Site icon PinterPolitik.com

Perang Event: Sandiaga vs Erick

perang event sandiaga vs erick

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno (kiri) dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir (kanan). (Foto: Media Indonesia)

Perang event antara Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir semakin memanas. Mereka tampak memiliki jagoan masing-masing, yakni Coldplay dan tim nasional (timnas) Argentina.


PinterPolitik.com

“Damn, I swear sports and music are so synonymous. ‘Cause we want to be them, and they want to be us” – Drake, “Thank Me Now” (2010)

Di tengah Kota Surabaya yang panas pada tahun 2010-an silam, sebuah persaingan panas juga pernah terjadi. Kali ini, persaingan tidak terjadi di antara dua kubu politik, melainkan di antara dua sekolah menengah atas (SMA) yang populer di Kota Pahlawan tersebut – yakni antara SMA Negeri 5 Surabaya (Smala) dan SMA Negeri 2 Surabaya (Smada).

Tentu, persaingan tidak terjadi dalam bentuk tawuran, melainkan dalam bentuk event. Sudah menjadi hal umum bahwa SMA-SMA di Surabaya ini saling bersaing dalam mengadakan acara festival musik.

Nouveau dan DAF, misalnya, merupakan dua acara festival musik ternama di Surabaya. Masing-masing diadakan oleh Smala dan Smada. Meski berbeda acara, mereka kerap bersaing untuk memperebutkan bintang tamu ternama hingga para pembeli tiket.

Nah, hal yang sama mungkin juga terjadi di tingkat nasional, yakni antara Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Kedua menteri ini tampak sedang menggiatkan events besar untuk menggaet animo publik.

Sandiaga, misalnya, tampak begitu giat mengunggah berbagai konten dan kegiatan yang berkaitan dengan konser Coldplay yang akan digelar di Jakarta pada 15 November 2023 mendatang. Bahkan, sang Menparekraf sampai beberapa kali mengunggah bocoran atau teaser terkait rumor konser tersebut.

Nah, di sisi lain, Erick juga dikabarkan akan menggelar sebuah acara yang besar lainnya, yakni pertandingan persahabatan antara tim nasional (timnas) Indonesia dan timnas Argentina. Wacana inipun ramai dibicarakan usai kemenangan timnas Indonesia U-22 memenangkan medali emas di South-East Asian (SEA) Games 2023 di Kamboja.

Menariknya lagi, Erick sempat mengeluarkan pernyataan yang menyinggung fenomena ticket war konser Coldplay. “Yang pasti kalau ticketing kok saya yakin lebih booming dari Coldplay. Betul?” ujar Erick. Apalagi, pada Senin, 5 Juni 2023, perang tiket Argentina akan dimulai.

Bukan tidak mungkin, pernyataan tersebut juga menandakan persaingan yang tengah terjadi antara Erick dan Sandiaga. Pasalnya, kedua menteri ini dinilai berpotensi untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres) – yang mana juga santer dibicarakan masuk bursa cawapres untuk Ganjar Pranowo.

Bila benar terjadi perang, mengapa Erick dan Sandiaga memilih untuk berperang melalui event di bidang olahraga dan musik? Lantas, bagaimana perang ini bisa mempengaruhi strategi politik elektoral – khususnya untuk menuju kuris cawapres?

Eventevent Apa yang Politis?

Apa yang dibilang penyanyi rap (rapper), Drake, dalam lagunya yang berjudul “Thank Me Now” (2010) yang dikutip di awal tulisan sebenarnya melambangkan bagaimana dunia musik dan olahraga saling berkaitan. Keduanya merupakan bagian dari budaya populer yang dipegang oleh masyarakat luas.

Maka dari itu, kedua hal ini selalu mendapatkan perhatian besar dari masyarakat. Perhatian itu pun mencakup sejumlah events yang sudah dan akan digelar di Indonesia dalam beberapa bulan ke depan – mulai dari konser BLACKPINK, konser Coldplay, batalnya Piala Dunia U-20 2023, hingga FIFA Matchday antara Indonesia dan Argentina.

Nah, mengapa budaya populer ini menjadi penting dalam kehidupan masyarakat? Pertanyaan inilah yang kemudian dicoba untuk dijawab oleh Douglas Kellner dalam bukunya yang berjudul Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Post Modern.

