Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memberi ancaman akan melakukan perang jika Rusia dan Tiongkok terus melancarkan serangan siber ke perusahaan-perusahaan penting AS. Dengan besarnya cost dan korban jiwa, mungkinkah Biden akan menyatakan perang?
“Love and war always go together!” – Rick Riordan, penulis asal Amerika Serikat
Ada harapan yang disematkan di pundak Joe Biden. Dunia berharap, akan ada politik yang lebih stabil, khususnya dengan Tiongkok, pasca Donald Trump tidak lagi menjadi Presiden Amerika Serikat (AS). Namun, harapan ini tampaknya mulai mendapatkan berbagai keraguan.
Pada 17 Juni, misalnya, Biden mempertanyakan keseriusan Tiongkok dalam mencari kejelasan soal Covid-19. Komentar ini bertolak dari gelagat negeri Tirai Bambu yang “dibaca” tengah menghalangi penyelidikan asal-usul Covid-19 di Wuhan.
Sontak saja, komentar tersebut memantik kecaman dari Beijing. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Zhao Lijian bahkan menilai tengah ada upaya stigmatisasi, manipulasi politik, dan menyalahkan pihak tertentu atas pandemi.
Tidak berhenti soal Covid-19, baru-baru ini Biden juga menyinggung Rusia. Bertolak dari serangan siber yang dilakukan Tiongkok dan Rusia terhadap perusahaan-perusahaan penting AS, mantan Wakil Barack Obama ini mengeluarkan ancaman perang jika serangan terus dilakukan dan mengalami eskalasi.
“Saya pikir kemungkinan besar kita akan berakhir, jika kita berakhir dalam perang itu akan menjadi konsekuensi dari pelanggaran dunia maya dengan konsekuensi besar dan meningkat secara eksponensial,” begitu tegas Biden pada 27 Juli.
Baca Juga: Perang Dunia III, Mungkinkah?
Tentu pertanyaannya, mungkinkah ancaman Biden ini menjadi perang berdarah?
Terkait ini berbagai pihak umumnya mengutip pandangan Norman Angell dalam bukunya The Great Illusion. Menggunakan perspektif ekonomi, dengan besarnya biaya dan dampak perang, Angell menilai tidak akan ada pihak yang akan memulai perang.
Apalagi, di tengah globalisasi yang telah menciptakan ikatan-ikatan antar negara, khususnya ekonomi dan sosial, perang tidak lagi dinilai menjadi opsi yang masuk akal bagi negara.
Lantas, dengan dinilai kecilnya potensi perang berdarah, apakah itu menunjukkan ancaman Biden hanyalah gertakan?
Membantah Rasionalitas
Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century memberikan penegasan penting yang sekiranya patut direnungkan. Tulisnya, “Sayangnya, bahkan jika perang tetap menjadi bisnis yang tidak menguntungkan di abad ke-21, itu tidak akan memberi kita jaminan mutlak akan perdamaian. Kita seharusnya tidak meremehkan kebodohan manusia.”
Pesan yang disampaikan Harari adalah anti-tesis dari argumen Angell. Berbeda dengan Angell yang mengasumsikan adanya kalkulasi rasional, Harari justru mengingatkan betapa perlunya asumsi kalkulasi rasional itu dipertanyakan.
Kalkulasi Jepang dalam melakukan ekspansionis adalah contohnya. Pada tahun 1930-an, para Jenderal Jepang dan ekonom percaya bahwa ekonomi Jepang akan stagnan apabila tidak menaklukkan Tiongkok, Korea, dan Manchuria.
Namun, seperti yang dicatat Harari, kemajuan menakjubkan ekonomi Jepang justru terjadi setelah mereka meninggalkan misi penaklukannya.
Francis Fukuyama dalam tulisannya 2034 juga menyinggung soal miskalkulasi semacam itu. Secara khusus, Fukuyama bahkan membantah asumsi bahwa perang tidak akan terjadi karena besarnya biaya yang diperlukan.
Dalam tulisannya, Fukuyama mencontohkan kasus Jepang yang melakukan serangan ke Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Saat itu, petinggi militer Jepang percaya bahwa serangan tersebut akan memberikan efek kejut kepada AS agar tidak ikut dalam Perang Dunia II.
Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Serangan Pearl Harbor justru menjadi pemantik AS. Presiden Franklin D. Roosevelt mendeklarasikan perang terhadap Jepang dan mulai membangun kapal-kapal induk baru.
Ya, dapat dikatakan, alih-alih sebagai ajang untuk menunjukkan kekuatan militer, serangan Jepang ke Pearl Harbor justru menjadi bumerang atas mimpi ekspansionis negeri Matahari Terbit. Seperti kata Fukuyama, serangan tersebut adalah miskalkulasi.
Baca Juga: Perang AS-Tiongkok, Jokowi Harus Bersiap?
Terkhusus konflik AS-Tiongkok yang kian memanas sejak administrasi Donald Trump, Fukuyama memberikan penegasan penting. Menurutnya, perang di antara kedua negara tersebut tidak boleh diasumsikan tidak akan terjadi, melainkan harus dipahami sebagai probabilitas yang mungkin.
Menurutnya, cara untuk mencegah perang bukan dengan menganggapnya tidak akan terjadi, melainkan mengidentifikasi setiap faktor yang membuatnya mungkin terjadi.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, penjelasan Harari dan Fukuyama adalah penantang bagi rasionalitas manusia. Seperti penegasan Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya The Black Swan, kita sering kali merasa mampu memprediksi masa depan yang sejatinya tidak kita ketahui.
