HomeNalar PolitikPerang AS-Tiongkok, Jokowi Harus Bersiap?

Perang AS-Tiongkok, Jokowi Harus Bersiap?

Menurut Francis Fukuyama, meskipun sulit dibayangkan, perang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok harus dipahami sebagai kemungkinan yang bisa saja terjadi. Lantas, apakah Presiden Jokowi perlu bersiap untuk menghadapi kemungkinan perang tersebut?


PinterPolitik.com

“The history of mankind is a history of war.” – Mike Love, penyanyi asal Amerika Serikat

Sejak Perang Dunia II, khususnya setelah globalisasi, di mana negara semakin bergantung dengan negara lainnya, kalkulasi akan terjadinya perang berdarah semakin sulit dibayangkan. Ini bertolak dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan jika memutuskan untuk berperang. Perang Dunia II, misalnya, menghabiskan biaya US$ 4,1 triliun atau sekitar Rp 60,8 kuadriliun, dan merenggut 85 juta jiwa.

Meskipun produksi senjata tetap dilakukan, perannya saat ini bergeser. Tidak lagi sebagai alat untuk membunuh, melainkan sebagai alat gentar. Disebut sebagai deterrence effect atau efek gentar. Besarnya kekuatan militer dapat menambah daya tawar suatu negara dalam melakukan diplomasi.

Atas pergeseran pandangan ini, banyak pihak begitu pesimis atas terjadinya perang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, meskipun kedua negara kerap terlibat ketegangan. Namun, Francis Fukuyama dalam tulisan terbarunya yang berjudul 2034 justru memiliki pandangan yang berbeda.

Baca Juga: Prabowo dan Jebakan Pilihan Militer

Mengutip novel Eliot Ackerman dan James Stavridis yang berjudul 2034: A Novel of the Next World War, Fukuyama menegaskan kemungkinan perang antara kedua negara tersebut tidak boleh dianggap tidak ada. Menurutnya, anggapan semacam itu adalah miscalculation.

Asumsi perang tidak akan terjadi dengan dalih cost yang besar, sama dengan kesalahan Jepang ketika menyerang Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Serangan itu berdiri di atas asumsi bahwa AS tidak akan mendeklarasikan perang dan mundur karena akan begitu besar biaya yang dikeluarkan jika ingin merebut negeri Matahari Terbit. Namun, seperti yang diketahui, kalkulasi itu keliru. AS mengambil harga besar dan menjatuhkan bom atom ke Hirosima dan Nagasaki.

Meskipun Fukuyama menegaskan kebijakan politik luar negeri AS adalah mencegah perang dengan Tiongkok, namun kemungkinan perang tidak boleh dihilangkan. Menurutnya, cara untuk mencegah perang bukan dengan menganggapnya tidak akan terjadi, melainkan mengidentifikasi setiap faktor yang membuatnya mungkin terjadi. 

Menjaga Probabilitas

Menariknya, sebagai penutup tulisan, Fukuyama menyebut novel fiksi seperti 2034: A Novel of the Next World War tampaknya lebih baik dalam mengingatkan kita atas potensi perang daripada artikel atau kajian ilmiah. Tensi kesimpulan tersebut sama dengan pernyataan filsuf neo-pragmatisme AS, Richard Rorty, ketika menyebut membaca novel Crime and Punishment dari Dostoevsky lebih mampu membuat kita memahami moralitas daripada tulisan Immanuel Kant tentang imperatif kategoris.

Baca juga :  Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Penekanan Fukuyama untuk menjaga probabilitas persis dengan apa yang diwanti-wanti oleh Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya The Black Swan: Rahasia Terjadinya Peristiwa-Peristiwa Langka yang Tak TerdugaBlack swan atau angsa hitam adalah metafora yang digunakan Taleb untuk menggambarkan peristiwa yang memiliki tiga sifat.

Pertama, peristiwa itu lain dari yang lain. Sesuatu di luar yang biasa kita harapkan karena tak ada sesuatu di masa lampau yang dapat secara meyakinkan menunjukkan kemungkinannya.

Kedua, peristiwa itu memiliki dampak yang ekstrem. Ketiga, meskipun lain dari yang lain, sifat dasar manusia mendorong kita membuat penjelasan-penjelasan atas peristiwa itu sesudah terjadi. Ini menjadikannya tampak dapat diterangkan dan dipraktikkan.

Tesis utama black swan adalah, manusia sebenarnya tidak mampu membuat prediksi-prediksi masa depan, meskipun mereka selalu mengklaimnya.

Taleb mencontohkan kasus Garis Maginot yang membuat Prancis takluk dari Jerman. Pada Perang Dunia I, karena Garis Maginot berhasil menahan invasi Jerman, militer Prancis kemudian berfokus membangun sistem perbentengan. Namun di sisi Jerman, mereka justru fokus memperbanyak tank dan kemudian memutari Garis Maginot. Alhasil, Prancis takluk hanya dalam waktu enam minggu.

