Aksi Sandiaga Uno yang tampil bersama Atta Halilintar beberapa waktu lalu membuka perdebatan terkait pertarungannya melawan Joko Widodo (Jokowi) yang sebelumnya sempat pula bertemu dengan sang YouTuber itu. Konteks ini menjadi bagian dari gambaran besar head to head kampanye dan retorika politik yang terjadi antara Sandi melawan Jokowi – hal yang sudah terlihat dalam kunjungan-kunjungan keduanya ke pasar-pasar tradisional, pertentangan tentang tempe yang setipis kartu ATM, hingga gaya anak muda yang suka pakai sneakers ke mana-mana.
PinterPolitik.com
“Strategy without tactics is the slowest route to victory. Tactics without strategy is the noise before defeat”.
:: Sun Tzu ::
[dropcap]I[/dropcap]mitation Game – judul film yang dibintangi oleh Benedict Cumberbatch pada 2014 lalu – mungkin menjadi istilah yang tepat untuk menggambarkan pertarungan politik antara Sandi dan Jokowi dalam beberapa waktu terakhir. Keduanya seolah saling “meniru” aksi politik apa yang telah dilakukan lawannya.
Yang terbaru adalah aksi Sandiaga mencuri perhatian ketika ngevlog bersama YouTuber dengan 13 juta subscribers atau yang terbanyak se-Asia Tenggara, Atta Halilintar. Aksi ini menarik karena Jokowi beberapa hari sebelumnya juga sempat bertemu dengan Atta – terlihat dalam postingan Instagram anak sulung dari keluarga Halilintar itu.
Dalam potongan video yang diunggah di akun media sosial masing-masing, Sandi tampak terlibat dalam perbincangan terkait produk-produk dalam negeri, serta beberapa kali mengucapkan kata “ashiaap” yang identik sebagai jargon Atta.
Dalam konteks yang lebih besar, Sandi tengah mengimitasi konteks new hope yang menjadi citra Jokowi, bahkan berusaha mereproduksi citra tersebut menjadi lebih baik. Share on XSebelumnya memang diberitakan bahwa Sandi dan Atta sama-sama hadir dalam Sragen Young Entrepreneur Summit (YES) 2019. Sehingga, momen tersebut membuat keduanya bisa bertemu.
Sandi juga sempat bercerita bahwa dirinya dan ayah dari Atta – Halilintar Anofial Asmid, yang ia panggil dengan nama Hali – merupakan sahabat seperjuangan saat menimba ilmu dan mendapatkan beasiswa dari Caltex. Ayah Sandi sebelumnya memang pernah bekerja di perusahaan Caltex di Riau yang merupakan salah satu brand dari Chevron. Atta sendiri memang lahir di Riau, sama seperti Sandi.
Dalam kesempatan bincang-bincang tersebut, Sandi pun diberikan kenang-kenangan hoodie bertuliskan AHHA yang menjadi brand pribadi Atta – sama seperti yang diberikan juga pada Jokowi beberapa waktu lalu.
Keberadaan Atta tentu penting jika berbicara dalam konteks citra politik kemudaan Sandi, mengingat sosok YouTuber yang terkenal lewat konten-konten prank dan dobrak rumah itu kini menjadi content creator yang cukup mendapatkan sorotan dari media-media dan pemberitaan, bahkan digandrungi oleh kelompok remaja.
Walaupun Atta kerap dihujat oleh warganet – umumnya menganggap subscribers-nya berasal dari kalangan pelajar di SD dan SMP, atau yang sekedar mengritik konten-konten videonya – pencapaiannya memang tidak bisa dianggap remeh. Kerja kerasnya menghasilkan konten secara reguler adalah hal yang sangat luar biasa.
Dalam kontek strategi imitasi, memang Sandi memanfaatkan momentum tersebut untuk “memperlihatkan” dukungannya pada industri kreatif yang identik dengan anak-anak muda seperti Atta. Apalagi hal tersebut telah menjadi konsen utama isi kampanye Jokowi dalam beberapa waktu terakhir.
