Site icon PinterPolitik.com

Penumpang Gelap di Pilpres 2019?

Penumpang Gelap di Pilpres 2019?

Para “penumpang gelap” telah mempengaruhi demokrasi Indonesia sejak republik ini memasuki era reformasi. (Foto: istimewa)

Seiring menguatnya tensi politik menuju Pilpres 2019 dan meningginya isu politik berbasis identitas belakangan ini, perdebatan tentang “penumpang gelap” kembali muncul ke permukaan. Tangan-tangan “gaib” yang mempengaruhi demokrasi di negeri ini, akankah kembali muncul di 2019 nanti?


PinterPolitik.com

“Sometimes democracy must be bathed in blood.”

:: Augusto Pinochet (1915-2006), diktator Chile ::

[dropcap]I[/dropcap]ni memang bukan kisah tentang Konstantin Agung yang berhasil meyakinkan Licinius untuk berperang melawan Maxentius dan menyatukan seluruh Romawi di bawah panji ke-Kristenan. Setelah Maxentius kalah, Konstantin berbalik dan mengalahkan Licinius, lalu menjadikan seluruh Romawi di bawah kekuasaannya.

Ini juga bukan kisah tentang Raden Wijaya yang berhasil memperdaya tentara Mongolia untuk berperang melawan Jayakatwang yang menghancurkan Kerajaan Singasari. Setelah Jayakatwang kalah, Raden Wijaya berbalik menghancurkan ekspedisi laut Mongolia dan mendirikan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur.

Ini adalah kisah tentang Masinton Pasaribu, politisi PDIP yang menyebut bahwa demokrasi Indonesia telah disusupi oleh para “penumpang gelap”. Ketiga kisah ini memang tidak dipaksakan untuk terlihat mirip, namun semuanya punya satu persamaan, yakni bahwasanya tidak ada musuh dan kawan yang abadi dalam politik. Konstantin telah menunjukkannya, Raden Wijaya telah menggunakannya, dan Masinton telah membenarkannya.

Masinton Pasaribu. (Foto: istimewa)

Anggota DPR dari Komisi III itu mengatakan bahwa demokrasi Indonesia yang membawa kebebasan, sesungguhnya telah disusupi oleh mereka-mereka yang punya agenda tersendiri. Pada Mei 1998, semua pihak seolah terlihat sehati sesuara ingin menurunkan pemerintahan otoriter Soeharto yang menyengsarakan. Namun, setelah negara ini memasuki reformasi, terlihat bahwa masing-masing pihak punya kepentingannya sendiri-sendiri, bahkan tidak sedikit yang kemudian saling menjatuhkan.

Para penumpang gelap memanfaatkan kebebasan yang ditawarkan dalam demokrasi untuk menjalankan agenda mereka. Menurut Masinton, dalam konteks kekinian, mereka-mereka ini menyebarkan informasi-informasi yang tidak benar alias hoax dengan tujuan untuk menebarkan kekacauan. Bahkan lebih jauh, ia juga mengatakan bahwa kelompok ini ingin mengganti Pancasila dari posisinya sebagai dasar negara Indonesia.

Memang, sejak Indonesia memasuki era kebebasan dalam tajuk demokrasi, persoalan-persoalan politik dan kebangsaan nyatanya menjadi jauh lebih kompleks. Kompleksitas itu membuat satu fenomena lokal seringkali tidak bisa berdiri sendiri, bahkan tidak sedikit yang melibatkan kekuatan-kekuatan asing – apa yang oleh Masinton disebut sebagai para penumpang gelap tersebut.

Tentu saja pernyataan Masinton ini menimbulkan perdebatan. Siapa para penumpang gelap ia maksud? Apa yang akan mereka lakukan pada Pilpres 2019 nanti?

Penumpang Gelap, Politik “Tangan-Tangan Gaib”

Konsep penumpang gelap memang istilah yang agak sulit dijelaskan. Profesor ilmu antropologi dari Aarhas University, Denmark, Nils Bubandt dalam bukunya yang berjudul Democracy, Corruption and the Politics of Spirits in Contemporary Indonesia menyebutkan bahwa istilah penumpang gelap punya makna yang kontekstual terhadap politik domestik Indonesia.