Contoh ini juga disebutkan Jared Diamond dalam bukunya Collapse: Runtuhnya Peradaban-peradaban Dunia. Persis dengan penjelasan Taleb, Jared menyebut orang-orang Prancis terperangkap dalam pengalamannya karena sebelumnya Garis Maginot berhasil menahan Jerman.

Mereka menjadikan pengalaman tersebut sebagai tumpuan dalam memprediksi masa depan dan menilainya pasti terjadi. Ini yang membuat mereka menghilangkan kemungkinan lainnya dan fokus pada Garis Maginot. Persoalan ini sama dengan kesalahan kalkulasi Jepang ketika menilai AS tidak akan mengambil risiko besar menyeberangi Laut Pasifik untuk menyerang balik. Jepang terperangkap dalam prediksinya.

Dalam bukunya The World Until Yesterday: Apa yang Dapat Kita Pelajari dari Masyarakat Tradisional?, Jared memperkenalkan istilah paranoia konstruktif. Tidak seperti pandangan umum yang mendefinisikan paranoia sebagai istilah peyoratif, Jared menggunakannya dalam artian positif dengan menambahkan kata “konstruktif” di belakangnya.

Baca Juga: Jokowi Harus Jadi Paranoia Konstruktif

Istilah ini bertolak dari pengalaman awal Jared di pedalaman hutan Papua Nugini. Ia menemukan adanya ketakutan berlebihan orang-orang Papua Nugini terhadap pohon yang sudah tua.

Namun, setelah mendengar suara pohon roboh di kedalaman hutan setiap harinya. Serta melihat statistik, di mana tertimpa pohon roboh adalah salah satu faktor utama yang membunuh masyarakat tradisional Papua Nugini, Jared menjadi paham bahwa itu bukanlah ketakutan berlebihan, melainkan wajar dan rasional. 

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Paranoia konstruktif adalah rasa takut positif yang berguna untuk bertahan hidup. Paranoia konstruktif menekankan bahwa individu harus memiliki rasa awas dan tidak terlena atas rasa aman.

Bertolak dari black swan, kendatipun berbagai kajian akademik menunjukkan kecilnya potensi perang, kita tidak boleh terperangkap dan menutup probabilitas. Untuk itu, kita harus menjadi seorang paranoia konstruktif.

Perlu Bersiap?

Tidak hanya persoalan teoretis, faktanya, menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), di tengah pandemi belanja alutsista global justru naik US$ 1.981 miliar pada tahun 2020. Naik 2,6 persen secara riil dari 2019.

Hampir semua anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) meningkatkan pengeluaran militernya pada tahun 2020. Dua belas anggota NATO menghabiskan 2 persen atau lebih dari PDB. Ini lebih banyak dari 2019 yang hanya sembilan anggota.

Belanja militer Tiongkok juga meningkat 1,9 persen dibanding 2019. Kedua terbesar di dunia, diperkirakan mencapai US$ 252 miliar. Ini meningkat 76 persen selama dekade 2011-2020. SIPRI juga mencatat pengeluaran militer Tiongkok meningkat selama 26 tahun berturut-turut.

Memang ada faktor diskon alutsista di tengah pandemi yang mendorong peningkatan belanja. Namun, terlepas dari faktor diskon, peningkatan ini menunjukkan bagaimana berbagai negara menjaga probabilitas perang.

Konteksnya mungkin bukan pada persiapan akan turun ke medan perang. Melainkan peningkatan kekuatan pertahanan dimaksudkan untuk menjaga perang tersebut tidak terjadi. Kembali, ini adalah deterrence effect.

Atas persoalan ini, wacana belanja alutsista sebesar Rp 1,75 kuadriliun yang termuat di Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun 2020-2024 (Alpalhankam) sudah sepatutnya didukung. Persoalan ini telah dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Prabowo Tengah Diserang?.

Wacana yang termuat di raperpres, dengan jelas menunjukkan ini adalah penugasan dari Presiden ke Kementerian Pertahanan. Artinya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya sangat menyadari betapa pentingnya alutsista untuk menunjang pertahanan negara. Dan juga, tentunya untuk meningkatkan pengaruh dan daya tawar ketika melakukan diplomasi.

Baca Juga: Jokowi Riding The Dragon Tiongkok

Pada akhirnya, seperti yang disebutkan oleh Fukuyama, menjaga tidak terjadinya perang bukan dengan menganggapnya tidak akan terjadi. Melainkan mengidentifikasi setiap faktor yang membuatnya mungkin. Salah satu faktor itu adalah menunjukkan diri lebih lemah dari negara lainnya. Di sana letak pentingnya alutsista. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...