Sikap elite kubu Prabowo-Sandi yang kian garang terhadap petahana menjadi pertanyaan banyak pihak. Apa yang sesungguhnya sedang dimainkan?
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]eskipun telah seminggu berlalu, nampaknya banyak pihak yang belum bisa move on dari panas-panasnya pertempuran Pilpres pada 17 April lalu. Hal ini cukup tercermin dari pertarungan udara dari kedua kubu yang bertarung yang bisa dikatakan menegangkan.
Panas politik ini kian berlanjut ketika hasil quick count atau hitung cepat menunjukkan bahwa paslon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin mendapatkan kemenangan sementara. Namun, kondisi ini tak serta merta diterima oleh kubu penantang, Prabowo Subianto-Ma’ruf Amin. Klaim kemenangan kubu nomor urut 02 itu pun akhirnya tak terhindarkan.
Mengapa Prabowo tak mau rekonsiliasi? Share on XSelain klaim kemenangan, ikhtiar kubu 02 dalam pilpres kali ini tercermin dari semakin membesarnya gelombang narasi tuduhan kecurangan Pilpres 2019. Bahkan sikap yang ditujukan cenderung frontal menyerang Jokowi.
Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais misalnya, sempat menyebut Jokowi sebagai “presiden bebek lumpuh” dalam salah satu kesempatan. Demikianpun dengan pernyataan bernada serupa dari beberapa elite kubu Prabowo.
Sebagai pihak yang menang versi quick count, kubu 01 pun telah berupaya menawarkan rekonsiliasi lewat Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang mengajak Prabowo untuk bertemu. Namun, hingga kini ajakan tersebut tak direspon.
Sikap menyerang kubu oposisi kepada sosok petahana ini menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut. Hal ini karena kubu Jokowi pun juga tak terlalu agresif dan ofensif, bahkan cenderung melunak dan lembut dalam menyikapi manuver-manuver kubu Prabowo. Padahal sebelum Pilpres dilaksanakan, kedua kubu terlihat saling serang di berbagai kesempatan.
Terlepas dari pandangan bahwa pentingnya persatuan yang perlu dibangun sehabis Pilpres, tentu perbedaan sikap ini menarik untuk dikaji secara mendalam. Mungkinkah memang ada makna secara politik di balik sikap keras kubu 02 dan sikap lunak kubu 01?
Politik Narasi
Nampaknya kubu Prabowo belum mau menyerah kalah. Setidaknya hal tersebut yang ditulis oleh jurnalis John McBeth dalam sebuah artikelnya di Asia Times pagi ini.
Dalam tulisan tersebut, McBeth mengatakan bahwa Prabowo terlihat ingin terus memberikan tekanan pada Jokowi sebagai upaya lemparan terakhir dari “dadu politik” yang ia punya. Benarkah demikian?
Bisa jadi pendapat McBeth kali ini tak sepenuhnya salah. Hal ini terlihat dari “garangnya” sikap elite-elite kubu Prabowo dalam menanggapi hasil Pilpres kali ini. Apalagi, real count yang dilakukan oleh KPU hingga saat ini masih mengunggulkan Jokowi-Ma’ruf dengan persentase 56 persen berbanding 44 persen milik Prabowo-Sandi dengan total data masuk mencapai 38 persen.
Seperti disinggung di awal tulisan, Amien Rais menjadi salah satu elite kubu Prabowo yang cukup frontal menyerang Jokowi. Dalam acara syukuran relawan Prabowo yang dilaksanakan di gedung Padepokan Pencak Silat TMII beberapa waktu lalu, Amien berbicara soal “presiden bebek lumpuh” untuk menyindir Jokowi.
Ia bahkan menuduh pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan yang bersifat seolah-olah demokrasi – yang berarti penampakannya saja demokrasi, padahal substansinya otoriter.
Selain Amien Rais, beberapa elite Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi juga menyerukan pernyataan-penyataan yang secara keras menyudutkan petahana, khususnya di media sosial mereka.
