HomeNalar Politik“Penyelundupan Hukum” Endorsement Jokowi, Benarkah?

“Penyelundupan Hukum” Endorsement Jokowi, Benarkah?

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyebut menteri yang ingin mencalonkan diri sebagai calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres) tidak harus mundur dari jabatannya, namun hanya perlu meminta izin kepada presiden. Lantas, mungkinkah ada intervensi dari “oknum” tertentu di balik putusan ini?


PinterPolitik.com

Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa menteri tidak harus mundur dari jabatannya jika ingin mengikuti kontestansi pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Putusan tersebut tercantum dalam Putusan Nomor 68/PUU-XX/2022 yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman di Ruang Sidang Pleno MK pada Senin, 31 Oktober 2022.

Sebelumnya, aturan terkait pejabat negara harus mundur dari jabatannya jika ingin mengikuti Pilpres sebenarnya sudah tercantum pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) Pasal 170 ayat (1).

Pejabat negara yang dikecualikan antara lain Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota, dan Wakil Wali Kota.

Menteri menjadi salah satu pejabat negara yang tidak tercantum pada kategori pengecualian. Oleh karenanya, hal itu menjadi bahan pengujian yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan Sekretaris Jenderal Partai Garuda Yohanna Murtika supaya MK dapat menguji kembali pasal tersebut.

Lantas, MK mengabulkan permohonan pengujian tersebut melalui Amar Putusan Nomor 68/PUU-XX/202.

Menurut MK pejabat negara masih memiliki hak konstitusional yang melekat pada dirinya sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih sehingga sepanjang hak tersebut tidak dicabut atau dikurangi oleh UU maupun atau putusan pengadilan, maka pejabat negara tak harus mengundurkan diri dari jabatannya.

Lebih lanjut, pembatasan tersebut sekaligus bentuk diskriminasi kepada partai politik (parpol) tertentu yang ingin mencalonkan kadernya sebagai capres maupun cawapres.

Sebagaimana tersebut dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, hak dipilih dan memilih dianggap sebagai hak asasi negara yang harus dijamin dan dilindungi negara.

Kendati demikian, putusan ini banyak menuai kontroversi pada ranah publik dan mengundang banyak pendapat dari para pengamat. Salah satu faktor utamanya yaitu pemelahan good governance. Hal itu membuat putusan ini terlihat mencurigakan alias sus. Mengapa demikian?

image 32

Penyelundupan Hukum?

Pada hakikatnya putusan MK itu tampak dapat dilihat sebagai pelemahan prinsip good governance. Bahkan dapat dilihat secara langsung kecacatannya sehingga tak heran jika putusan ini dilihat terlalu mencurigakan bagi publik.

Setidaknya, ada dua alasan lain yang membuat putusan ini menyalahi prinsip good governance. Pertama, kemungkinan besar konflik kepentingan terjadi. Pejabat akan sulit menempatkan kepentingannya sebagai seorang menteri sekaligus capres atau cawapres dalam porsi yang sama.

Baca juga :  Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sehubungan dengan hal itu, capres maupun cawapres kemungkinan besar tidak mampu mengemban tugas secara sepenuhnya sebagai seorang menteri. Kegiatan pencalonan memaksa capres/cawapres untuk membagi fokus sehingga dapat mengganggu kinerja.

Kedua, ada peluang korupsi anggaran di kementerian. Korupsi tersebut dapat dikategorikan dengan korupsi terbuka.

Menurut Sudargo Gautama dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia penyelundupan hukum merupakan suatu perbuatan yang bertujuan untuk menghindari akibat hukum sehingga oknum tersebut melakukan berbagai tindakan demi memperoleh keuntungan sesuai keinginannya.

Dalam kata lain, penyelundupan hukum terjadi ketika faktor politik “memenangkan” faktor hukum. Dengan demikian, apapun kecacatannya – bahkan sekalipun menyalahi norma dasar pembentuk hukum – faktor politik akan menyamarkan kecacatan tersebut.

Jika putusan itu tampaknya dapat dinilai sebagai penyelundupan hukum, lantas bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan dari putusan MK tersebut?

image 33

Presiden, Pusat Absolut?

Putusan MK terkait menteri tak harus mundur jika ingin mengikuti pilpres tentunya memiliki akibat hukum. Hal itu diungkapkan langsung oleh salah satu Hakim Konstitusi yang memimpin sidang tersebut yakni Arief Hidayat.

Dia mengemukakan bahwa untuk mewujudkan kepastian hukum dan menjaga stabilitas politik, menteri atau pejabat negara setingkat menteri yang merupakan pejabat negara yang dikecualikan, apabila dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon presiden dan wakil presiden perlu memperoleh persetujuan dan izin cuti dari presiden terlebih dahulu untuk mengikuti pilpres.

Dengan berlakunya putusan MK ini, pusat kekuasaan seakan berada di tangan presiden. Izin presiden menjadi kunci untuk mengikuti kontestasi pilpres.

