“Jadi nanti setiap minggu akan diumumkan atau secara berkala terkait berita hoaks. Kominfo tidak akan memberi cap ini adalah berita hoaks saja, tapi kami juga ada fakta. Masyarakat juga kami buat pintar,” Rudiantara, Menkominfo
PinterPolitik.com
[dropcap]H[/dropcap]oaks belakangan ini seperti tak bisa dilepaskan dari politik Indonesia. Jelang Pilpres 2019, berita palsu yang menyudutkan masing-masing kandidat marak mengisi linimasa di media sosial. Lama-kelamaan, laju misinformasi ini membuat gerah banyak orang.
Kegerahan itu tampaknya ditangkap oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara. Ia mengungkapkan bahwa pihaknya akan mengungkap secara berkala berita-berita palsu tersebut setiap satu minggu sekali. Frekuensi itu bisa bertambah seiring dengan berjalannya Pilpres 2019.
Dalam praktiknya nanti, Rudiantara menyebutkan bahwa langkah pemerintah ini tidak akan berhenti pada pemberian cap hoaks saja. Rencananya, Kemenkominfo juga akan diberikan fakta dengan maksud untuk membuat pintar masyarakat. Untuk menjalankan hal ini, disebutkan bahwa ada 70 tenaga yang siap bekerja keras.
Di satu sisi, terlihat bahwa ada inisiatif dari pemerintah untuk memerangi berita palsu yang kian lama kian meresahkan. Akan tetapi, bisakah publik sepenuhnya percaya dan berharap perkara perang hoaks ini ditangani oleh pemerintah?
Ikhtiar Memecah Kebingungan
Perang hoaks atau berita palsu dalam politik Indonesia seolah tidak pernah ada habisnya. Mulai dari tuduhan Jokowi kader PKI hingga situs skandal Sandiaga menjadi makanan sehari-hari dalam politik tanah air.
Dalam kadar tertentu, para politisi memang menggunakan hoaks untuk bisa mendapatkan jabatan publik. Hampir seluruh aktor politik dari berbagai spektrum menggunakan strategi misinformasi untuk memperkuat ikhtiar elektoral mereka.
Melesatnya penggunaan media sosial membuat penyebaran hoaks menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan. Nyaris seluruh berita-berita palsu bersumber dari media sosial karena kondisinya yang memungkinkan konten tanpa kaidah jurnalisme dapat dengan mudah menyebar.
Tren ini bersifat sangat global dan tidak hanya mewarnai politik di negeri ini saja. Politik post-truth atau pasca-kebenaran kerap dianggap sebagai penyebab berita palsu menjadi mudah dipercayai, sehingga penyebarannya seperti tidak bisa dibendung.
Berkembang pesatnya berita-berita palsu ini membuat masyarakat diliputi kebingungan. Di satu sisi, muncul masyarakat yang kritis dalam memahami berita. Akan tetapi, jika merujuk pada penelitan yang dibuat oleh Edson C. Tandoc dan kawan-kawan, fenomena ini menimbulkan kelompok masyarakat yang tidak bisa membedakan antara produk jurnalistik dan non-jurnalistik.
Di titik itu, terlihat bahwa masyarakat butuh bantuan untuk bisa membedakan mana karya jurnalistik yang mumpuni dan mana yang tergolong hoaks. Literasi digital masyarakat memang perlu diakui tidak sepenuhnya sempurna.
Boleh jadi, perang hoaks seminggu sekali ala Kemenkominfo ini adalah bentuk dari ikhtiar pembentukan literasi tersebut. Hal ini boleh jadi terlihat relevan jika mengingat Indonesia adalah salah satu negara dengan pengguna media sosial terbanyak di dunia.
Sejauh ini, pemerintah melalui Kemenkominfo sudah terlebih dahulu membongkar hoaks yang beredar di masyarakat melalui situs stophoax.id. Perang hoaks seminggu sekali ini boleh jadi menjadi amunisi tambahan agar masyarakat tidak lagi dilanda keresahan berlebihan akibat terpapar berita bohong.
Penanda Mengambang
Salah satu persoalan paling sulit diurai adalah tentang siapa yang paling berkontribusi bagi penyebaran hoaks. Setelah itu, sulit pula untuk menemukan siapa yang paling memiliki otoritas sempurna untuk menentukan apakah suatu berita dapat dikatakan valid atau tergolong ke dalam berita palsu.
Boleh jadi kesulitan semacam itu muncul karena sifat dari hoaks atau berita palsu yang tergolong ke dalam floating signifier atau penanda mengambang. Hal ini diungkapkan oleh Johan Farkas dan Jannick Schou. Klasifikasi semacam ini membuat hoaks bisa digunakan siapa saja sesuai dengan apa yang ingin dibentuk.
Di titik itu, hoaks dapat digunakan oleh siapapun sesuai dengan kepentingan mereka. Hal ini tergantung pada proyek hegemoni yang ingin dibentuk oleh pihak yang memanfaatkan hoaks sebagai penanda mengambang tersebut.