Sekelas Capres harusnya ketemu Capres, bukan utusan. Ngotot pengen ketemu Prabowo, apa mau diamplopi juga biar Prabowo diam?https://t.co/gnWbgCIGhO
— J. SURYO PRABOWO (@berteman_mari) April 20, 2019
Fadli Zon, Said Didu, hingga Rizal Ramli konsisten mengeluarkan narasi kecurangan Pemilu di akun Twitter pribadi mereka.
Namun, yang paling membuat bergidik tentu saja adalah ancaman people power yang sempat dilontarkan oleh Amien Rais. Pernyataan Amien ini pun ditanggapi secara serius oleh anggota Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Eggi Sudjana.
Ia bahkan menyatakan people power tidak membutuhkan izin dari aparat keamanan dan berencana untuk melakukan gerakan ini dan menganggapnya sama saja dengan demonstrasi besar pada 1998 silam.
Tak kalah panas, video Habib Rizieq Shihab soal kecurangan Pemilu juga beredar baru-baru ini, di mana Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu melontarkan ancaman people power serupa dengan Eggi Sudjana dan memperingatkan Jokowi agar berhati-hati dengan adanya gerakan rakyat ini. Ia juga menyebut bahwa people power merupakan hal yang sah dan konstitusional.
Mungkin seruan Rizieq tersebut yang kemudian mengilhami Ketua Persaudaraan Alumni (PA) 212 Slamet Maarif dan Ketua Umum DPP FPI Sobri Lubis untuk mengelar Ijtima Ulama III yang disebut akan dilangsungkan dalam waktu dekat untuk menyikapi dugaan kecurangan yang terjadi dalam Pemilu 2019 ini.
Dengan berbagai fakta tersebut, beberapa pihak menilai kubu 02 nampaknya tengah memainkan apa yang disebut sebagai politik narasi.
Politik narasi sendiri merupakan salah satu seni persuasi melalui berbagai retorika yang dikonstruksi secara luas, baik melalui media massa maupun secara estafet dari mulut ke mulut.
Setidaknya Jeffrey C. Alexander dan Bernadette N. Jaworsky telah membuktikannya dalam bukunya yang berjudul Obama Power.
Mereka menjelaskan bagaimana politik narasi mampu menjadi kekuatan politik Barack Obama dalam mengambil hati para pemilihnya.
Narasi yang dibangun Obama kala itu adalah narasi protagonis yang berani menantang antagonisme yang dikonstruksikan pengecut dan jahat dalam politik Amerika Serikat (AS). Sehingga, pemilih akan cenderung melihat narasi politik Obama dibanding mempercayai kampanye-kampanye berbasis kebijakan.
Retorika protagonisme Obama ini yang kemudian membuat pemilih tak memilih secara rasional, namun sebaliknya justru mengaktifkan pandangan imajinatif dan emosional terhadap sosoknya.
Sehingga, kekuatan politik presiden kulit hitam pertama AS ini bertransformasi dalam bentuk yang menarik perhatian media dan publik melalui narasi yang secara moral menarik berdasarkan apa yang ditafsirkan oleh pemilih.
Hal serupa yang mungkin sedang diupayakan oleh Prabowo saat ini, yakni melakukan manuver politik melalui berbagai narasi kecurangan dan ancaman people power yang cukup lantang.
Efeknya tentu saja membuat para pendukung fanatik kubu 02 semakin terjebak dalam emosi irasonal. Sedangkan, para pendukung 01 pun pada kadar tertentu juga berpotensi tersulut emosi dan ketakutan politik.
Sehingga, sesungguhnya narasi-narasi yang menyulut emosi ini memang sengaja dihadirkan oleh para elite ini. Namun, pertanyaan menggelitik selanjutnya adalah apa sesungguhnya yang ingin diraih oleh kubu 02?
Strategi Bargaining?
John McBeth seperti sudah disinggung sebelumnya, melihat dua kemungkinan dari manuver Prabowo. Pertama, sang jenderal benar-benar percaya bahwa ia adalah korban kecurangan Pemilu. Sedangkan yang kedua, ia sedang memancing Jokowi untuk membicarakan konsesi politik yang lebih besar dalam pembentukan pemerintahan baru nantinya.