Adapun spekulasi yang merujuk pada adanya intervensi MK terhadap kekuasaan presiden. Beberapa bulan yang lalu, ketua MK Anwar Usman telah melangsungkan pernikahannya dengan adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kontroversi itu kemudian dikait-kaitkan dengan putusan MK yang dinilai “membingungkan” dari segi prinsip good governance. Keduanya memang memiliki permasalahan yang tampaknya memiliki kemungkinan melanggar prinsip good governance dari segi independensi. 

Tak heran jika dalam suatu wawancara dengan ekonom senior sekaligus Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli menilai putusan MK yang membolehkan menteri tak harus mundur dari jabatannya jika berpartisipasi sebagai capres maupun cawapres dinilai sebagai produk “Mahkamah Keluarga”.

Sindiran tersebut kemudian melahirkan dugaan terhadap adanya konflik kepentingan dua lembaga tinggi negara. Bahkan, jika dilihat dari segi etika dan relasi Ketua MK itu sendiri mampu menciptakan peluang timbulnya kepentingan presiden dengan pengujian UU di MK.

Baca juga :  Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Menyikapi putusan tersebut, Presiden Jokowi memberi pernyataan bahwa dirinya akan mengevaluasi kinerja menteri terlebih dahulu terkait apakah dirinya akan memberi cuti atau tidak. Dengan demikian, apakah menteri yang bersangkutan akan mundur atau tidaknya berada pada tangan Jokowi selaku pemegang kuasa.

Lantas, akankah menteri yang ingin mencalonkan diri pada pilpres 2024 mendatang mengundurkan diri dari jabatannya?

image 34

“Politik Endorsement”Jokowi?

Ketika menelaah kemungkinan kekuasaan terpusat dan putusan MK yang tampaknya dinilai berkesinambungan, menteri yang mendapatkan izin untuk maju menjadi capres maupun cawapres tanpa mengundurkan diri agaknya akan bersinggungan dengan “politik endorsement”.

Istilah endorse mungkin lebih familiar bagi influencer di sosial media. Pada umumnya jasa influencer dimanfaatkan untuk mempromosikan suatu produk sehingga mampu untuk menarik minat pembeli dan meningkatkan keuntungan produk.

Istilah tersebut sebenarnya hanya sebuah sebutan yang kiranya tepat untuk menggambarkan skenario kemungkinan dari fenomena ini.

Menurut Cambridge Dictionary, istilah endorser memiliki arti sebagai seseorang yang menyatakan suatu pernyataan secara publik dimana mereka mendukung tokoh lain atau hal lainnya.

“someone who makes a public statement saying that they support someone or something,“begitu define endorser menurut glosarium Inggris tersebut.

Pada titik ini, endorser dapat dielaborasi kepada ranah politik. Ini lah yang agaknya tepat untuk menggambarkan kekuasaan terpusat sang presiden dalam kontestasi pilpres tahun 2024 mendatang.

Tokoh endorser di sini yakni menteri yang akan mengajukan diri sebagai capres maupun cawapres. Jika dirinya tak harus mundur, maka bias saja dia dapat dikatakan telah di-endorse oleh presiden selaku pemegang izin.

Sebaliknya, jika menteri itu mundur, maka dirinya tidak di-endorse oleh pemegang kuasa izin. Tentunya, poin ini hanya bisa menjadi suatu kemungkinan belaka.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa putusan MK yang mengatur menteri tak harus mundur dari jabatannya jika mencalonkan diri sebagai capres/cawapres agaknya tidak etis dan berpeluang besar sebabkan konflik kepentingan, korupsi secara terbuka, dan menurunkan kinerja menteri.

Putusan MK tersebut juga membuka ruang tafsir bahwa itu merupakan hasil dari penyelundupan hukum dimana proses politik “menang” daripada norma yang membentuk hakikat hukum.

Penyelundupan hokum secara kasat mata kiranya dapat teramati pada pemberian izin dari presiden di waktu yang akan datang. Apakah calon itu di-endorse dalam konteks politik atau tidak, semua kiranya akan berada pada genggaman tangan sang RI-1. (Z81)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

More Stories

Paspor Cepat Hanya Bisnis Imigrasi?

Permohonan paspor sehari jadi menuai respons negatif di jagat sosial media. Biaya yang dibutuhkan untuk mengakses pelayanan ini dinilai jauh lebih mahal ketimbang pelayanan...

Zelensky “Sulut” Perang di Asia?

Dampak perang Ukraina-Rusia mulai menyulut ketegangan di kawasan Asia, terutama dalam aspek pertahanan. Mampukah perang Ukraina-Rusia  memicu konflik di Asia? PinterPolitik.com Perang Ukraina-Rusia tampaknya belum memunculkan...

Bakar Al-Quran, Bukti Kemunafikan Barat?

Aksi pembakaran Al-Quran menuai berbagai sorotan, terutama kaum muslim di dunia. Kendati demikian, pemerintah Swedia menganggap aksi tersebut sebagai bentuk kebebasan berekspresi, namun secara...