Penundaan pemilu menjadi bola panas yang digulirkan oleh para elite partai politik akhir-akhir ini. Meski banyak penolakan, isu ini seolah mempunyai pembenaran tersendiri untuk dilakukan. Muncul pertanyaan, apakah terdapat dirigen di balik orkestra isu penundaan pemilu ini?
Melihat fenomena narasi perpanjangan masa jabatan Presiden dan penundaan pemilu, terbaca ada orkestrasi di baliknya. Terlebih, narasi diungkapkan oleh menteri dan juga ketua umum partai politik koalisi pemerintahan.
Awalnya, narasi ini bermula dari dengungan sekelompok relawan yang menginginkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat menjabat tiga periode. Namun menanggapi aspirasi ini, Jokowi di akhir 2021 menegaskan menolak aspirasi semacam ini.
Lalu, isu tentang perpanjang jabatan berubah menjadi penundaan pemilu beberapa tahun. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, misalnya, menyuarakan isu ini dengan alasan menampung aspirasi dari sejumlah pengusaha yang ingin pemilu ditunda setidaknya hingga tahun 2027 demi pemulihan ekonomi yang kritis akibat pandemi.
Seolah menyambung isu yang dilontarkan Bahlil, Ketua Umum (Ketum) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, pada 23 Februari mengaku menampung sejumlah aspirasi dari pelaku usaha yang ingin pemilu ditunda satu atau dua tahun demi pemulihan ekonomi.
Kemudian, giliran Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang dinilai ikut menyuarakan isu perpanjangan masa jabatan. Pernyataannya terkait isu perpanjangan masa jabatan terjadi dalam dialognya dengan sejumlah petani sawit di Riau.
Dan terakhir, isu ini juga disuarakan oleh Ketum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Zulhas, sapaan akrabnya, mengatakan setuju dengan usulan penundaan pemilu. Alasan yang disampaikan Zulhas mirip seperti narasi yang telah diungkap sebelumnya, yaitu masalah ekonomi.
Dengan kekompakan yang terlihat, tentu pertanyaannya, dari mana sebenarnya isu ini bermula? Mengapa dengan gamblang terbaca fenomena partai politik dengan para elitenya mendukung isu penundaan pemilu?
Tidak heran kemudian, kekompakan ini kemudian ditafsirkan sebagai sebuah oskestra. Jika benar demikian, maka orkestra politik ini mestilah dipimpin oleh seorang dirigen atau konduktor, yang menginstruksikan perintah melalui isyarat-isyarat tertentu.
Lantas, siapa dan apa motif dari orkertrasi penundaan pemilu ini?
Baca juga: Pemilu Serentak yang Tidak Serentak
Desain Politik Di Balik Orkestra
Negeri ini penuh dengan skenario politik. Inilah sebenarnya kalimat yang perlu dijelaskan kepada masyarakat luas. Dalam menjalankan skenario politiknya, seringkali masyarakat menjadi “korban” akibat skenario elite politik itu.
Managing Director Paramadina Public Policy Institute Khoirul Umam, mengatakan, bahwa usulan penundaan Pemilu 2024 merupakan bentuk mufakat jahat. Menurut Umam, isu serupa sudah berkali-kali dilemparkan ke publik, yang artinya isu ini sistematis dan dapat dicurigai sebagai sebuah skenario politik.
Selain itu, narasi ini seolah menggunakan pola strategi testing the water. Konsep ini mengandaikan jika masyarakat menerima, narasi akan dilanjutkan dengan upaya yang lebih serius. Tetapi jika masyarakat menolak, narasi ini berhenti tanpa dampak apa-apa.
Guru Besar UIN Jakarta Profesor Azyumardi Azra, mengungkapkan bahwa nama-nama yang berada di lingkaran pemerintahan yang meng-exercise narasi perpanjangan jabatan ini. Polanya, kalau riak-riak tidak muncul dan gerakan civil society tidak menguat, maka kemudian isu ini dapat dieksekusi.
Seolah menegaskan pernyataan Azyumardi, terdapat cerita tentang lobi yang dilakukan aktor dari pemerintah yang sengaja memancing agar elite-elite partai menyuarakan isu perpanjangan masa jabatan.
Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani, mengatakan terdapat informasi bahwa nama Luhut Binsar Panjaitan (LBP) berada di balik isu perpanjangan masa jabatan maupun penundaan pemilu. LBP dianggap mengkondisikan ketum partai politik mewacanakan isu ini agar dapat dijalankan. Dugaan ini sendiri telah dibantah oleh Juru Bicara Luhut, Jodi Mahardi.
Michael Hardt dan Antonio Negri dalam bukunya Empire, menganalisis bagaimana relasi kuasa itu berinteraksi dalam membangun hegemoninya. Secara politik, aktor tidak pernah berbicara atas nama dirinya, melainkan berbicara atas nama orang lain.
