HomeNalar PolitikPerang Bharatayuddha Jokowi vs Megawati

Perang Bharatayuddha Jokowi vs Megawati

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Pemanggilan sosok-sosok calon menteri dan calon wakil menteri untuk kabinet Prabowo-Gibran dalam 3 hari terakhir jadi pemandangan terbaru pertarungan di level elite. Tak adanya sosok-sosok dari PDIP menunjukkan bahwa peluang partai banteng pimpinan Megawati Soekarnoputri itu untuk merapat ke pemerintahan Prabowo menjadi makin tipis. Terkecuali tokoh macam mantan Kepala BIN Budi Gunawan – sosok yang dekat dengan Megawati – kompleksitas isu yang terjadi beberapa hari terakhir memang menunjukkan bahwa secara pengaruh, Jokowi masih punya kekuatan yang tak bisa diremehkan.


PinterPolitik.com

Ketika Prabowo Subianto terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, banyak prediksi bermunculan mengenai konstelasi politik yang akan terbentuk. Salah satu isu yang menarik perhatian adalah dinamika antara dua tokoh besar: Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP). Keduanya memiliki sejarah panjang dalam perpolitikan Indonesia, dengan hubungan yang sering kali dikaburkan antara loyalitas dan ketegangan politik.

Yang terbaru, pemanggilan 108 kandidat menteri dan wakil menteri oleh Prabowo tanpa melibatkan satu pun nama dari PDIP seolah memberi sinyal bahwa pengaruh Jokowi dalam pemerintahan baru ini semakin jelas terlihat. Bukan rahasia lagi bahwa Jokowi dikabarkan tak setuju PDIP yang jadi lawan Prabowo di Pilpres 2024 lalu diajak masuk ke pemerintahan.

Dalih Jokowi: agar tetap ada check and balances lewat kehadiran oposisi dalam diri PDIP. Namun, bukan tidak mungkin alasan pertentangan politik yang terjadi dalam bulan-bulan terakhir ini ikut menjadi dasar pertimbangan yang mempengaruhi keputusan politik ini.

Selain itu, pertemuan antara Megawati dan Prabowo yang direncanakan untuk terjadi pada 17 Oktober 2024 menambah lapisan kompleksitas terhadap spekulasi mengenai apakah PDIP akan bergabung ke dalam pemerintahan. Keputusan Jokowi untuk mencopot Budi Gunawan dari jabatannya sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) juga semakin menegaskan adanya riak-riak persaingan di tingkat elite.

Fenomena ini dapat dianalisis sebagai pertarungan pengaruh ala Bharatayuddha, sebuah pertempuran klasik dalam dunia pewayangan yang menggambarkan konflik antar elite dengan kepentingan masing-masing. Meskipun tidak sepenuhnya relevan dalam konteks politik modern Indonesia, perumpamaan ini tetap menarik untuk digunakan, menggambarkan perang dingin di balik layar kekuasaan antara Jokowi dan Megawati.

Lalu, seperti ap akita memaknainya?

Jokowi vs Megawati: Elite di Tengah Peralihan Kekuasaan

Jokowi dan Megawati bukan hanya sekadar politisi, tetapi simbol dari kekuatan elite yang berbeda. Megawati mewakili elite politik tradisional yang masih mempertahankan pengaruh besar melalui jejaring partai dan loyalitas kader. Jokowi, di sisi lain, meskipun berasal dari PDIP, telah membangun basis kekuasaannya sendiri yang lebih pragmatis dan berorientasi pada kebijakan teknokratis.

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Keputusan Prabowo untuk memanggil calon menteri tanpa melibatkan PDIP tentu menimbulkan pertanyaan. Apakah ini tanda bahwa Jokowi berhasil memastikan pengaruhnya dalam pembentukan kabinet? Jika benar demikian, maka Megawati dan PDIP mungkin terkejut dengan arah yang diambil oleh Prabowo.

Pertemuan yang ditunda antara Prabowo dan Megawati bisa menjadi indikasi bahwa ada ketegangan yang belum terselesaikan antara keduanya, atau ada sosok lain seperti Jokowi yang mempengaruhi dinamika tersebut. Pertarungan ini bukan sekadar tentang posisi, melainkan tentang siapa yang akan memiliki pengaruh lebih besar dalam menentukan arah kebijakan negara ke depan.

Keputusan Jokowi untuk mencopot Budi Gunawan, yang dikenal dekat dengan Megawati, juga memberikan sinyal kuat. Meskipun secara resmi dijelaskan sebagai persiapan agar Kepala BIN bisa dilantik bersama kabinet, banyak yang melihat ini sebagai langkah strategis Jokowi untuk melemahkan pengaruh Megawati di sektor-sektor kunci pemerintahan, terutama intelijen, jelang detik-detik akhir. Ini karena ada persoalan pergantian kabinet yang tentu akan sangat menentukan.

Pergeseran elite ini memperlihatkan dinamika kekuasaan yang terus berubah, di mana Jokowi tampaknya tidak ingin melepaskan cengkeramannya meskipun masa jabatannya segera berakhir.