Bubandt menerjemahkannya sebagai “dark passengers” – tentu saja secara harafiah – namun ia memberikan frasa tersebut makna yang sama dengan “stowaways” atau “free riders”. Bubandt menyebut istilah penumpang gelap sebagai terminologi yang dipakai untuk menjelaskan kekuatan tertentu yang ingin mengambil keuntungan dari situasi politik tertentu.

Seringkali kekuatan tersebut terlihat berada di pihak yang sama, namun punya agenda yang tidak jarang berseberangan dan justru berakibat buruk pada orang atau pihak-pihak yang bertarung.

Jika ditelusuri lebih jauth, istilah penumpang gelap ini pertama kali digunakan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Saat itu, sekitar tahun 2001, berdasarkan informasi intelijen yang diperolehnya dari Badan Intelijen Negara (BIN), SBY memperingatkan para mahasiswa yang kerap berdemonstrasi untuk berhati-hati pada penumpang gelap yang berpotensi membuat kekacauan dan menyebabkan chaos.

Istilah tersebut kemudian kembali populer ketika digunakan oleh Andi Alfian Mallarangeng saat menjabat sebagai Juru Bicara Presiden SBY pada tahun 2009 untuk mengomentari rencana demonstrasi mahasiswa yang berpotensi ditunggangi pihak-pihak tertentu. Saat itu isu yang tengah mencuat ke permukaan adalah terkait skandal Bank Century.

Andi bahkan menyebut penumpang gelap tersebut sangat mungkin adalah pihak-pihak yang ada di lingkungan kekuasaan SBY, utamanya dari partai-partai koalisi. Nils Bubandt sempat mencatat bahwa tuduhan itu sempat mengarah ke Partai Golkar, PDIP dan PAN.

Di kubu yang berbeda, istilah penumpang gelap juga pernah dikemukakan oleh Megawati Soekarnoputri pada Pilkada Jakarta 2012 lalu. Saat itu, Ketua Umum PDIP ini menuding ada pihak-pihak yang merasa diri berjasa memenangkan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kontestasi politik tersebut. Santer beredar kabar bahwa yang dimaksud sebagai penumpang gelap adalah Partai Gerindra.

Tiga tahun kemudian, setelah Jokowi terpilih menjadi Presiden, Mega kembali mengeluarkan pernyataan tentang adanya penumpang gelap di sekitar pemerintahan Jokowi. Para penumpang gelap itu memanfaatkan kekuasaan Jokowi untuk mencapai kepentingan mereka.

Jika demikian, siapa sebetulnya mereka-mereka yang oleh Bubandt juga disebut sebagai “tangan-tangan gaib” ini?

Jelas bahwa siapa saja bisa menjadi penumpang gelap yang dimaksud. Namun, jika berbicara tentang konteks demokrasi di Indonesia, beberapa sumber menyebut istilah penumpang gelap berhubungan dengan pihak-pihak yang punya agenda sendiri melalui reformasi 1998, salah satunya lewat amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Amandemen yang terjadi hingga 4 kali itu oleh banyak pihak dianggap mengakomodir kepentingan “tangan-tangan gaib” – mereka-mereka yang ingin meliberalisasi Indonesia. Memang hal ini terdengar seperti sebuah teori konspirasi. Namun, faktanya setelah amandemen ke-4 terjadi, berbagai perubahan besar terjadi di republik ini. Yang kita bicarakan ini adalah program-program macam privatisasi BUMN, penghapusan subsidi, hingga deregulasi di berbagai sektor.

Reformasi, jalan masuk amandemen UUD 1945. (Foto: istimewa)

Dalam sebuah tulisan, peneliti dari Institute For Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng, menyebut seluruh rencana amandemen terhadap UUD 1945 tercantum dalam puluhan Letter Of Intent (LOI) dan Memorandum of Understanding (MOU) antara pemerintah Indonesia dengan International Monetery Fund (IMF). Menurutnya, desakan amandemen konstitusi tidaklah murni dari dalam atau mewakili kehendak rakyat, melainkan karena ada kepentingan asing untuk menjalankan liberalisasi di Indonesia.