Konteks persinggungan ini – khususnya dengan Jokowi – memang membuat pertarungan politik di Pilpres kali ini cenderung mengarah pada pertempuran head to head antara Sandi dengan kandidat petahana tersebut.
Selain bersama Atta, keduanya juga sama-sama pernah bertemu dengan YouTuber lain, seperti Ria “Ricis” Yunita yang memiliki subscribers mencapai 11 juta. Sandi dan Jokowi juga sama-sama berpenampilan khas anak muda, misalnya sama-sama mengenakan sneakers dan terkesan selalu santai serta tak takut untuk berdekatan dengan masyarakat.
Tentu pertanyaannya adalah apakah ada dampak signifikan dari pertarungan head to head antara Sandi dan Jokowi ini terhadap hasil Pilpres?
Bukan Prabowo, Ini Pilpres Jokowi vs Sandi
Diskursus politik jelang Pilpres 2019 yang umumnya muncul di kalangan pemilih muda – terutama yang bergerak di industri kreatif – adalah terkait jaminan atas kerja-kerja kreatif mereka. Isu seperti kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat dan jaminan kepada mereka untuk menyalurkan ekspresi kreativitasnya adalah hal yang paling banyak disorot.
Faktanya, pendekatan terhadap isu ini dianggap cukup lemah di kubu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno beberapa waktu sebelumnya.
Dari beberapa keterangan yang dihimpun PinterPolitik.com, para kreator konten memang mengutarakan kekhawatirannya bahwa kalau Prabowo dan Sandi yang terpilih, kebebasan mereka memproduksi konten akan dibatasi. Bahkan akan ada ancaman terhadap kebebasan berekspresi yang menurut mereka justru jadi intisari kerja di industri kreatif.
Konteks tersebut juga ditambah dengan berbagai isu yang kontraproduktif terhadap kampanye Prabowo, misalnya yang menyebut sang jenderal akan membawa Orde Baru kembali ke permukaan – mengingat dirinya merupakan bagian dari rezim tersebut – atau yang menyinggung dukungan kelompok-kelompok garis keras yang ada di belakangnya.
Persoalan-persoalan tersebut membuat Jokowi cenderung dilihat lebih positif oleh kelompok-kelompok ini. Prabowo yang terlanjur lekat dengan citra masa lalunya memang tidak bisa berbuat banyak. Oleh karena itu, ia butuh sosok seperti Sandi yang bisa hadir untuk menetralisir sentimen-sentimen tersebut.
Sandi tentu punya pekerjaan berat untuk menepis semua hal tersebut. Videonya bersama Atta bisa dibaca sebagai salah satu upaya tersebut. Hal ini juga sekaligus membuatnya secara langsung berhadapan dengan Jokowi – tokoh yang pada 2014 lalu disebut sebagai the new hope alias harapan baru.
Pasalnya, Sandi justru bisa melekatkan status tersebut pada dirinya. Ia berlatar belakang pengusaha dan tak punya rekam jejak kelam di masa lalu. Sosoknya juga masih cukup muda untuk ukuran politisi di Indonesia dan dianggap identik dengan politik kebaruan.
Semua hal tersebut sebelumnya menjadi intisari politik Jokowi. Sandi bisa datang ke pasar tradisional dan berdiskusi dengan pedagang, berbicara tentang tetek bengek harga pangan, kondisi tempe yang menurutnya setipis kartu ATM, hingga persoalan-persoalan ekonomi yang menyulitkan masyarakat.
Pendekatan-pendekatan itu sebelumnya sangat identik dengan Jokowi. Artinya, sang petahana kini mendapatkan lawan yang sepadan dalam konteks the new hope – hal yang mungkin perlu direvisi jika melihat kondisi ekonomi dan politik saat ini.