Budaya media (media culture) merupakan sebuah panggung di mana konflik sosial terjadi dan realitas sosial terbangun. Layaknya panggung pada umumnya, budaya media juga diisi dengan berbagai pertunjukan – yang mana disebut sebagai media spectacles (pertunjukan media) oleh Kellner.

Lantas, bagaimana dampak pertunjukan-pertunjukan media terhadap dinamika dan diskrusus politik? Contoh yang mungkin paling terlihat adalah pagelaran Asian Games 2018 yang mana Indonesia menjadi tuan rumah.

Tidak dapat dipungkiri, acara olahraga besar tersebut secara tidak langsung turut membangun realitas sosial di dunia politik. Dampaknya terhadap citra Presiden Joko Widodo (Jokowi), misalnya, turut terasa karena menambah sekian kesuksesan politik mantan Wali Kota Solo tersebut.

Selain Jokowi, Asian Games 2018 juga memunculkan nama-nama baru dalam dunia politik dan pemerintahan. Beberapa di antaranya adalah Wishnutama Kusubandio yang sempat didapuk menjadi Menparekraf di awal periode kedua Jokowi dan Erick yang akhirnya menjabat sebagai Menteri BUMN setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Secara tidak langsung, realitas sosial inilah yang terbangun melalui budaya dan pertunjukan media. Namun, sejumlah pertanyaan lanjutan kemudian muncul. Mungkinkah “panggung” budaya media ini sedang terjadi juga menjelang Pilpres 2023? Mengapa Erick dan Sandiaga begitu getol dengan event mereka masing-masing?

Coldplay vs Argentina ala Sandiaga-Erick?

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bukan tidak mungkin konser Coldplay maupun pertandingan Indonesia vs Argentina merupakan bentuk pertunjukan-pertunjukan yang disajikan dalam “panggung” budaya media. 

Bisa saja, events inipun turut membangun realitas sosial di tengah dinamika menuju Pilpres 2024. Pasalnya, kedua politisi sekaligus pejabat publik ini – Sandiaga dan Erick – sama-sama disebut berpotensi untuk mendampingi Ganjar sebagai cawapres dari PPP.

Seperti yang dijelaskan dalam tulisan PinterPolitik.com yang berjudul Ada Apa dengan Sandiaga-Coldlplay?, budaya populer (popular culture) memiliki pengaruh dalam dunia politik. Dengan mengutip tulisan Omer M. Manhaimer yang berjudul Between Pepe and Beyoncé: The Role of Popular Culture in Political Research, budaya populer dapat menjadi stok luas atas pengetahuan, bentuk-bentuk, analogi, simbol, dan teknik sosial yang dapat dikomunikasikan dan digunakan oleh aktor-aktor sosio-politik untuk mempengaruhi lingkungannya.

Lebih lanjut lagi, budaya populer memiliki kedekatan dengan kelompok muda. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemilih muda yang terdiri dari generasi Milenial dan Generasi Z menjadi kelompok pemilih terbesar, yakni sekitar 60 persen dari pemilih total yang berjumlah 187 juta orang.

Inilah mengapa – baik musik maupun olahraga – dapat mempengaruhi dinamika pemilihan cawapres menuju Pilpres 2024. Pasalnya, sudah bukan rahasia lagi apabila generasi muda memiliki kaitan erat dengan budaya populer.

Tippabhotla Vyomakesisri, Thigulla Sonu,  dan Doballi Srikanth dalam tulisan mereka yang berjudul POP Culture: Interaction of and Influence on the Youth menjelaskan bahwa budaya populer kini menjadi kekuatan utama (central force) di abad ke-21 yang dipenuhi dengan peningkatan kesadaran digital (digital literacy) di kalangan anak muda.

Dengan peran Erick dan Sandiaga yang kerap bermain di “panggung” budaya media, bukan tidak mungkin kedua politisi ini dianggap memiliki pengaruh luas dalam mempengaruhi pemilih-pemilih muda ini – membuat mereka menjanjikan bagi para calon presiden (capres) pada Pilpres 2024 nanti.

Namun, tentu, seperti pada persaingan umumnya, jumlah sumber atau status “juara” yang bisa dimenangkan juga terbatas. Menjadi menarik untuk diamati kelanjutannya soal siapa dari Sandiaga dan Erick yang bisa menyajikan pertunjukan atau event yang lebih menarik bagi kalangan muda Indonesia. (A43)


Exit mobile version