Mengapa Manusia Berperang?
Menariknya, penjelasan Fukuyama soal kemungkinan perang tidak berhenti pada kritik terhadap kemampuan kalkulasi, melainkan juga bertolak dari evolusi manusia. R. Brian Ferguson dalam tulisannya War Is Not Part of Human Nature, menyebut Fukuyama menarik akar perang dari sejarah Homo Sapiens ketika masih menjadi pemburu-pengumpul.
Dalam penjelasan evolusi, kecenderungan alamiah untuk melindungi suku atau kelompok telah berevolusi menjadi kecenderungan terhadap xenofobia dan etnosentrisme dalam hubungan internasional.
Martin Smith dan John Stewart dalam tulisannya When did humans first go to war? memberikan temuan penting atas tesis tersebut. Dalam berbagai fosil yang ditemukan, disebutkan tidak ada keraguan bahwa Neanderthal (genus Homo sebelum Sapiens) mengalami luka tumpul yang kebanyakan letaknya di kepala.
Kendatipun masih menjadi pertanyaan apakah luka yang ditemukan merupakan perang atau sekadar pertikaian antar individu maupun kelompok, temuan ini memberi penegasan bahwa kekerasan telah ada, bahkan sebelum munculnya Homo Sapiens.
Marvin Harris dalam bukunya Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir: Menjawab Teka-teki Kebudayaan memberikan penjelasan menarik soal perang primitif. Menurutnya, perang antar suku kerap terjadi ketika keseimbangan sumber daya, khususnya makanan dan lahan garapan tengah menipis.
Ini membuat Harris melihat perang primitif bukanlah buah dari insting manusia atas kekerasaan, melainkan lebih ke kalkulasi mengenai sumber daya.
Kendati menarik, penjelasan Harris memiliki satu masalah substansial. Memang benar statistik yang ada menunjukkan perbaikan keseimbangan setelah perang, namun suku-suku primitif tidak memaksudkan dirinya mati diperang untuk menciptakan keseimbangan sumber daya.
Kembali ke penegasan Harari dan Fukuyama, jika manusia modern saja melakukan kesalahan kalkulasi, bagaimana mungkin suku primitif dapat melakukan kalkulasi seperti yang dibayangkan Harris?
Lantas, jika perang adalah buah dari irasionalitas dan evolusi manusia, apakah ancaman perang Biden akan menjadi kenyataan?
Menjaga Probabilitas
Terkait ini tentu kita berharap agar perang berdarah tidak terjadi. Harapan serupa juga dikemukakan Harari. Namun seperti yang disebutkan Fukuyama, harapan tersebut jangan sampai membuat kita terlena untuk mengatakan perang tidak akan terjadi.
Apalagi, mengacu pada laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), di tengah pandemi Covid-19 belanja alutsista global justru mengalami kenaikan sebesar US$ 1.981 miliar pada tahun 2020. Ini naik 2,6 persen secara riil dari 2019.
Dua belas anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) juga menghabiskan 2 persen atau lebih dari PDB pada 2020 untuk belanja militer. Ini lebih banyak dari 2019 yang hanya sembilan anggota.
Usaha Tiongkok untuk menantang tatanan global juga jelas terlihat dari pengeluaran militernya yang meningkat selama 26 tahun berturut-turut. Pada 2020, belanja militer negeri Tirai Bambu meningkat 1,9 persen dibanding 2019. Meningkat 76 persen selama dekade 2011-2020.
Yang lebih menarik, Tiongkok dan Rusia diketahui memiliki hubungan dekat. Bersama Iran, keduanya terlihat melakukan latihan militer bersama di Samudera Hindia dan Teluk Oman pada Desember 2019. Beberapa pihak bahkan menyebut latihan ini sebagai upaya mencegah tekanan dari AS.
Baca Juga: Biden, Jokowi dan Perangkap Thucydides
Persoalan ini semakin menarik apabila kita merujuk pada tulisan MK Bhadrakumar yang berjudul Biden actually wants to engage Russia and China. Dengan melemahnya posisi AS di tatanan global, Tiongkok dan Rusia disebut tidak menganggap AS memenuhi syarat untuk berbicara dengan mereka dari posisi yang kuat.
Di sisi AS, Bhadrakumar bahkan menyebut Sinofobia (anti-Tiongkok) dan Russofobia (anti-Rusia) telah mengakar kuat di Washington.
Lantas, akankah perang meletus? Untuk menjawabnya, kita dapat melihat sejarah perang modern. Mengacu pada Perang Dunia II, di mana kerusakan Perang Dunia I justru tidak mencegah Adolf Hitler untuk mendeklarasikan perang, faktor penentu perang tampaknya berada pada “kewarasan” pengambil keputusan.
Pasalnya, Hitler diketahui mengalami masalah mental, di mana ini membuatnya banyak mengambil keputusan-keputusan yang tidak masuk akal. Persoalan kewarasan ini semakin terlihat pada Perang Dingin. Dengan tidak adanya pemimpin seperti Hitler, Perang Dingin nyatanya tidak mengalami eskalasi menjadi perang berdarah.
Nah sekarang pertanyaannya, apakah kewarasan itu ada? Atau mungkin tepatnya, seperti kata Harari, apakah “kemurahan hati” itu ada? (R53)