Teori Elite dan Pertarungan Kekuasaan

Dalam memahami pertarungan antara Jokowi dan Megawati, kita dapat menggunakan teori elite yang menjelaskan bagaimana kelompok kecil yang berkuasa (elite) mengendalikan sebagian besar sumber daya dan keputusan politik dalam suatu negara.

Salah satu pemikir terkemuka dalam teori ini adalah Vilfredo Pareto, yang menyatakan bahwa masyarakat selalu diperintah oleh kelompok minoritas elite yang memegang kekuasaan, sementara mayoritas rakyat berada dalam posisi pasif. Dalam konteks ini, Jokowi dan Megawati adalah bagian dari elite politik yang terus bersaing untuk mempertahankan atau memperluas pengaruh mereka dalam sistem kekuasaan.

Selain Pareto, teori elite juga dapat dianalisis melalui pemikiran C. Wright Mills yang memperkenalkan konsep “power elite”. Menurut Mills, elite kekuasaan terdiri dari tiga komponen utama: pemerintah, militer, dan korporasi.

Dalam konteks Indonesia, elite politik seperti Jokowi dan Megawati bukan hanya mengendalikan sumber daya politik, tetapi juga memiliki jaringan dengan sektor-sektor strategis, termasuk bisnis dan militer. Oleh karena itu, pertarungan pengaruh di antara mereka tidak hanya berdampak pada politik, tetapi juga pada pengendalian sektor-sektor penting dalam pemerintahan.

Dengan Prabowo yang kini di puncak kekuasaan, konstelasi ini semakin kompleks. Jokowi, sebagai presiden yang sedang meninggalkan kursinya, ingin memastikan bahwa dia masih memiliki akses ke jaringan kekuasaan, sementara Megawati harus menavigasi posisinya untuk tetap relevan dalam dinamika yang terus berubah.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Megawati dan PDIP: Mencari Pengaruh di Tengah Ketidakpastian

Bagi Megawati dan PDIP, pertarungan ini sangat krusial. Sebagai partai dengan kursi terbanyak di parlemen, PDIP seharusnya menjadi mitra kunci dalam pemerintahan Prabowo. Namun, absennya nama PDIP dalam daftar kandidat menteri menandakan bahwa Prabowo mungkin tidak terlalu tertarik mengakomodasi mereka. Alasannya bisa 2: karena pengaruh Jokowi yang lebih besar, atau karena Prabowo ingin membangun kabinet yang lebih independen dari partai-partai besar.

PDIP sendiri juga tengah menghadapi tantangan internal, terutama terkait regenerasi kepemimpinan dengan semakin menonjolnya Puan Maharani dan Prananda Prabowo. Dalam situasi seperti ini, Megawati tentu makin berkurang keluwesan politiknya, dan harus berhati-hati agar tidak kehilangan pengaruh dalam pemerintahan yang baru.

Selain itu, meskipun nantinya Jokowi tidak lagi menjabat sebagai presiden, tampaknya mantan Wali Kota Solo itu masih memiliki agenda untuk memastikan loyalis-loyalisnya mendapatkan posisi strategis di kabinet Prabowo. Keputusan untuk memanggil banyak kandidat menteri tanpa melibatkan PDIP bisa jadi bagian dari strategi ini. Apalagi, banyak sosok-sosok menteri lama dan yang terkait Jokowi yang juga dipanggil dalm dua hari tatap muka tersebut.

Jokowi, yang telah menunjukkan kemampuan politiknya dalam membentuk koalisi yang solid selama dua periode kepresidenannya, mungkin ingin mempertahankan kendali di balik layar. Dalam konteks ini, Jokowi dapat dilihat sebagai bagian dari fenomena dual power, di mana meskipun dia secara resmi tidak berkuasa, dia tetap memiliki pengaruh yang kuat dalam pemerintahan baru.

Gramsci menyebut fenomena ini sebagai hegemoni, di mana pengaruh politik tidak hanya bergantung pada posisi formal, tetapi juga pada kemampuan untuk membentuk opini dan kebijakan melalui jaringan dan aliansi yang tersembunyi.

Pada akhirnya pertanyaan utamanya adalah siapa yang akan menang di antara Jokowi dan Megawati? Well, pertarungan antara Jokowi dan Megawati dalam pemerintahan Prabowo ini masih akan berlangsung, dengan banyak faktor yang belum sepenuhnya terungkap. Pengaruh Jokowi terlihat jelas dalam pemilihan menteri, tetapi PDIP dan Megawati tidak bisa dianggap remeh. Sebagai partai terbesar di parlemen, PDIP memiliki kapasitas untuk menggoyang pemerintahan jika tidak merasa diakomodasi dengan baik.

Seperti dalam kisah Bharatayuddha, pertarungan ini bukan hanya tentang siapa yang menang secara langsung, tetapi tentang siapa yang mampu bertahan dan memainkan kartu politiknya dengan cerdik. Jokowi dan Megawati sama-sama menghadapi tantangan besar, tetapi yang pasti, pertarungan ini akan terus mempengaruhi arah politik Indonesia dalam beberapa tahun mendatang. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.