Beberapa selentingan juga menyebut bahwa saat pembahasan amandemen UUD 1945, gedung MPR RI didatangi oleh beberapa pihak asing, yang menyediakan “pemulus” agar konstitusi negara ini diamandemen sesuai keinginan mereka. Politisi senior, Permadi, bahkan menunjuk National Democratic Institute (NDI) sebagai salah satu lembaga yang terlibat dalam proses ini. Namun, keterangan ini perlu pembuktian lebih lanjut.

Selain itu, posisi Permadi yang kini menjadi politisi Partai Gerindra tentu saja punya bias politik, mengingat Gerindra – mungkin – menjadi satu-satunya partai di Indonesia yang memuat cita-cita mengembalikan UUD 1945 ke versi asli dalam manifesto politik partai berlambang kepala rajawali tersebut.

Sebagai tambahan, UUD 1945 versi asli memang lebih melindungi negara dari campur tangan asing – terutama dalam hal pengelolaan sumber daya alam – namun versi ini jugalah yang digunakan oleh Soeharto untuk melegitimasi kekuasaannya selama 32 tahun.

Anyway, faktanya terminologi penumpang gelap memang telah mengakar, bahkan sejak demokrasi di republik ini masih mencari bentuknya. Dan kini, istilah tersebut kembali muncul menjelang Pilpres 2019. Akankah Pilpres 2019 kembali melibatkan para penumpang gelap?

Demokrasi yang “Dimiliki”

Nils Bubandt memang menyebut bahwa istilah penumpang gelap mengindikasikan bahwa politic is possessed. Politik dimiliki atau dipengaruhi oleh tangan-tangan tertentu. Hal ini jelas memprihatinkan. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sesungguhnya belum punya kedaulatan politik karena masih ada campur tangan asing di negara ini.

Namun, jika kembali pada konteks Masinton Pasaribu, apakah hal itu yang memang ingin disampaikannya?

Ada konsep yang disebut sebagai logic and language. Konsepsi ini menyebutkan bahwa seringkali bahasa mempunyai tujuan yang sangat banyak ketika digunakan untuk menyampaikan informasi tertentu. Sebuah pernyataan tertentu bisa jadi hanya bersifat menjelaskan sesuatu. Namun, ia juga bisa bertujuan untuk mengajak orang melakukan hal-hal tertentu tergantung konteks dan cara penyampainnya.

Masinton memang berbicara dalam konteks politik identitas yang belakangan memang menjadi warna utama menjelang kontestasi Pilpres 2019. Tuduhan bahwa penumpang gelap itu ingin “mengganti Pancasila” mau tidak mau mengarahkan orang pada kelompok-kelompok tertentu – misalnya Hizbut Tahrir dan kelompok sejenis – yang memang menjadi lawan politik kubu nasionalis.

Namun, perlu disadari juga bahwa faktanya, politik identitas tidak berdiri sendiri. Konteks keterlibatan asing dalam mencampuri ajang pemilihan presiden sangat mungkin masuk lewat narasi mengganti Pancasila tersebut. Apalagi, kebijakan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) kini telah mulai bertolak belakang dengan kepentingan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat (AS). Topik ini bisa dibaca pada tulisan lain di PinterPolitik.com. Bukan rahasial lagi jika negara Paman Sam ini punya kepentingan yang sangat besar di Indonesia.

So, apakah itu berarti demokrasi Indonesia “dimiliki” AS?

Bisa jadi demikian. Yang jelas, lembaga macam NDI bermarkas di Washington DC, AS. Sulit untuk melihat tidak adanya kesejalanan jika lembaga semacam ini terlibat aktif di Indonesia. Persoalannya tinggal sampai kapan kita membiarkan kedaulautan politik kita seperti ini? Memang, seperti kata Augusto Pinochet di awal tulisan ini, memperjuangkan demokrasi yang sesungguhnya seringkali membuat sebuah negara bermandi darah. (S13)

 

Exit mobile version