Argumentasi tersebut sepertinya tak terlalu berlebihan. Mengingat kedua kubu memang tengah berada pada kondisi bargaining power.
Secara teoritis, bargaining power dalam politik adalah sarana untuk mengukur potensi keuntungan dan kerugian serta hasil akhir sebuah konflik antara dua aktor sebagai interaksi tawar-menawar.
Menurut Lehman B. Fletcher dari Iowa State University, bargaining power sendiri merupakan kekuatan tawar-menawar yang tergantung pada kekuatan relatif para pihak yang terlibat di dalamnya.
Proses ini sesungguhnya juga ditentukan oleh situasi untuk saling mempengaruhi satu sama lain. Jika kedua belah pihak memiliki kekuatan yang sama, maka mereka akan memiliki daya tawar yang sama.
Berdasarkan teori di atas, sesungguhnya kartu truf bargaining power antara Prabowo dan Jokowi ada di tangan pihak-pihak yang kini tengah memainkan politik narasi ini.
Melihat kedekatan Prabowo dengan kelompok-kelompok Islam konservatif layaknya FPI dan Presidium Alumni (PA) 212, nampaknya mereka adalah kekuatan politik terakhir yang dimiliki oleh sang jenderal, sekaligus juga sebagai alat bargain.
Asumsi tersebut bukan tanpa alasan. Jika melihat kondisi koalisi Adil dan Makmur sendiri kini justru sedang dirumorkan menuju perpecahan.
Hal ini terlihat dari sikap salah satu partai koalisi, yakni PAN yang beberapa waktu lalu justru mewacanakan untuk bergabung di koalisi petahana. Lalu PKS juga cenderung melihat positif hasil quick count yang dilakukan oleh beberapa lembaga. Pun Partai Demokrat yang tak tampil konfrontatif.
Selain itu, sosok Sandiaga sebagai orang yang digadang-gadang menjadi salah satu kekuatan politik Prabowo nampaknya juga tampil dengan sikap sopan dan cukup defensive di berbagai kesempatan pasca Pilpres kali ini.
Sehingga, sikap galak kubu Prabowo ini juga bisa dimaknai sebagai grand strategy atau strategi besar untuk memperkuat daya tawar posisi politiknya terhadap kubu petahana.
Kubu petahana pun juga terlihat cukup melunak dalam menghadapi sikap garang kubu 02. Hal ini terlihat dari berbagai pernyataan kubu tersebut yang cenderung tak terlalu meladeni gertakan-gertakan Amien Rais, tokoh-tokoh alumni gerakan 212, dan beberapa elite pendukung Prabowo lainnya.
Hal ini salah satunya bisa dilihat dalam pernyataan pujian Luhut Pandjaitan kepada Prabowo. Dalam sebuah wawancara dengan awak media, Luhut menyebut Prabowo sebagai seorang patriot sejati yang sangat mencintai NKRI. Ia juga memuji sikap nasionalisme Prabowo yang cukup tinggi.
Ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri juga menjadi salah satu elite yang cukup kalem menyikapi situasi. Ia bahkan juga memuji pidato kemenangan Prabowo pada 17 April lalu.
Oleh karenanya, kondisi politik kini sesungguhnya tergantung bagaimana elite-elite kedua kubu saling melakukan komunikasi politik, mengingat menurut Harold Lasswell, politik adalah persoalan who get what, when and how. Sehingga, bargaining power yang menjadi upaya politik terakhir Prabowo ini bisa jadi cukup menjadi penentu kekuasaan Jokowi di periode kedua – katakanlah jika situasi politik tidak mengalami perubahan berarti.
Lalu, jika yang terjadi saat ini adalah grand strategy tawar menawar di antara kedua belah pihak, siapa kira-kira yang mendapat untung paling banyak? Menarik untuk ditunggu. (M39)