Hal ini sebagai upaya untuk membangun desain politik agar terlihat senatural mungkin. Meski Hardt dan Negri menguraikan prinsip desain politik dalam bukunya untuk menguraikan politik dalam konteks tatanan global, tapi konsep mereka dapat pula kita lihat dalam konteks politik domestik.
Pasalnya, perilaku elite politik di level domestik juga melakukan dan menunjukkan hal yang sama. Melalui lobi-lobi politik, mereka mendesain sebuah isu agar dapat diterima oleh publik sesuai dengan kepentingan mereka. Hal ini menjadi paradoks, karena idealnya parpol dan elite politik mengedepankan sikap yang lebih bijak, bukan mengorbankan kepentingan yang lebih banyak.
Isu tentang penundaan masa jabatan presiden secara legal dan normatif tidak sesuai dengan konstitusi yang menjadi konsensus politik kita bersama. Jika hal ini dibiarkan, maka politik seolah hanya dimiliki oleh elite politik. Sedangkan publik secara umum hanya sebagai objek yang menerima keputusan elite.
Dari uraian di atas, kental terasa terdapat semacam desain politik di balik narasi besar perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu. Seolah terdapat usaha untuk mendepolitisasi kepentingan publik, yang dalam ilmu politik, depolitisasi publik merupakan dampak dari sindrom neo-patrimonialisme.
Lantas, seperti apa melihat konsepsi neo-patrimonialisme dalam konteks desain politik ini?
Baca juga: Survei, Instrumen Politis Pemilu 2024?
Sindrom Neo–Patrimonialisme
Dengan adanya persekongkolan yang disinggung di atas, terlihat bahwa para elite politik ingin memperjuangkan kepentingan mereka. Tentunya kepentingan ini akan bertabrakan dengan kepentingan publik, apalagi saat ini kita hidup di alam demokrasi dengan sistem informasi yang begitu terbuka.
Secara mekanistik, proses depolitisasi kepentingan publik adalah efek domino dari sebuah sindrom psikologi politik yang sering menjangkit para politisi. Sindrom psikologi politik yang dimaksud adalah neo-patrimonialisme.
Upaya depolitisasi publik atau menjauhkan publik dari kepentingan politik, adalah asumsi tentang perilaku politik para elite yang melakukan homogenitas kepentingan. Ilmuwan politik Harold Crouch dalam pandangannya mengenai sosio-politik terhadap situasi atau dinamika kekuasaan politik di Indonesia, mengidentifikasi terdapat karakteristik sistem politik neo-patrimonialisme yang menjangkit sejak masa Orde Baru hingga pasca Reformasi. Crouch mengidentifikasi gejala ini dengan beberapa variabel.
Pertama, terdapat kelangsungan kekuasaan dalam sistem neo-patrimonial sangat tergantung pada kemampuan penguasa untuk mempertahankan kesetiaan (loyalitas) bawahannya, yaitu kalangan elite partai yang diangkat menjadi menteri-menteri kabinet. Kelangsungan penguasa dalam mempertahankan kekuasaan merupakan fungsi untuk memenangkan kesetiaan dari elite-elite partai.
Kedua, dalam memenangkan kesetiaan itu, penguasa dituntut memenuhi aspirasi atau kepentingan politik, yaitu kedudukan dan jabatan dalam struktur kekuasaan, seperti menteri, duta besar, dan ketua lembaga-lembaga negara lainnya, yang diambil dari kalangan elite partai yang mendukungnya.
Ketiga, politik pada hakikatnya merupakan arena perjuangan bagi elite-elite politik yang berkompetisi dalam memperebutkan kesetiaan kepada penguasa. Siapa yang memenangkan kesetiaan itu, merekalah yang meraih kedudukan dalam jabatan-jabatan politik, serta keuntungan material yang menyertainya.
Keempat, mempertahankan keseimbangan elite-elite politik yang berkompetisi merupakan strategi yang penting untuk mempertahankan kekuasaan bagi penguasa. Selama massa rakyat tetap pasif dan rivalitas elite-elite politik yang bersaing tetap bisa dijaga, maka kelangsungan sistem politik yang patrimonial dapat dipertahankan.
Kesetiaan dan distribusi politik seolah menjadi penjara bagi para elite untuk mengikuti kehendak penguasa. Hal ini menjelaskan konteks bagaimana para elite politik akhirnya mempunyai sedikit pilihan selain mengikuti penguasa.
Pada akhirnya, politik Indonesia khususnya para elite politik harusnya dapat melepaskan diri dari jeratan sindrom neo-patrimonialisme ini. Kekuasaan ataupun kepentingan harusnya diletakkan di atas legitimasi kepentingan publik, sesuai dengan doktrin demokrasi yang saat ini dianut oleh Indonesia. (I76)
Baca juga: Presiden Wong Cilik Hanya Mitos?