Diskursus Perang Dunia III kembali mengemuka setelah ketegangan Amerika Serikat (AS) vs Tiongkok dan Rusia terus meningkat seiring waktu. Jika konflik terbuka benar-benar terjadi, Indonesia agaknya akan menjadi negara yang paling dirugikan. Mengapa demikian?
Invasi Ukraina oleh Rusia masih terus berlangsung hingga detik ini. Bersamaan dengan itu, ketegangan Taiwan dan Laut China Selatan (LCS) disebut-sebut bisa saja memantik eskalasi lebih lanjut mengingat benturan dengan kepentingan Barat, terutama Amerika Serikat (AS), di sana.
Berdasarkan catatan historis, dunia belum pernah melihat destabilisasi geopolitik seperti ini sejak pra-Perang Dunia II yang disebabkan oleh tindakan Nazi Jerman, Italia, dan Jepang.
Oleh karena itu, beberapa analis melihat serangkaian gejala yang ada sebagai permulaan dari konflik distopia bertajuk Perang Dunia III.
Salah satu yang teranyar datang dari mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Henry Kissinger, yang pada pekan lalu menilai bahwa negaranya di ambang perang terbuka dengan Rusia dan Tiongkok.
Jika dirunut akar persoalannya, ketua Subkomite Asia-Pasifik di Kongres AS ke-115 Theodore Scott Yoho, menganggap kepemimpinan AS di panggung global pasca Perang Dingin telah melemah dan kehilangan fokus sehingga menciptakan kekosongan.
Kekosongan itu menurutnya dalam bahaya karena kemudian diisi oleh dua pemimpin otoriter kuat dunia, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Tiongkok Xi Jinping.
Ketidakstabilan lantas tercipta saat AS berupaya mempertahankan hegemoni bersama sekutunya, namun berbenturan dengan perspektif aktor lain yang memandang negeri Paman Sam adalah rival.
Tidak hanya Rusia dan Tiongkok, terdapat aktor lain yang menganggap AS sebagai musuh, yakni Korea Utara hingga Iran. Poros negara ini dianggap menjadi cetak biru atas titik panas teater Perang Dunia III nantinya.
Terlebih, pasca kunjungan Ketua Parlemen AS Nancy Pelosi ke Taiwan pada awal Agustus lalu, media pemerintah Tiongkok Global Times merespons dengan cukup serius bahwa “arena peperangan telah siap”.
Bahkan, prediksi serupa pun datang dari bos Tesla Elon Musk yang sempat mengutarakan bahwa Perang Dunia III lebih mungkin tercipta belakangan ini akibat gejala-gejala perseteruan negara besar yang kian terlihat.
Sementara itu, Profesor Emeritus di Pusat Studi Strategis dan Pertahanan Australian National University, Paul Dibb, juga menilai bahwa manuver Tiongkok di LCS telah melampaui apa yang mereka bisa lakukan selama ini dan kian dekat untuk mengincar sekutu AS, yakni Australia.
Memang, terdapat analisis tandingan yang menyebut bahwa interdependensi perdagangan di antara negara-negara kuat mencegah ditariknya pelatuk peperangan.
Namun, menurut dua pakar peperangan abad ke-21 Peter Warren Singer dan August Cole dalam tulisannya di Time mengatakan, pola perdagangan bersejarah antara kekuatan-kekuatan besar sebelum dua edisi perang dunia terakhir, dapat menegasikan perspektif tandingan tersebut.
Kembali ke analisis Dibb, agaknya cukup menarik pula untuk ditelisik lebih lanjut mengingat Australia adalah negara yang berbatasan langsung di selatan Indonesia.
Perang terbuka tampaknya akan memberikan konsekuensi keamanan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya di tanah air.
Lalu, siapkah Indonesia menghadapi skenario terburuk itu?
Indonesia Terjepit?
Eskalasi konflik terbuka sempat pula dilihat oleh Noah Smith dalam publikasinya yang berjudul The U.S. must commit to making South and Southeast Asia rich. Menariknya, dia menyinggung pertautan dengan Indonesia, jika AS dan Tiongkok benar-benar terlibat dalam pertempuran.
Menurutnya, alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) terutama jalur Selat Malaka yang menuju LCS via perairan Natuna, akan menjadi rebutan kekuatan besar – AS dan Tiongkok – karena merupakan jalur yang sangat strategis. Tidak hanya bagi mobilitas pasukan, tetapi juga dalam aspek logistik tempur dan bantuan tempur.
Jika dielaborasi dengan alarm dari Profesor Dibb, keterlibatan sekutu AS, yakni Australia, membuat posisi Indonesia berada di antara kekuatan-kekuatan itu jika perang pecah di teater Pasifik.
Terlebih, di timur Indonesia, Tiongkok telah menggenggam pivot manuver militer dengan kerja sama pertahanannya bersama Fiji, Papua Nugini, Vanuatu, hingga Tonga.
Sepanjang tahun 2000 sampai 2020, Stockholm International Peace Research Institute mencatat bahwa Tiongkok telah memberikan bantuan pendanaan militer dan pertahanan sebesar US$54,8 juta atau sekitar Rp807 miliar ke negara-negara itu.
Selain dari aspek kerentanan geostrategis, jika dilihat dengan seksama, Indonesia juga masih menyimpan kelemahan klasik.
Ya, jika terjadi perang terbuka, belum mumpuninya alutsista dalam menyokong apapun posisi politik luar negeri Indonesia kelak, dinilai akan menjadi permasalahan utama.
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Politik Alutsista, Musuh Terbesar Prabowo? telah dijabarkan kecenderungan itu.
Hingga detik ini, modernisasi alutsista Indonesia secara faktual dikatakan masih jauh tertinggal dengan negara serumpun, seperti Singapura, misalnya.