Konteks new hope ini penting untuk dilakukan Sandi dalam kontestasi elektoral, terutama untuk menjaring pemilih yang tidak bisa disentuh oleh Prabowo. Pendiri majalah Rolling Stone, Jann S. Wenner menunjuk hal itu ketika Barack Obama muncul pada Pilpres Amerika Serikat (AS) tahun 2008 lalu.
Wenner menyebut Obama sebagai sosok yang akan mampu menghadirkan the better angels of our nature – kondisi yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Dengan gayanya yang santai, mengenakan busana ala anak muda seperti sneakers dan kaos berkerah, serta kunjungan-kunjungannya ke berbagai pelosok negeri, Sandi memang coba menghadirkan – lebih tepatnya merebut dari Jokowi – citra the new hope itu. Sebagai catatan, Sandi sempat datang ke Papua beberapa waktu lalu – hal yang dulu juga dilakukan oleh Jokowi dan tidak dilakukan oleh Prabowo.
Ia bisa dengan bebas pergi ke mana saja dan bebas berbicara tentang ekonomi tanpa perlu cemas soal rekam jejak atau persoalan masa lalu. Hal ini tentu menjadikannya lawan yang sepadan bagi Jokowi. Bahkan, beberapa pihak menyebut konteks aksi-aksi Sandi yang telah berkunjung ke seribu titik di seluruh Indonesia berperan besar terhadap peningkatan elektabilitas dirinya dan Prabowo yang bisa dilihat dari survei terbaru Litbang Kompas.
Politik Imitasi New Hope?
Yang terjadi antara Sandi dan Jokowi memang menunjukkan adanya politik imitasi. Ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh sosiolog Prancis, Gabriel Tarde.
Dalam bukunya The Laws of Imitation Tarde menyebutkan bahwa interaksi sosial dalam masyarakat mula-mula terjadi pada individu yang melakukan suatu bentuk imitasi – yang diartikan sebagai proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain, baik sikap, penampilan, gaya hidup, pilihan politik, dan yang lainnya.
Tarde menyebut imitasi adalah elemen utama dalam kohesi sosial. Bahkan keberadaan masyarakat itu sendiri terbentuk karena mereka mengimitasi atau counter-imitate antara satu dengan yang lainnya.
Dalam konteks tersebut, memang terlihat upaya untuk saling meniru strategi politik terjadi di antara Jokowi dan Sandi secara khusus. Pada tataran politik paling atas, imitation game ini terjadi pada strategi menempatkan orang tertentu sebagai lawan orang tertentu di kubu lawan.
Misalnya, kehadiran Erick Thohir di tim kampanye Jokowi dianggap sebagai aksi imitasi untuk menyaingi posisi Sandi sebagai cawapres Prabowo. Lalu, pemilihan Ma’ruf Amin sebagai cawapres juga dianggap sebagai politik imitasi untuk membendung kekuatan politik Islam di kubu Prabowo.
Sementara dalam konteks strategi praktis, Sandi juga melakukan politik imitasi terhadap Jokowi. Ia berusaha meng-engage atau merangkul kelompok muda – mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Jokowi. Atta Halilintar dan Ria Ricis adalah salah satu bagian kecil di dalamnya.
Sedang dalam konteks yang lebih besar, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu mengimitasi konteks new hope yang menjadi citra Jokowi, bahkan mereproduksi citra tersebut menjadi lebih baik.
Pada akhirnya, publik tentu akan membanding-bandingkan Sandi – bukan Prabowo – dengan Jokowi. Siapa yang lebih baik tentu kembali pada penilaian publik. Yang jelas, politik imitasi telah menjadi strategi yang efektif menggalang dukungan.
Persoalannya tinggal memikirkan taktik yang tepat saja sebab seperti kata Sun Tzu di awal tulisan, taktik dan strategi yang tepat akan mempercepat kemenangan. Menarik untuk menunggu kiprah Benedict Cumberbatch pada film Avengers: Endgame di akhir April nanti. Upps. (S13)