Bukan kebohongan, melainkan kebenaranlah yang menjadi sumber hoax. Yaitu kebenaran yang dipamerkan kekuasaan.
— Rocky Gerung (@rockygerung) March 7, 2018
Jika hegemoni yang menjadi landasannya, pemerintah menjadi salah satu pihak yang memiliki kekuatan paling besar. Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah memiliki kekuatan yang lebih dari cukup untuk memainkan hoaks. Pemerintah melalui berbagai fasilitas dan jejaringnya memiliki potensi yang tergolong tinggi untuk memberikan diskursus mana yang hoaks dan mana yang bukan.
John W. Whitehead dari Rutherford Institute dengan terang bahkan menyebut bahwa pemerintah adalah pelaku terbesar dari penyebaran berita palsu. Dalam tulisannya, Whitehead merujuk kepada pemerintah Amerika Serikat (AS) sebagai propagator terbesar dari berita palsu.
Menurut Whitehead, pemerintah AS tidak ingin membuat masyarakat bersikap skeptis terhadap pesan pemerintah atau korporasi yang menjadi kaki tangan mereka. Mereka memiliki keinginan agar masyarakat selalu curiga terhadap berita independen atau alternatif dan mempercayai hanya berita dari mereka atau korporasi yang menjadi kolega pemerintah.
Di titik ini, pemerintah Indonesia melalui Kemenkominfo seperti tengah memegang bola panas. Ada potensi bahaya jika mereka terjebak menggunakan hegemoni terlalu berlebihan. Dalam kadar tertentu, mereka justru juga bisa menjadi propagator terbesar dari penyebaran berita palsu.
Potensi Bias
Berdasarkan kondisi tersebut, meski inisiatif Kemenkominfo sekilas terlihat baik, ada bahaya yang bisa muncul dari perang hoaks seminggu sekali tersebut. Ada potensi bias yang cukup besar jika mereka diberi kuasa untuk menilai mana yang hoaks dan mana yang bukan.
Bias ini dalam kadar tertentu bisa menguntungkan pihak pemerintah ketika diserang oleh kabar-kabar yang merugikan. Cap hoaks dapat diberikan Kemenkominfo jika ada suatu berita yang tidak sesuai dengan standar pemerintah.
Momen rencana perang hoaks seminggu sekali ini tampak tidak bisa menemukan waktu yang lebih tepat lagi. Rencana Menkominfo ini bertepatan dengan genderang Pilpres 2019 yang beberapa waktu lalu resmi ditabuh. Dalam konteks ini, bias dalam pemberian cap hoaks oleh Kemenkominfo bisa saja memberikan keuntungan kepada Jokowi sebagai petahana.
Sulit untuk bisa melepaskan adanya konflik kepentingan antara Menkominfo dan Jokowi sebagai presiden sekaligus kandidat petahana. Secara formal, bagaimanapun juga Rudiantara masih merupakan “anak buah” Jokowi dan harus menaati instruksi sang presiden.
Di titik itu, bisa saja Menkominfo terlalu banyak memberi fokus pada hoaks yang menyerang pemerintahan Jokowi. Secara alamiah, serangan terhadap pemerintah memiliki dampak pada peluang Jokowi sebagai petahana. Jika fokus Menkominfo terlalu banyak pada hoaks yang menyerang pemerintah, maka secara elektoral Jokowi bisa memperoleh keuntungan.
Wow, pemerintah berencana ungkap hoaks seminggu sekali! Share on XYang lebih berbahaya adalah jika Menkominfo terjebak menjadi pelaku terbesar dari penyebaran berita palsu seperti yang diungkapkan Whitehead. Jika hal ini terjadi, pemerintah bisa saja menjadi produsen hoaks yang dicap sebagai berita valid, selagi memberi keuntungan bagi pemerintahan Jokowi.
Sementara itu, berbagai berita alternatif atau independen jika mengandung unsur yang bisa membuat pesan pemerintah terlihat buruk akan dicap buruk. Sumber-sumber berita semacam itu kemudian akan diliputi kecurigaan meski pada praktiknya sudah membuat produk jurnalisme yang sahih. Masyarakat seperti dipaksa percaya bahwa berita yang benar adalah dari pemerintah dan sumber yang diverifikasi mereka.
Berdasarkan kondisi-kondisi ini, meski inisiatif untuk melakukan perang hoaks adalah hal yang menarik, tetapi kekuasaan yang dimiliki oleh Kemenkominfo boleh jadi terlampau rawan. Sulit untuk bisa melepaskan fakta bahwa saat ini Rudiantara masih ada di bawah kendali Jokowi.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya berhati-hati, jangan sampai hasrat untuk membantu literasi digital masyarakat justru terpenjara oleh sikap yang bias. Akan sangat ideal jika Rudiantara bisa menemukan formula yang tepat agar inisiatif ini tidak memberi untung satu pihak saja secara elektoral. (H33)