Media asal Prancis, Meta-Defense, mengatakan modernisasi alutsista Indonesia bekerja layaknya drama sinetron. Hal tersebut dikarenakan, dalam membeli alutsista, rencana belanja Indonesia terlihat dibuat secara mendadak dan tidak beraturan.
Kendala berupa tarik menarik vested interest atau kepentingan pribadi/kelompok yang terbalut dalam rumitnya birokrasi politik anggaran aspek pertahanan disinyalir menjadi biang keladinya.
Jonah Blank dalam buku berjudul Regional Repsonses to US-China Competition in the Indo-Pacific: Indonesia juga menganalisis kelemahan militer dan pertahanan negeri Khatulistiwa.
Alumni Harvard University itu melampirkan korespondensi perwira militer AS yang selama kariernya bersinggungan dengan TNI, menemukan serangkaian persoalan pelik.
Pertama, angkatan bersenjata Indonesia masih berkutat dengan penekanan pada modernisasi alutsista daripada perluasan kekuatan yang merata di seluruh wilayah yang punya kerentanan keamanan tinggi.
Dengan aktualisasi modernisasi yang membutuhkan waktu plus birokrasi rumit sektor pertahanan, Indonesia dinilai selalu tertinggal dua sampai tiga langkah dalam setiap rencana pertahanan yang dibuat dibandingkan perkembangan tantangan kontemporer.
Kedua, aspek anggaran lagi-lagi jadi variabel determinan. Blank menyebut bahwa budgeting pertahanan Indonesia jauh lebih kecil dari skala teritorial dan struktur militernya.
Selama dekade 2008–2018, Indonesia hanya menghabiskan kurang dari US$5,8 miliar, dibandingkan dengan US$3,3 miliar yang dihabiskan oleh Malaysia (yang memiliki 12 persen dari populasi Indonesia dan seperempat jumlah personel militernya).
Pun dengan Singapura yang sepanjang dekade serupa mampu mengeluarkan US$8 miliar anggaran pertahanan.
Ketiga, terdapat kritik yang dilampirkan Blank dengan mengutip kecenderungan kultur militer Indonesia.
Seorang perwira anonim AS mengatakan bahwa petinggi angkatan bersenjata Indonesia lebih mengutamakan office calls, kunjungan kehormatan, parade, dan seremoni. Berbeda dengan AS yang dalam kultur militernya begitu profesional dalam peningkatan kemampuan dari waktu ke waktu dengan indikator yang jelas.
Bahkan, serangkaian kelemahan itu sempat dielaborasi sendiri oleh sejumlah tokoh di tanah air mulai dari Prabowo Subianto, Ryamizard Ryacudu, hingga Megawati Soekarnoputri, yang pernah menyebut bahwa Indonesia maksimal hanya sanggup bertahan sepekan jika mendapat serangan.
Meskipun belum terpetakan apakah Indonesia akan terlibat langsung atau hanya menjadi “penonton”, kualitas sektor militer dan pertahanan tentu akan menjadi ujung tombak utama kala perang berkecamuk.
Oleh karena itu, serangkaian kerentanan di atas agaknya membuat kesiapan Indonesia apabila dihadapkan pada peperangan antar kekuatan besar dunia dipertanyakan.
Lantas, bagaimana dampak yang akan dirasakan masyarakat Indonesia jika Perang Dunia III menjadi kenyataan?
Alami Kiamat Ekonomi?
Terlepas dari keberpihakan atau netralitas Indonesia, aspek perekonomian tentu akan menjadi yang paling awal plus paling berat ditanggung setiap individu di tanah air jika perang terjadi.
Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira Adhinegara pernah memetakan dampak Perang Dunia III berupa lonjakan harga bahan bakar yang merembet ke aspek lain dan akan sangat mengancam.
Krisis menjadi ihwal yang tak terhindarkan ketika variabel lain seperti terhentinya investasi, penurunan nilai tukar Rupiah, serta terhambatnya rantai pasokan turut memperburuk situasi.
Charles Parton, mantan diplomat Inggris di Asia timur membingkai situasi tersebut sebagai economic armageddon atau kehancuran total ekonomi.
Selain itu, medan peperangan di dunia siber yang membedakan dengan dua perang dunia edisi sebelumnya, dinilai juga memaksa negara-negara di luar aktor utama pertempuran, turut terseret.
Mulai dari kekacauan multidimensi akibat peretasan hingga terminologi kontemporer seperti firehose of falsehood atau propaganda kepalsuan, yakni penciptaan disrupsi hoax tentang anonimitas pihak yang menyerang dan pihak mana yang menjadi korbannya.
Jika mengacu pada publikasi Resy Woro Yuniar yang berjudul Is Indonesia becoming too reliant on Huawei? tentang ketergantungan terhadap infrastruktur digital Tiongkok, hampir dapat dipastikan Indonesia akan turut terdampak peperangan di ranah siber tersebut.
Lalu, jika dilihat secara sosiokultural, mayoritas populasi Indonesia saat ini pun belum pernah merasakan berada dalam suasana mencekam saat berada di tengah-tengah sebuah konflik, apalagi perang dunia.
Ini belum termasuk atmosfer ancaman perang nuklir yang dapat sangat destruktif dampaknya, baik secara materiil maupun imateriil seperti kondisi psikis masyarakat luas.
Dihantui ketidakpastian dalam berbagai sektor akibat perang, agaknya akan sangat menguji resiliensi warga +62 kelak.
Kendati demikian, getirnya dampak perang secara global tentu tidak diinginkan pihak manapun. Langkah diplomasi kolektif untuk membuat Perang Dunia III tetap berada di ranah fiksi diharapkan menjadi upaya pencegahan yang terus diperjuangkan. (J61)