan-pertanyaan soal sistem pertahanan yang menyulitkan Jokowi. Misalnya mungkin, soal sistem pertahanan defensive aktif, parameter postur TNI, dan lain-lain,” ujar TB Hasanudin. Lebih lanjut ia berkata jika Prabowo tak paham soal-soal kemiliteran. “Sebagai sesama mantan jenderal, saya benar-benar malu,” ungkapnya.

Prabowo sendiri tak pernah sekalipun merespon TB Hasanudin. Tetapi saat ada acara reuni akbar AKABRI angkatan 1973, Prabowo memilih tak hadir dan pergi ke luar negeri.

Strategi Megawati Hadapi Prabowo?

Perilaku PDI Perjuangan yang berbalik arah dari Ridwan Kamil di saat terakhir memang membingungkan. Habis bagaimana lagi, memiliki jumlah kursi suara sebanyak 20 Persen memang membuat mereka mampu mengusung calon sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai lain.

Menghadapi Gerindra yang mantap mengusung Mayjen (Purn) Sudrajat, PDI Perjuangan ‘membalasnya’ dengan memasang Jenderal dan Polri, yakni Mayjen (Purn) TB Hasanudin dan Anton Charlian. Megawati selaku pemimpin dari PDI Perjuangan berkata kalau pemasangannya ini, mengindikasikan jika PDI Perjuangan tidak hanya lekat dengan Polri tetapi juga TNI.

Perang Jenderal di Jabar
TB Hasanudin dan Anton Charlian (sumber: istimewa)

Benarkah alasannya hanya itu semata? Pastinya tidak. Memasang TB Hasanudin dan Anto Charlian di menit-menit terakhir, tak hanya berguna untuk menghadapi Sudrajat dan Ahmad Syaikhu. Tetapi yang lebih penting, bisa menghadapi Prabowo di Pilkada Jabar 2018.

Seperti yang terlihat, Prabowo tak pernah berkomentar atau merespon berbagai pernyataan seputar keadaannya di masa-masa pendidikan AKABRI. Apakah itu benar atau tidak, tentu tak ada yang tahu selain TB Hasanudin dan Prabowo sendiri tentunya. Apakah diamnya Prabowo atas segala pernyataan memalukan TB Hasanudin seputar dirinya adalah bentuk persetujuan?

Hmm, tetap tak ada yang tahu. Namun yang jelas, strategi ini bisa dipakai tak hanya untuk menghadapi Sudrajat, tetapi juga Prabowo, sang petinggi Gerindra. (Berbagai Sumber/A27)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Jangan Remehkan Golput

Golput menjadi momok, padahal mampu melahirkan harapan politik baru. PinterPolitik.com Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 tunai sudah. Kini giliran analisis hingga euforia yang tersisa dan...

Laki-Laki Takut Kuota Gender?

Berbeda dengan anggota DPR perempuan, anggota DPR laki-laki ternyata lebih skeptis terhadap kebijakan kuota gender 30% untuk perempuan. PinterPolitik.com Ella S. Prihatini menemukan sebuah fakta menarik...

Menjadi Pragmatis Bersama Prabowo

Mendorong rakyat menerima sogokan politik di masa Pilkada? Prabowo ajak rakyat menyeleweng? PinterPolitik.com Dalam pidato berdurasi 12 menit lebih beberapa menit, Prabowo sukses memancing berbagai respon....